tirto.id - Dari caranya berbasa-basi dengan para tetangga selagi berjalan mantap membelah jalan kampung, tampaklah Supardi adalah orang yang menyedot pusat perhatian. Ia sosok terpandang, memang, sejak menekuni bisnis pengolahan daging ikan hiu di daerah Kali Baru Barat, kawasan utara Jakarta. Pria dari Cirebon, utara Jawa Barat, ini baru menggeluti bisnis tersebut sejak dua tahun lalu.
“Kecil-kecilan saja. Awalnya dulu hanya pengasinan ikan-ikan kecil, tapi setelah melihat ada kesempatan bisnis daging ikan hiu, ya saya ambil saja,” Supardi berkata.
Untuk bertemu Supardi di lokasi kerjanya, anda harus melewati gang selebar jalan satu motor, menyusuri barisan rumah saling berimpitan, dan akhirnya mencium bau khas potongan-potongan daging ikan yang dijemur di sebuah petak seluas lapangan sepakbola di dekat teluk. Supardi sempat berkeluh-kesah soal ruang penghidupannya.
“Yang saya takutkan nanti jika reklamasi sudah jadi. Lahan ini bakal kepotong lumayan banyak. Di sana saja sudah dibangun. Nah, cepat atau lambat, pasti tempat ini kena dampak juga,” ujarnya sembari menunjuk arah dermaga.
Di tempat pengolahan, Supardi dibantu empat pekerja yang memotong-motong daging ikan hiu, yang biasanya dipasok dari Muara Baru, yang dikirim dari Tarakan, Kalimantan Utara. Mereka bekerja dari siang hingga sore, lalu mengasapkan potongan-potongan daging ikan hiu itu, dan rata-rata mereka bisa mengangkut satu ton dalam sehari lewat dua mobil pikap untuk dijual dalam skema ekspor.
“Tiga hari sekali saya pasti ke Pantai Indah Kapuk untuk mengirimkan potongan-potongan daging ini ke eksportir. Setiap ekspor, para pengusaha itu bisa mengirim satu kontainer. Negara tujuannya kebanyakan ke Sri Lanka,” ujar Supardi. “Dari situ, saya bisa dapat Rp1 juta sampai Rp2 juta sekali jalan.”
Ikan hiu yang diolah oleh Supardi berasal dari kelompok hiu lanjaman (Carcharhinus spp), salah satu jenis hiu bernilai tinggi.
“Harga untuk satu kilo daging hiu, saya beli Rp25.000 sampai Rp30.000,” katanya.
Supardi berkata “tak ada ganjalan” terhadap bisnisnya meski ada kampanye penyelamatan ikan hiu, dan lagi pula, ia mengklaim, Kementerian Kelautan dan Perikanan “memberi dukungan kepada kami, para nelayan.”
“Kami sering dikasih pelatihan dan bantuan modal,” ujarnya. “Yang bikin senang lagi, saya bisa menguliahkan anak saya. Dia sekarang semester satu.”
Si Pemburu yang Bertaubat
“Dulu, di sepanjang pantai ini penuh bangkai hiu. Di sana—sembari menunjuk dermaga—tempatnya orang-orang bertransaksi. Semua pemburu hiu menginap di sini.”
Andi Dharmawan—atau orang sekitar memanggilnya “Cagi”—memulai kisah di tepi pantai. Pria berumur 37 tahun ini adalah kepala patroli perairan Raja Ampat di daerah 'kepala burung' Papua untuk Pulau Jaam dan sekitar—kerap disebut Sektor A. Ia mengisahkan pengalamannya dulu sebagai pemburu hiu kepada Aditya Widya Putri, reporter Tirto yang melakukan peliputan ke Raja Ampat bersama The Nature Conservancy (TNC), organisasi sosial lingkungan berbasis di Virginia, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu.
“Yang datang anak hiu enggak begitu banyak, karena umpannya kurang amis. Harusnya pakai ikan cakalang,” ujar Cagi.
Berbadan kekar khas nelayan, pemburu hiu sejak 2004 ini mengenang dalam sehari bisa memperoleh 10 hingga 15 ekor hiu. Ia memakai alat tangkap bernama rawai, berbentuk tali sepanjang puluhan sampai ratusan meter, dengan ujung mata pancing diberi umpan potongan-potongan daging ikan cakalang.
Para nelayan seperti Cagi menebar rawai di kedalaman puluhan hingga ratusan meter pada pukul 4 hingga 5 sore, lantas menarik kail itu keesokan harinya pada pukul 8 pagi.
Perburuan ikan hiu ini meningkat di tengah kurva tinggi permintaan pasar terutama pada bagian sirip. Sekali jual Cagi bisa meraup laba kotor sampai Rp10 juta. Dalam kurun sebulan saja, Cagi bisa mengantongi Rp40 juta dari bisnis menjual sirip ikan hiu.
Namun, pelan-pelan, pekerjaannya tak melulu manis. Kombinasi antara harga hiu yang anjlok karena isu kesehatan serta perasaan “bersalah” telah mendorong populasi hiu di Raja Ampat menurun, memaksa Cagi memikirkan ulang pekerjaan tersebut.
Cagi memilih berhenti menjadi pemburu hiu pada 2010, lalu sepenuhnya mendedikasikan diri dalam pasukan penjaga hiu di kawasan laut Raja Ampat.
“Saya sadar kalau terus-terusan diburu, terumbu karang dan ekosistem sebagai warisan untuk anak-cucu akan rusak,” Cagi berkata. “Walaupun pekerjaan sekarang sedikit penghasilannya, yang penting halal dan saya tidak lagi bermimpi buruk.”
Potongan-Potongan Ikan Hiu
Mata rantai perdagangan hiu di Indonesia mengurut dari tingkat nelayan, pengepul, unit-unit pengolahan, pengekspor, hingga negara pengimpor.
Bagi masyarakat awam, hiu dianggap hewan seram. Tapi, tiap-tiap bagian tubuh hiu bernilai tinggi secara ekonomi, dari daging sampai sirip.
“Perdagangan ikan hiu di Indonesia pada intinya dibagi menjadi ekspor dan domestik serta memanfaatkan semua bagian dalam ikan hiu,” ujar Dwi Ariyogagautama dari World Wild Foundation (WWF) bagian perikanan.
Kantor Bea dan Cukai serta Bagian Karantina Kementerian Kelautan dan Perikanan membagi empat komoditas ekspor ikan hiu: sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging ikan hiu beku (sharks nei, frozen), dan kelompok produk hiu (sharks fresh).
Fahmi, peneliti dari Oseanografi LIPI, dan Dharmadi, peneliti dari Litbang Kelautan dan Perikanan, dalam Tinjauan Status Perikanan Hiu dan Upaya Konservasinya di Indonesia (2013) menjelaskan komoditas bagian-bagian tubuh hiu lain seperti daging, tulang, kulit, gigi, hati, sampai usus.
Menurut mereka, daging hiu dalam keadaan kering (ikan asin) selain dijual di daerah setempat juga dikirim ke beberapa kota macam Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang; plus diekspor ke negara tetangga seperti Bangladesh dan Sri Lanka.
Tulang rawan hiu berguna antara lain untuk bahan perekat, kosmetik, pupuk, dan bahan baku farmasi, yang dipercaya oleh masyarakat Jepang sebagai bahan obat kanker.
Kulit ikan hiu dapat digunakan untuk bahan kerupuk, tas, dompet, atau sepatu. Gigi ikan hiu bisa dimanfaatkan sebagai aksesoris seperti kalung, gelang, anting, cincin, hingga kancing baju. Ususnya dapat diolah jadi bahan baku pembuat insulin serta menghasilkan enzim protease, yang banyak dimanfaatkan industri pangan dan nonpangan.
Terakhir, hati hiu dapat menghasilkan minyak pelumas di pabrik dan bahan industri obat-obatan dan kosmetik, terutama dari kelompok hiu botol (suku Squalidae dan Centrophoridae), karena mengandung vitamin A dan D. Selain itu, minyak hati hiu dari marga Centrophorus dapat dipakai sebagai bahan bakar pesawat terbang.
Ekspor Sirip Hiu
Sejak 1999, menurut laporan Kantor Bea dan Cukai, ekspor sirip hiu meningkat dan mendominasi produk ekspor hiu terutama ke negara-negara seperti Jepang, Hong Kong, Singapura, Cina, Malaysia, dan Taiwan.
Kawasan penyedia sirip hiu terbesar di Indonesia di antaranya berada di Jawa Timur, Jakarta, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Riau. Sementara Surabaya adalah terminal pengepul besar sirip hiu untuk komoditas ekspor, yang umumnya dikirim dari beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, Bali, dan Kalimantan.
Dalam nomenklatur kuliner, sirip hiu umumnya dijadikan sup, disajikan di restoran-restoran makanan laut, dari Surabaya hingga Jakarta, dengan harga seporsi sampai Rp500.000.
Kendati menjadi produk andalan hiu, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah ekspor sirip hiu mulai menurun sejak 2003. Sebagai gambaran, jumlah ekspor sirip hiu pada 2005, baik yang kering maupun yang basah (diasinkan), sebanyak 829.162 kilogram. Pada 2006 angkanya menurun hampir 50 persen atau 485.092 kilogram.
Sirip hiu lebih digemari karena teksturnya kenyal, berurat, dan berserabut. Alasan lain, ujar Ariyogagautama dari WWF, karena “faktor gengsi” supaya “bisa dianggap sebagai masyarakat berkelas.”
Dalam perdagangan global, berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2016, Indonesia menyumbang 16,8 persen dari total tangkapan hiu di dunia, menjadikan negara kepulauan ini sebagai produsen hiu terbesar di dunia.
“Kebanyakan daging ikan hiu untuk konsumsi lokal atau domestik. Sementara sirip hiu ditujukan ekspor mengingat bagian sirip bagian paling mahal,” ujar Ariyogagautama.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam