tirto.id - Orang-orang Cina, Korea, hingga Jepang sangat percaya sirip hiu mujarab untuk memberikan daya tahan seksual, merawat kulit, menambah energi, mencegah penyakit jantung, serta menurunkan kolesterol. Padahal, beberapa penelitian mengungkapkan sebaliknya.
Menurut penelitian oleh Deborah Mash, profesor neurologi di Universitas Miami, Amerika Serikat, mengkonsumsi sirip dan otot hiu justru menyebabkan penyakit saraf bagi manusia. Kesimpulan ini berdasarkan riset terhadap sirip dan sampel jaringan otot dari 10 spesies hiu. Hasilnya, ada dua racun, yakni merkuri dan beta-N-metilamino-L-alanin (BMAA), yang bisa memicu penyakit.
Bagi ibu hamil, merkuri dapat menyebabkan gangguan sistem saraf dan perkembangan janin. Bagi orang dewasa, merkuri dapat mengganggu sistem saraf dan berdampak pada kemampuan kognitif, memori, bahasa, dan motorik. Merkuri juga dapat mengganggu fungsi hati, ginjal, dan organ-organ lain.
Namun, dampak-dampak negatif bagi kesehatan ini malah terabaikan. Perdagangan sirip hiu di dalam negeri maupun ekspor tak terbendung dan mengancam kelestarian hiu.
Adrianus Sembiring, yang melakukan riset pada 2015 terhadap 582 sampel sirip hiu dari Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua Barat, mengatakan bahawa 92 persen hiu yang diburu itu adalah jenis hiu terancam punah,
Perburuan hiu masif di Indonesia. Menurut Traffic dan FAO, Indonesia adalah urutan pertama dari 20 negara pemburu hiu, menyumbang 13 persen dari tangkapan hiu secara global, atau mencapai 100 ribu ton setiap tahun. Selama periode 2002-2011, Indonesia dan India bertanggung jawab atas 20 persen tangkapan hiu di seluruh dunia.
Persoalan ekonomi adalah salah satu faktor utama perburuan hiu di Indonesia maupun dunia.
Di Indonesia, harga sirip hiu di pasaran dalam negeri bisa menembus Rp1,3 juta per kilogram. Sementara harga internasional untuk satu sirip hiu bisa mencapai antara 700 dolar AS hingga 1.000 dolar AS.
Mencegah Punah
Kepunahan hiu bakal jadi ancaman bagi ekosistem laut. Sebagai hewan predator, hiu berperan penting menjaga siklus ekosistem laut dalam rantai makanan.
Ikan hiu hanya akan memangsa ikan-ikan yang sakit, tua, dan lemah. Ini sangat penting karena ikan yang sakit dapat menularkan penyakit, yang berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia. Sebagai predator, hiu mencegah menyebarnya penyakit kepada ikan-ikan lain dalam populasi.
Indonesia memang telah menandatangani International Plan Action (IPOA), yang disepakati oleh negara-negara PBB melalui FAO pada 1999 dan direalisasikan dalam bentuk pengembangan Rencana Kerja Nasional Pengelolaan Hiu (National Plan Action/NPOA). Kelanjutannya berupa rumusan Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Hiu dan Pari periode 2016-2020.
Sejak 14 September 2014, lima spesies hiu dan dua spesies pari manta yang terancam punah telah dilindungi dalam Konvensi Perdagangan Internasional terhadap Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/CITES).
Setelah memperoleh 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang menandatangani CITES, ketujuh spesies itu akhirnya dicantumkan ke dalam daftar Appendix II. Untuk Indonesia, ada empat jenis hiu dan dua jenis pari manta yang masuk dalam daftar Appendix II CITES: hiu jenis oceanic whitetip shark (hiu koboi) dan tiga jenis hammerhead shark atau hiu martil (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead). Sementara untuk pari manta yang dilindungi adalah jenis oceanic manta dan reef manta.
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, berkolaborasi dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyusun dokumen pelengkap dalam mengelola perikanan hiu.
Selain itu, perlindungan terhadap hiu telah diatur melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 18/2013 tentang penetapan status perlindungan penuh terhadap ikan hiu paus (Rhincodon typus).
Landasan hukum memang diperlukan, tapi perlu ada langkah nyata di lapangan dan peran masyarakat. Pada Mei 2016, petugas KKP, aparat keamanan, dan pelbagai elemen masyarakat seperti LSM bidang lingkungan hidup berhasil menyelamatkan ikan hiu paus dalam upaya perdagangan ilegal di Maluku. Aktivitas ini dinilai melanggar UU 31/2004 tentang perikanan, dengan ancaman sanksi penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp1,5 miliar.
“Kerja sama antara masyarakat, LSM, pemerintah sangat penting untuk saling berbagi informasi dan pengaduan,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dikutip dari situs resmi KKP.
Hiu memang menjadi ancaman bagi manusia ketika di lautan. Namun, hiu akan lebih terancam bila manusia melakukan perburuan demi mitos kesehatan dan kepentingan ekonomi semata.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Suhendra