tirto.id - Manusia memang lebih mahir menciptakan bencana dibanding menjaga alam tetap lestari. Setelah peneliti Indonesia menemukan anomali pola diet orang utan akibat krisis pangan, kini temuan lain memprediksi kepunahan primata tersebut akibat aktivitas antropogenik manusia.
Laporan kami terdahulu berjudul “Orang Utan Makan Kukang: Manifiestasi Evolusi Perubahan Lingkungan” menjabarkan fenomena tak lazim orang utan yang terpaksa menjadi karnivora karena buah semakin jarang ditemukan.
Penyebabnya jelas perubahan lingkungan, seperti berkurangnya luasan hutan dan krisis iklim. Maka jangan kaget sekitar tiga dekade ke depan, Anda tak lagi bisa melihat sebagian primata bergelantungan bebas di hutan Indonesia. Alasan yang sama membuat spesies ini tereliminasi dari rantai pangan alami.
Tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) baru saja memprediksi adanya ancaman kepunahan 30 jenis primata Indonesia pada 2050. Itu bukanlah angka yang kecil karena ia setara dengan separuh dari total spesies primata di tanah air.
Menurut Aryo Adhi Condro, peneliti utama sekaligus kandidat doktor IPB, jenis primata yang diprediksi punah termasuk orang utan sumatra dan kukang jawa. Spesies orang utan sumatra diklaim paling tidak cakap beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga penyusutan habitat dengan cepat mengeliminasi kelangsungan hidup mereka.
“Studi kami menunjukkan sekitar 37 jenis primata habitatnya akan menyusut sekitar 90 persen dari kondisi saat ini akibat dari perubahan iklim pada 2050,” ungkap Aryo seperti dikutipThe Conversation.
ketidakcakapan beradaptasi itu bertambah runyam akibat kombinasi kenaikan suhu udara dan krisis pangan. Faktor-faktor tersebut lantas memicu ancaman kepunahan lain, seperti penurunan metabolisme dan laju reproduksi primata.
Narasi sederhananya begini: kemampuan berkembang biak primata tak sebanding dengan jumlah mereka yang terus menurun di alam liar akibat bencana antropogenik bikinan manusia.
Beberapa wilayah di Indonesia yang diprediksi mengalami penyusutan habitat terparah adalah sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, Sumatra; kawasan Kalimantan Barat; pesisir selatan dan pegunungan di Pulau Jawa; dan Sulawesi Utara.
Prediksi tentang kepunahan primata di Indonesia ini merupakan hasil pemodelan relung ekologi (ecological niche modeling) oleh tim peneliti Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, IPB. Mereka menyusun pemodelan itu berdasarkan skenario mitigasi dan pesimistik (business as usual).
Pada skema mitigasi, ketika laju emisi diredam, suhu udara rata-rata Indonesia diperkirakan mencapai 23,6 - 29,1 ºC pada 2050—meningkat sekitar 1,17 ºC dari kondisi saat ini. Sementara itu pada skenario pesimistik, suhu rata-rata akan mencapai 23,9 - 29,5 ºC atau meningkat sekitar 1,40 ºC.
Mereka yang Lolos Seleksi Alam
Hutan kita menyimpan kekayaan ragam primata endemik alias hanya terdapat di Indonesia saja. Jumlahnya saat ini mencapai 59 spesies dari 11 genus primata. Sementara dari segi jumlah, keanekaragaman primata Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Madagaskar.
Jenis primata terbanyak di Indonesia berasal dari genus Presbytis (Surili) sebanyak 15 spesies. Kemudian, disusul Macaca (Makaka) 10 spesies, Tarsius (Tarsius) 9 spesies, Hylobates (Owa) 8 spesies, dan genus Nycticebus (Kukang) 6 spesies.
Jika di masa mendatang separuh dari total spesies primata tanah air itu benar-benar punah, dapat dipastikan aktivitas antropogenik manusia adalah penyebabnya. Bagaimana tidak, selain perubahan lahan dan iklim, catatan ProFauna menyebut lebih dari 95 persen primata yang diperdagangkan di Indonesia adalah hasil tangkapan alam.
Saat ini saja, kelestarian primata Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) mengategorikan sebagian besar spesies berstatus kritis, terancam, dan rentan.
Sementara Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) menetapkan status primata Indonesia pada Apendix I dan Apendix II. Apendix I merupakan kategori spesies terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan, sementara Apendix II berpeluang punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa pengaturan.
Meski begitu, Aryo dan tim penelitinya juga menemukan kelompok primata tertentu yang punya cukup ketahanan untuk lolos dari bencana antropogenik.
“Orang utan kalimantan akan beradaptasi dengan perubahan iklim, beda dengan orang utan sumatra,” tutur Aryo.
Spesies orang utan kalimantan berpeluang “menang” karena lebih sering beraktivitas di permukaan tanah. Wilayah hidup mereka pun hanya memiliki sedikit predator. Selain orang utan kalimantan, ada 13 jenis primata lain yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan memperluas persebarannya—meski eskpansinya hanya sebesar 15 persen dari total sebaran saat ini.
Mayoritas primata “pemenang” itu merupakan jenis generalis, yakni spesies yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan apa pun dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Primata jenis ini misalnya beruk siberut, kukang sunda, owa kalawat, dan owa kele.
Hutan Lindung yang Tak Lagi Melindungi
Primata Indonesia tersebar di empat pulau besar, yaitu Sumatra (memiliki 24 spesies, termasuk primata Kepulauan Mentawai sebanyak 4 spesies), Kalimantan (14 spesies), Sulawesi (16 spesies),serta Jawa dan Bali (5 spesies). Sementara itu, Papua dan Kepulauan Maluku tidak memiliki satwa primata.
Satwa primata saat ini merupakan hasil evolusi primata zaman dahulu dari satu benua yang dikenal dengan namaPangea. Primata Indonesia kemudian beralih menjadi endemik dan khas lantaran terisolasinya pulau-pulau nusantara.
Primata dan hutan Indonesia memiliki hubungan erat dan sejarah panjang. Kebanyakan dari mereka merupakan pemakan buah dan daun. Kelestarian hutan membuat sediaan pangan primata terjaga dan sebaliknya, primata juga turut menyebar benih tumbuhan sehingga hutan tetap lestari.
Namun kiwari, simbiosis mutualisme tersebut sudah rusak. Hutan tak mampu lagi memberikan kebutuhan hidup yang cukup bagi primata lantaran kerusakan yang masif. Penelitian Aryo sejatinya menyebut bahwa kepunahan primata pada tiga dekade ke depan dapat dicegah dengan konservasi.
“Jika kita tidak segera bertindak melindungi kelangsungan kawasan konservasi, maka ancaman lingkungan akan terus mengurangi populasi primata dengan cepat.”
Namun, temuan mereka sekaligus memuat area persebaran primata yang lebih besar di luar kawasan lindung (420.341 km2) dibandingkan di dalam kawasan lindung (71.732 km2). Belum lagi contoh fakta bahwa 78 persen sebaran populasi orang utan berada di luar wilayah konservasi.
“Pendekatan kami menunjukkan hanya 6 persen dari kawasan lindung nasional yang dapat menjadi tempat perlindungan primata Indonesia,” tulis studi itu.
Berdasar hasil temuan tersebut, Indonesia harus membuat strategi konservasi khusus di luar kawasan lindung jika tak mau kehilangan kekayaan alamnya akibat kepunahan primata. Strategi khusus itu di antaranya menerapkan pengelolaan di luar cagar.
Kita berhak berharap strategi dan implementasi kebijakan pemerintah benar berpihak pada pengelolaan kawasan konservasi, meski rasanya sulit. Pasalnya, pembangunan besar-besaran di rezim ini tak boleh berhenti atas nama deforestasi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi