tirto.id - Mengonsumsi daging hiu, terutama bagian sirip dengan dibikin lewat hidangan sup, dianggap simbol kesejahteraan. Ada juga orang meyakini minyak dari ikan hiu bisa memompa badan bugar. Padahal, semuanya mitos belaka.
Farashaladinka Shara Viba Tan, gadis 20-an tahun dari etnis Tionghoa, mengatakan dalam pelbagai perayaan, terutama imlek, sup sirip ikan hiu kerap jadi menu wajib sebagai perwujudan syukur atas kesejahteraan, panjang umur, dan kesuksesan.
Filosofi macam ini didengar Cala, panggilan akrab Farashaladinka, dari neneknya yang meyakini generasi lawas orang-orang Cina memakan sup sirip hiu sebagai status sosial. Lantaran harganya mahal dan langka, hanya orang kaya dan punya kedudukan yang mampu menikmatinya.
“Semakin langka ikannya, semakin menunjukkan status sosial. Dulu yang sanggup beli dan makan hanya kaisar,” kata Cala.
Keluarganya terakhir mengonsumsi hidangan sirip ikan hiu saat Cala berumur lima tahun. Saat itu ia masih tinggal di Shanghai, kota terbesar di Tiongkok, tetapi kebiasaan ini ditinggalkan selepas mereka pindah ke Indonesia.
“Udah enggak makan lagi karena enggak boleh juga, kan? Beberapa jenis hiu juga masuk hewan langka,” tambahnya.
Sesungguhnya, meski sebagian jenis ikan hiu terancam punah dan langka, mengonsumsinya justru menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Daging hiu mengandung merkuri melebihi ambang batas, menurut Prof. Dr. Ahmad Sulaeman, Guru Besar bidang keamanan pangan dari Institut Pertanian Bogor.
“Metabolisme dagingnya, begitu mati, membentuk biogenik amines yang bikin bau seperti air seni,” kata Sulaeman kepada Tirto.
Tak ada bukti ilmiah yang mendukung hidangan hiu bermanfaat positif bagi kesehatan. Sebaliknya, hiu memiliki kadar merkuri dan racun tertinggi pada ikan. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, mekanisme racun hiu terbentuk dari ketidakmampuan organisme laut mengeluarkan beberapa racun dan logam berat. Racun ini terakumulasi dalam tubuh ikan dengan memakan ikan lain. Proses ini bernama bioakumulasi.
Lantaran usia hidupnya yang panjang—beberapa spesies berumur hingga 50 tahun, racun ini semakin menumpuk. Saat mengonsumsi hidangan dari hiu, otomatis racun-racun ini berpindah ke tubuh manusia.
Ragam Penyakit akibat Konsumsi Hiu
Merkuri (Hg) adalah racun paling berbahaya dalam tubuh hiu. Jika ikan lain seperti, katakanlah, marlin hanya memiliki kadar merkuri pada level 0,5, tuna pada level 0,4, ikan kakap putih di bawah 0,4, lobster dan kepiting di bawah level 0,2, hiu adalah ikan dengan kadar merkuri mencapai level 1.
Organisasi di seluruh dunia, termasuk Badan Pelindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), menegaskan merkuri adalah racun neurotoksin berbahaya. Mereka memperingatkan wanita hamil, wanita yang berencana untuk hamil, atau anak-anak agar tidak mengonsumsi daging hiu.
Penelitian oleh Deepthi Nalluri dkk pada 2014 mengukur tingkat mono metil merkuri (MMHg)—bentuk merkuri paling toksik dan mudah menguap—pada 50 sirip hiu dari 13 spesies yang ditemukan dalam perdagangan internasional. Toksik ini terdapat pula pada 50 sampel sirip ikan hiu yang disajikan restoran seluruh Amerika Serikat.
Hiu dengan tubuh mengandung merkuri tinggi adalah hiu martil (Sphyrnidae) karena ia memuncaki rantai makanan dalam ekosistem laut. Konsumsi semangkuk (240 mililiter) sup sirip ikan hiu mengandung konsentrasi MMHg sebanyak 17 persen lebih banyak dari jumlah rekomendasi Badan Pelindungan Lingkungan AS.
Ada juga penelitian oleh Joanna Burger dkk dari Universitas Rutgers pada 2015, yang mengukur kadar merkuri spesies ikan di New Jersey. Mereka menemukan hiu mako dan hiu makarel memiliki kadar merkuri antara 1,0 ppm dan 1,8 ppm. Badan Pelindungan Lingkungan AS menerapkan batas merkuri aman hanya 0,3 ppm (part per million) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) membatasi cuma 0,1 ppm.
Di Indonesia, batas aman cemaran logam dalam produk pangan untuk merkuri adalah 0,03 miligram/kilogram. Bila melebihi batas itu, dan memakannya rutin, ia bisa meningkatkan risiko kerusakan otak, jantung, ginjal, sistem kekebalan tubuh, dan mandul.
Selain merkuri, racun dalam tubuh hiu adalah beta-n-Methylamino-L-alanine atau asam amino nonprotein yang diproduksi oleh sianobakteri. Hal ini ditemukan oleh Kiyo Mondo dkk dalam penelitian mereka pada 2012. Toksin ini memengaruhi sistem saraf. Paparan toksin itu dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit neurogeneratif seperti Alzheimer dan Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) alias penurunan fungsi otot secara cepat.
Masih ada pula kandungan racun lain pada sirip hiu dengan kadar 13-32 kali lebih besar dari, misalnya, pedoman nasional Cina untuk produk laut. Kebanyakan sirip ikan hiu juga mengandung kotoran seperti hidrogen peroksida dan formaldehid, yang jika terus-menerus menumpuk pada badan bisa terserang kanker dalam hidung dan tenggorokan.
Jadi, apakah Anda masih mau menumpuk racun dengan mempercayai klaim kesehatan pada produk makanan dari hiu?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam