tirto.id - Angin perubahan kerap terjadi di dunia boga. Salah satu paling populer adalah kisah tentang lobster. Pada 1662, lobster adalah makanan yang dibenci. Ia hanya layak dihidangkan kepada para budak yang bekerja di kebun, atau tahanan di penjara—itu pun mereka protes keras karena makan lobster terlalu sering.
Hingga 1940, lobster masih dikemas dalam kaleng dan disajikan untuk kucing. Namun orang-orang dari Maine, Amerika Serikat, mulai menggarap lobster untuk kepuasan lidah dan perut. Berhasil, lobster menjadi hidangan yang digemari. Permintaan terus meningkat. Sekarang lobster identik sebagai makanan mewah berharga mahal.
Sirip hiu juga diterpa angin perubahan, tetapi sirkuitnya berkebalikan dari lobster. Semula dari kasta makanan tinggi, sekarang menjadi makanan yang disantap sembunyi-sembunyi. Padahal, pada masa silam, perbincangan tentang sup sirip hiu adalah tentang mitos juga simbol kemewahan.
Stefania Vannuccini, konsultan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, dalam Shark Utilization, Marketing and Trade (1999) menulis daging hiu sudah disantap manusia sejak setidaknya 5.000 tahun lalu. Tapi ia bukan jenis ikan populer untuk disantap. Dagingnya amis karena mengandung banyak urea. Tak semua orang mampu mengolah daging hiu agar bisa disantap tanpa menutup hidung. Nasib daging ikan hiu masih seperti itu, bahkan hingga abad 20. Saat itu yang menyantap daging hiu adalah warga desa nelayan atau mereka yang tinggal di pinggir pantai.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Cina, yang disantap bukanlah daging, melainkan sirip hiu. Sejumlah babad sejarah menyebut kemunculan sup sirip hiu dapat dilacak pada masa pemerintahan Kaisar Taizu dari Dinasti Song Utara. Ia memerintah dari 960-976. Pada masa Dinasti Ming (1368-1644), sup sirip hiu mendapat tempat sebagai hidangan populer keluarga kerajaan dan bangsawan. Puncaknya saat Dinasti Qing (1644-1912): sup sirip hiu menjadi hidangan yang amat dicari.
Dalam The Land of the Five Flavors: A Cultural History of Chinese Cuisine (2014), disebutkan sejak dulu sirip hiu menjadi bahan baku yang mahal. Ia bersanding dengan abalone dan sarang burung walet. Mereka memiliki satu persamaan: dianggap punya khasiat kesehatan.
Memakan sirip hiu kemudian jadi perlambang kemakmuran. Ia jadi hidangan di acara-acara istimewa, dan hanya mampu dihidangkan oleh keluarga kaya. Jika tidak dibuat sup, sirip hiu dikeringkan dan menjadi obat. Karena nilai sejarah yang panjang, dan dianggap punya khasiat, sirip hiu dihargai mahal. Semangkuk sup sirip hiu di Inggris dan Amerika bisa berharga hingga Rp3 juta per porsi. Di Indonesia, satu sirip hiu bisa menembus harga lebih dari Rp1 juta.
Perdagangan daging hiu mulai marak setelah Perang Dunia I. Saat itu orang mulai mencari sumber protein pengganti yang harganya lebih murah. Daging hiu dipilih karena harganya murah. Ia sempat jadi pilihan untuk bahan baku fish and chips, makanan paling populer di Inggris. Sedangkan di Jerman, ikan hiu dogfish disantap dengan cara diasap terlebih dulu.
Ribuan tahun berlalu sejak kali pertama daging hiu disantap. Kini makanan berbahan baku hiu banyak disorot. Bukan perkara kelezatan atau khasiat, melainkan dianggap punya andil pada merosotnya populasi hiu di alam bebas.
FAO dan banyak organisasi pelindungan hewan juga menyoroti perdagangan sirip hiu. Sebab, ujar mereka, perburuan sirip hiu adalah bentuk paling kejam dalam perdagangan hiu. Para pemburu menangkap hiu, memotong sirip yang hanya 5 persen dari bagian tubuh, lalu melepas kembali hiu untuk mati. Karena perburuan yang tak berkelanjutan itu, 10 dari 14 spesies hiu di dunia dalam risiko kepunahan yang tinggi.
Banyak yang kemudian mengampanyekan untuk berhenti menyantap daging dan sirip hiu.
Pada Mulanya adalah Yao Ming
Yao Ming, pemain basket NBA asal Cina, melakukan kampanye paling berhasil menyetop konsumsi hiu. Di negaranya, Ming dianggap pahlawan. Dengan tubuh raksasa dan kemampuan bermain yang eksplosif, ia dianggap sebagai lawan tanding dari Timur bagi para raksasa Barat di NBA.
Pada 2006, Ming bergabung dengan WildAid, organisasi lingkungan hidup yang bermarkas di California, Amerika Serikat, untuk menolak santapan sup sirip hiu. Saat itu Ming bermain di klub Houston Rockets.
Kehadiran Ming menggerakkan pengusaha sukses bernama Jim Zhang. Nama terakhir melakukan lobi di parlemen untuk memasukkan pelarangan impor sirip hiu. Awalnya ide ini ditolak karena sudah pasti akan berdampak pada pasokan sirip hiu, yang saat itu masih menjadi bahan baku makanan penting di Cina. Tapi usulan itu diterima. Pada 2012, pemerintah Cina berjanji untuk memboikot sup sirip hiu dari hidangan kenegaraan dalam waktu tiga tahun.
Karena kampanye dan boikot itu, konsumsi sirip hiu di Cina menurun drastis. Dalam laporan The Washington Post, Kementerian Perdagangan Cina menyebut konsumsi sup sirip hiu selama libur musim semi turun hingga 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Saat ini kampanye berhenti menyantap hiu berdengung di seluruh dunia. Meski begitu, masih ada banyak restoran yang menjual makanan berbahan baku hiu. Beberapa organisasi nirlaba rutin memperbarui senarai restoran-restoran yang menjual kuliner hiu, sebagaimana dilakukan oleh Animal Welfare Institute.
Mereka melakukan kampanye "Say No to Shark Fin Soup". Mereka memajang nama-nama restoran yang masih menjual sup sirip hiu, lengkap alamatnya. Misalkan, pada 2012 di New York masih ada lebih dari 55 restoran yang menjual sup sirip hiu.
Di Indonesia, perdagangan hiu masih dalam skala besar. Pada September 2017, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut Indonesia masih mengekspor 3.800 ton daging hiu dan 1.350 ton sirip hiu per tahun. Tujuan ekspornya antara lain ke Hong Kong, Cina, Malaysia, hingga Rusia.
Pada 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan larangan mengekspor ikan hiu koboi dan hiu martil. Dua spesies ini termasuk yang paling sering diburu.
Kampanye setop menyantap hiu atau acap bertagar #saveshark di platform-platform medis sosial memang masih akan menempuh jalan panjang. Ini mengingat masih banyak nelayan Indonesia yang menggantungkan penghidupan pada penjualan daging dan sirip hiu. Mau tidak mau, harus dicari jalan tengah agar kampanye menghentikan penjualan dan konsumsi hiu ini tak terjerumus pada ekofasisme.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam