Menuju konten utama

Upaya Melindungi Hiu demi Lestari Ekosistem Laut

Regulasi pelindungan hiu harus mempertimbangkan rumusan ilmiah maupun aspek sosial.

Upaya Melindungi Hiu demi Lestari Ekosistem Laut
Aktivis lingkungan memprotes di luar restoran Cina untuk tidak menyediakan sup sirip ikan hiu di Hong Kong (10/06/17). REUTERS /Bobby Yip

tirto.id - Bagi Rahmat, memotong daging hiu membutuhkan keahlian khusus meski memang tanpa kiat-kiat umum. “Yang penting pelan-pelan dan jangan asal potong,” ujarnya, beberapa hari lalu.

Tangannya luwes dan lincah saat menyusuri bagian demi bagian potongan daging ikan hiu. “Yang harus dibuang itu jeroannya. Karena banyak enggak laku di pasaran,” tambahnya.

Rahmat telah menggeluti pekerjaan ini selama delapan tahun terakhir bersama tiga rekannya di lokasi pengolahan daging hiu milik Supardi di Kali Baru, Jakarta Utara.

Dalam sehari, ia bisa memotong sekitar tiga sampai lima hiu ukuran jumbo, kendati jumlah ini bukanlah patokan karena tergantung "situasi di lautan."

“Saya ikut panggilan bos saja, sih,” katanya merujuk Supardi. “Kalau ada daging yang masuk dan dipanggil, ya, tinggal berangkat.”

Dari hasil kerjanya, Rahmat memperoleh bayaran Rp800.000 per bulan—"cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," dia bilang—selain mendapatkan "bonus dari bos."

Rahmat merasa nyaman atas apa yang dikerjakannya karena ia tahu hiu yang dipotongnya adalah hiu yang boleh diperdagangkan.

“Kalau enggak diperbolehkan pemerintah, saya enggak berani motong," dia bilang.

Regulasi Pelindungan Ikan Hiu

Sebagian besar kegiatan penangkapan, pengolahan, dan perdagangan hiu di Indonesia bisa disebut legal asalkan tidak melibatkan jenis ikan hiu yang diatur dalam undang-undang.

Masalahnya: bagaimana upaya pelindungannya? Mari sejenak mengurutkan regulasi terlebih dulu.

Fahmi dari Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan penyusunan regulasi pelindungan hiu memiliki dasar pertimbangan "yang kuat" secara ilmiah maupun aspek sosial.

“Misalkan, pelindungan untuk hiu paus diambil karena jenisnya sudah terancam punah dan pelindungannya tidak memengaruhi kesejahteraan nelayan—serta masyarakat terkait,” katanya kepada Tirto. “Di samping itu, peraturan dibuat agar eksploitasinya tidak berlebihan dan bisa berkelanjutan.”

Infografik HL Indepth Hiu

Peraturan mengenai pelindungan hiu di Indonesia memiliki riwayat panjang, terbagi mengikuti hukum internasional dan nasional.

Untuk peraturan internasional, Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) merupakan konvensi perdagangan internasional untuk spesies tumbuhan maupun satwa liar yang terancam punah, berlaku sejak 1975. Tujuan CITES, selain melindungi satwa yang terancam punah, adalah memastikan agar produk Indonesia—dalam hal ini perikanan—diterima pasar internasional.

CITES memuat tiga lampiran—atau Appendix. Appendix I memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan maupun satwa liar yang terancam punah dari perdagangan komersial. Appendix II melindungi spesies yang tidak terancam kepunahan tapi berpotensi punah apabila perdagangan komersial terus dilanjutkan. Dan Appendix III memuat daftar spesies yang bisa dipertimbangkan untuk masuk Appendix II maupun Appendix I. Spesies yang dilindungi lewat daftar Appendix secara keseluruhan mencapai 32.000 jenis.

Sejauh ini sudah ada beberapa jenis ikan hiu yang masuk daftar Appendix CITES yakni hiu paus (disahkan pada 2013), hiu oceanic whitetip shark, scalloped hammerhead (hiu kepala martil bergerigi), smooth hammerhead (hiu martil caping), great hammerhead (hiu martil besar), serta ikan hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan hiu martil (disahkan pada 2014).

Dengan memasukkan hiu-hiu ini dalam daftar Appendix, pemerintah Indonesia mempunyai pedoman dalam pemanfaatan serta pengelolaan terhadap jenis ikan hiu yang dilindungi serta terancam kepunahan.

Selain CITES, Indonesia turut menandatangani International Plan Action yang disepakati oleh negara-negara PBB melalui FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) pada 1999. Realisasinya lantas dituangkan dalam bentuk pengembangan Rencana Kerja Nasional Pengelolaan Hiu. Berikutnya, dibuatlah Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Hiu dan Pari dari 2016-2020 sebagai acuan mengembangkan dan melaksanakan program konservasi serta pengelolaan hiu dan pari di Indonesia.

Sementara lingkup nasional, ada beberapa regulasi yang mengatur pelindungan hiu. Di antaranya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/Kepmen-Kp/2013 tentang penetapan status pelindungan penuh ikan hiu paus (Rhincodon typus) lantaran populasinya semakin menurun dari tahun ke tahun. Selain itu, kementerian yang sama mengatur pelindungan hiu koboi dan hiu martil pada 2014 sebagai respons atas daftar Appendix II dalam CITES. Langkah-langkahnya, KKP mengecek dua kali muatan kontainer serta menerapkan tes DNA kepada hiu-hiu itu sebelum diekspor.

Ada juga pelindungan secara lokal, misalnya langkah Kabupaten Raja Ampat di daerah 'Kepala Burung' Papua yang menerapkan larangan penangkapan ikan hiu. Wilayah seluas 46 ribu kilometer persegi dan salah satu lokasi wisata terkenal ini dijadikan sebagai kawasan pelindungan hiu dan pari manta lewat penetapan Perda 9/2012. Upaya Raja Ampat sehaluan dengan Palau, Kepulauan Maldives, Bahama, Honduras, Kepulauan Marshall, dan Tokelau yang sama-sama mengakhiri segala praktik penangkapan ikan hiu jenis apa pun.

Penetapan perda di Raja Ampat terkait masifnya pemburuan hiu di sana. Letaknya yang strategis di pusat segitiga karang dunia membuat Raja Ampat menyimpan keragaman hayati laut. Potensi inilah yang dilirik dan dimanfaatkan oleh nelayan, baik dari Raja Ampat atau daerah lain.

Dwi Ariyogagautama dari World Wild Foundation (WWF) bagian perikanan menjelaskan regulasi pelindungan hiu tak serta merta melenyapkan masalah. Sebagai contoh: kebijakan ekspor.

Kendati pemerintah telah mengetatkan pengawasan ekspor, modus para pengusaha dan pengekspor mengirim hiu yang dilarang masih terjadi. Modusnya antara lain menukar hiu yang tidak dilarang dengan hiu yang dilarang dalam kontainer setelah pengecekan oleh otoritas terkait.

Fahmi dari LIPI mengungkapkan hal sama. “Oknum seperti itu bukan di nelayan melainkan di pengumpul dan eksportir,” katanya. “Kalau nelayan hanya ikut hukum pasar. Jika hiu dilarang dan tidak ada yang beli, otomatis enggak akan ditangkap.”

Selain ekspor, Ariyogagautama menilai regulasi sekarang "belum maksimal" mengatur pelindungan hiu dengan menerapkan kompromi dan kelonggaran.

“Idealnya, kalau status hiu sudah terancam punah, mau enggak mau harus diterapkan pelindungan penuh. Tidak setengah-setengah,” ujarnya kepada Tirto. “Ketika sudah masuk CITES, harusnya tidak ada lagi namanya mengalah. Harus tegas.”

Baca juga artikel terkait IKAN HIU atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Hukum
Reporter: M Faisal Reza Irfan & Aditya Widya Putri
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Fahri Salam