tirto.id - Di bangku sekolah dasar, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pernah mengajarkan kita klasifikasi hewan berdasarkan jenis makanannya: karnivora, herbivora, dan omnivora. Tapi, karnivora ternyata tak selamanya memakan daging, begitu pula dengan herbivora.
Ada kalanya hewan-hewan karnivora memakan rumput, buah, atau daun. Orang-orang yang memiliki hewan peliharaan kucing atau anjing pasti kerap mendapati anak bulu mereka memakan rumput. Tapi, bagaimana dengan herbivora yang memakan daging? Apakah itu anomali?
Baru-baru ini, tim peneliti yang digawangi Kristana Parinters Makur dkk. menerbitkan studi di jurnal Primates yang mendokumentasikan perilaku orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) memakan kukang. Meskipun baru terbit pada 17 November 2021 lalu, penelitian ini merupakan hasil pengamatan empat tahun lalu.
Siang hari di tanggal 27 Desember 2017, Kristana yang merupakan peneliti biologi dari Universitas Nasional (UNAS) itu merekam langsung kejadian orang utan jantan dewasa memangsa kukang. Peristiwa tersebut terjadi di Stasiun Riset Orang Utan Tuanan di Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
“Perilaku memakan daging merupakan kejadian sangat langka dalam aktivitas orang utan liar,” kata Sri Suci Utami Atmoko, salah satu peneliti yang tergabung dalam tim Kristana sekaligus Dosen Fakultas Biologi UNAS.
Seturut lansirandari laman resmi UNAS, ini bukan kali pertama primata endemik Kalimantan itu tercatat memakan hewan. Orang utan juga pernah terekam memakan hewan lain (tikus dan tupai), tapi frekuensinya sangat jarang. Namun, kasus memakan kukang dalam studi ini merupakan temuan pertama yang terdokumentasi.
Pengamatan terhadap orang utan Kalimantan sudah dimulai sejak 1971. Hasil dokumentasi pola konsumsi orang utan yang dihimpun selama puluhan tahun menunjukkan bahwa primata besar itu lazimnya memakan buah-buahan, dedaunan, kulit kayu, bunga, dan serangga.
“Berdasarkan data sampai saat ini, dengan waktu observasi yang sangat panjang dan jumlah peneliti yang besar, terobservasi 12 kasus orang utan memakan daging,” lanjut Suci.
Temuan awal Kristana pada 2017 itu kemudian digali lebih lanjut oleh tim gabungan UNAS, Rutgers University, dan Zurich University. Mereka mengobservasi hingga 70 ribu jam di lebih dari 5 stasiun riset orang utan di Sumatera dan Kalimantan.
Kehilangan Sumber Makanan Utama
Kasus orang utan memangsa kukang itu sebenarnya bukanlah kasus baru. Kasus serupa itu pernah juga dijumpai di Sumatera. Pada 2007, Madeleine E. Hardus dari Universitas Amsterdam melihat betina orang utan Sumatra (Pongo abelii) bernama Yet dan anaknya Yeni berbagi kukang sebagai santapan.
Yet memulai aksi berburunya dengan mengagetkan kukang. Ia berbalik arah secara mendadak untuk mendekati hewan tersebut, menjatuhkannya dari pohon, dan mengigit kepala kukang yang pingsan itu. Yet lalu membawanya kembali ke pohon untuk disantap.
Yet dan Yeni masing-masing mengunyah ujung yang berlawanan dari tubuh kukang. Hardus menduga tujuan orang utan mengagetkan kukang di awal pemangsaan adalah untuk menghindari gigitannya. Pasalnya, kukang memiliki racun di dalam air liurnya.
Penelitian Kristana menyebut orang utan Sumatra dan orang utan Kalimantan punya persamaan perilaku dalam memangsa kukang. Mereka tidak secara khusus mencari dan berburu primata lain, tapi hanya jika bertemu dengan kukang.
“Semuanya menggunakan metode membunuh yang sama. Mungkin itu perilaku yang diturunkan antar generasi orang utan,” ungkap Hardus.
Tapi tidak semua perjumpaan orang utan dengan kukang berujung pada pemangsaan. Bahkan, beberapa temuan menunjukkan nihilnya perilaku agresif. Di Sebangau, Kalimantan Tengah, kukang justru bermain bersama orang utan remaja.
“Semua perburuan yang terdokumentasi terjadi ketika jumlah buah sedikit, sehingga mendorong orang utan memakan daging,” duga Hardus seperti dikutip New Scientist.
Herbivora Adalah Evolusi dari Karnivora
Setiap aspek perilaku hewan dalam jangka panjang bisa berubah akibat habitat yang musnah, perubahan iklim, atau pergeseran sumber makanan. Hewan yang hanya memiliki sedikit jenis makanan dan terspesialisasi kemungkinan akan menghadapi jalan buntu evolusi.
Herbivora bisa saja memakan daging untuk bertahan hidup kala terjadi kelangkaan buah atau tanaman, misal akibat kekeringan berkepanjangan. Jadi, fenomena herbivora memakan daging rasanya tak bisa disebut anomali.
Studi T.C.R. White bertajuk “When is a Herbivore Not a Herbivore?” (1985) menjelaskan bahwa klasifikasi herbivora atau karnivora tidak merujuk pada keseluruhan jenis makanan. Artinya, ada saat ketika hewan herbivora juga membutuhkan “daging”.
Supaya bisa bertahan hidup, herbivora muda harus mengonsumsi makanan kaya nitrogen dan protein. Sementara itu, tumbuhan cuma kaya karbohidrat, tapi kandungan nitrogen dan proteinnya sedikit.Karena itu, herbivora muda bisa memakan hewan atau sumber protein hewani lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Lihat saja pola makan herbivora modern. Sebelum bisa mencari biji-bijian atau buah secara mandiri, burung kecil diberi makan ulat. Seiring pertumbuhannya, mereka mengalami adaptasi fisik khusus yang memungkinkannya memakan tumbuhan.
Pada saat tertentu--seperti masa bunting atau menyusui, juga saat menghadapi iklim ekstrem dan paceklik, herbivora dewasa memenuhi kebutuhan protein, vitamin, dan mineral tambahan dari konsumsi daging.
Bukti-bukti teranyar dari sejarah evolusi pun menyebut bahwa herbivora saat ini kemungkinan adalah karnivora atau omnivora di masa lalu. Rusa dari era 30 juta tahun lalu diperkirakan memakan belatung, serangga, burung, dan mamalia kecil. Sementara itu, nenek moyang kuda nil dari masa 60 juta tahun lalu punya struktur gigi yang mengindikasikan pola makan omnivora.
Selama jutaan tahun, evolusi telah berhasil mengubah karnivora menjadi hewan yang memiliki beragam klasifikasi makanan. Hal itu dapat kita baca dalam studi ahli biologi evolusi dari University of Arizona John J. Wiens yang berjudul “Evolution of diet across the animal tree of life” (2019).
Wiens dan rekan-rekannya mengumpulkan lebih dari 1000 data spesies. Mereka kemudian membuat filogeni (pohon silsilah) dari data tersebut untuk mengungkap perkembangan pola diet nenek moyang spesies.
“Hewan multiseluler pertama mungkin adalah pemakan daging. Tapi, daging saat itu beda definisinya dengan daging modern yang kita kenal sekarang,” tulis Wiens dkk.
Wiens mendefinisikan “karnivora” sebagai makhluk pemakan heterotrof (organisme yang tidak dapat membuat makanan sendiri). Hewan purba, kata Wiens, mungkin memakan protista, organisme kecil bersel satu yang bukan tumbuhan, hewan, atau jamur.
Setelah struktur hewan menjadi lebih kompleks akibat proses evolusi, beberapa hewan mulai mengonsumsi tumbuhan. Pola diet tersebut kemudian melekat pada kerabat dekat dan diturunkan ke anak cucu.
Sapi, contohnya, “menghidupi” tubuh besarnya hanya dengan makan rumput dan daun. Ia mengembangkan mekanisme pengolahan pangan khusus di perut. Sapi punya empat bagian perut dan kumpulan mikroba usus yang membantu mereka memecah sel tumbuhan.
Penelitian Wiens menyimpulkan sebanyak 63 persen hewan modern saat ini adalah karnivora, 32 persen herbivora, dan 3 persen merupakan omnivora. Pemikiran deduktif Wiens mengatakan jumlah karnivora modern yang lebih banyak dari herbivora adalah salah satu penguat bahwa nenek moyang makhluk hidup adalah karnivora.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi