Menuju konten utama

Lobster dan Takdir yang Berubah

Kalau ada makanan yang takdirnya berubah, itu adalah lobster. Dulu sempat dianggap makanan orang miskin, dijadikan makanan kucing, kini lobster menjelma jadi makanan mewah berharga mahal.

Lobster dan Takdir yang Berubah
Lobster [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Tahun 1662, sama seperti Gubernur daerah lain yang kekurangan pekerja, Gubernur Plymouth mendatangkan para budak untuk menggarap lahan di sana. Namun kali ini, sang Gubernur terlebih dulu minta maaf.

"Harap maklum karena kami cuma bisa menyediakan lobster dan air putih. Tanpa roti atau makanan lain," kata si Gubernur bernama William Bradford itu, malu-malu.

Untung saja para pekerja kebun itu maklum dan mau bersabar. Di Massachusetts hasilnya berbeda. Para pekerja ngamuk kemudian memberontak pada tuannya. Dalam demonstrasi, mereka menuntut satu hal: kurangi jatah makan lobster, paling banyak cukup tiga kali seminggu. Rupa-rupanya mereka sudah muak makan lobster.

Itu bukan cerita bualan. Bahkan hingga 6 dekade lalu, lobster masih dianggap makanan murah. Hewan yang masuk dalam keluarga crustacea ini mendapat julukan buruk rupa: kecoak laut. Namanya saja merupakan serapan dari bahasa Inggris kuno, loppe, artinya laba-laba. Pada abad 19, lobster dianggap sebagai makanan orang miskin belaka. Lobster juga pernah jadi makanan sehari-hari para narapidana, dan berujung pada banyak sekali ketidakpuasan dan kemarahan para napi. Pada satu titik, ada semacam ketentuan tak tertulis di penjara: lobster cukup dihidangkan satu kali dalam seminggu. Sebab lebih dari itu, penjara itu dianggap tidak manusiawi.

Para terhukum mati, saat ditanya apa makanan terakhir yang mereka minta, biasanya menyumpah, "Apa saja, yang penting jangan lobster, brengsek!"

Pada titimangsa 1940-an, lobster yang banyak dikemas dalam kaleng, masih dianggap sebagai makanan kucing. Kerap pula dijadikan umpan untuk memancing. Para petani menghancurkan lobster untuk kemudian disebar di lahan mereka, alias jadi pupuk.

Namun, setelah Perang Dunia II, lobster mengalami perubahan takdir. Bintang film makan lobster. Pejabat makan lobster. Super model makan lobster. Sebenarnya naik pangkatnya lobster ini tidak terjadi dalam semalam.

Sejak rel kereta api menghubungkan dataran Amerika Serikat pada 1800-an, perusahaan jawatan kereta api mulai menghidangkan lobster pada penumpang dari kawasan Barat, yang tidak tahu kalau lobster dianggap makanan sampah di kawasan Timur seperti Maine, Louisiana, atau Massachusetts. Lobster dan bahan bakunya dibeli senilai 1 dolar, kemudian dijual 4 sampai 5 dolar. Licik sebenarnya, tapi apa boleh buat. Ini soal keekonomisan dan laba, Bung.

Pada para penumpang yang polos itu, lobster dihidangkan seolah-olah itu makanan langka dan eksotis tapi dibanderol murah. Ternyata para penumpang kereta dari Amerika Serikat belahan Barat itu suka. Di balik penampilannya yang inferior itu, daging lobster memang bisa bikin hati senang. Lembut dan punya rasa manis alamiah. Cukup dihidangkan dengan mentega cair dan sekucur air lemon, daging lobster sudah bisa menghasilkan sesungging senyum.

Dari sana, lobster mulai menanjak walau di Timur lobster masih dianggap makanan murah dan untuk orang miskin hingga akhir 1940-an. Masuk dekade 50-an kawasan Pantai Timur ini mulai merayakan lobster, terutama Maine, daerah yang memang dikenal sebagai penghasil lobster dan sekarang memasok 85 persen lobster Amerika Serikat. Saking banyaknya lobster di Maine, konon dulu para nelayan membuang-buang lobster di bibir pantai hingga mencapai ketinggian setengah meter.

Setiap minggu awal di bulan Agustus, sejak 1947, Maine punya Maine Lobster Festival. Di pelabuhan dan pantai berjejer tenda-tenda yang menyajikan aneka makanan, minuman, sampai barang kesenian. Hidangan utamanya tentu lobster. Ia diolah jadi apapun. Lobster ravioli. Sandwich lobster. Lobster bakar. Lobster Caesar wrap. Lobster Caesar salad. Setiap tahun, diperkirakan 500 ribu dollar dihasilkan oleh festival ini.

Harga lobster di Maine bisa dibilang terjangkau, apalagi saat ada festival. Untuk lobster seberat 1 kilogram dibanderol 17 dolar. Untuk seporsi lobster roll, harganya 14 dolar.

Lobster roll adalah identitas gastronomi bagi Maine. Bicara soal Maine dan lobster roll, sama seperti membicarakan Philadelphia dan cheese steak, Bologna dan spaghetti bolognaise, Palembang dan pempek, Madiun dan Pecel, juga Yogyakarta dan gudeg. Pada 2006, majalah gastronomi Bon Appetit menasbihkan lobster roll sebagai "Hidangan Tahun Ini". Tampilnya lobster roll di majalah bergengsi ini yang dianggap punya andil dalam menasionalkan hidangan ini.

Meski sudah tenar, hingga kini tak ada yang bisa memastikan dari mana lobster roll berasal. Sejarawan makanan spesialis area New England, Sandy Oliver, bilang kalau lobster roll adalah hidangan blasteran. Campuran dari berbagai makanan yang sudah ada.

"Kalau bicara soal makanan, apa yang kita makan adalah evolusi dari bentuk yang sudah ada di masa lampau. Sandwich lobster dan salad sudah ada sejak abad 19," kata Sandy.

Lobster roll memang tampak seperti sandwich lobster biasa. Bahan bakunya juga sederhana dan nyaris ada di setiap dapur di Maine. Kamu bisa pakai roti manis, atau brioche: roti Prancis yang empuk dan kuat karakter menteganya. Belah dua. Lalu olesi mayonaise. Taruh lembaran selada dan potongan batang seledri, juga cacahan lokio. Sentuhan akhirnya tentu potongan daging lobster yang sudah diberi campuran air lemon, mayonaise, garam, dan lada. Tentu resep bisa berubah-ubah seperti takdir manusia. Ada yang menambahkan wasabi. Ada pula yang menjejalkan potongan alpukat.

Bite Into Maine, truk makanan yang biasa mangkal di Benteng Williams, punya lobster roll rasa kari, chipotle, dan wasabi. Sedangkan The Highroller Lobster Co yang bermarkas di Portland, menyajikan lobster roll gaya baru yang diberi bacon dan mayo jalapeno.

Sejak lobster jadi tren, permintaan terus meningkat. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), pada 2015 ada 160.000 ton lobster yang ditangkap dan dipanen di seluruh dunia. Pengimpor terbesar adalah Amerika Serikat. Pada 2014, tercatat AS mengimpor lobster senilai lebih dari 1 miliar dolar. Harga pasaran lobster juga masih tinggi dan stabil, sekitar 20 dolar per kilogram.

Jika merujuk pada data yang pernah dikeluarkan oleh The Canadian Centre for Fisheries Innovation pada 2003, negara penghasil lobster terbesar adalah Kanada (37 persen) dan Amerika Serikat (25 persen). Indonesia termasuk dalam salah satu negara penghasil lobster terbesar, dengan sumbangsih 4 persen.

Namun, Indonesia punya masalah besar terkait pasokan lobster. Pada Desember tahun lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, pernah bilang kalau ekspor lobster Indonesia terus menurun. Hal ini dikarenakan Indonesia juga mengekspor anakan lobster ke Vietnam. Jumlahnya tidak main-main, mencapai 8 juta ekor per tahun.

"Karena itu, ekspor lobster Vietnam meningkat tiap tahun. Dari seribu ton menjadi tiga sampai empat ribu ton," kata Susi.

Karena itu pula, kata Susi, ekspor lobster Indonesia yang sempat mencapai angka 6.000 ton, kini diperkirakan hanya tinggal 300 ton saja. Meski kini ekspor bibit lobster sudah dilarang, tetap saja ada penyelundupan.

Semakin banyaknya kebutuhan lobster, menghasilkan perubahan besar yang mungkin bisa mengubah lagi nasib lobster. Saat tidak begitu diminati, lobster yang dikirim ke pabrik selalu berukuran raksasa. Lobster ukuran 2 kilogram masih dianggap terlalu kecil kala itu. Sekarang seiring semakin derasnya permintaan, lobster ukuran 200 gram pun sudah dijual.

Kalau ini terus terjadi, lobster perlahan bisa menjadi makanan yang terjangkau. Di Maine sendir, lobster kecil berukuran setengah kilogram hanya dibanderol 4 dolar dan menjadi tren baru. Sebab tak semua orang mampu menandaskan satu ekor lobster seukuran satu atau dua kilogram. Gerai restoran cepat Wendy's Jepang menyajikan lobster dengan salad kaviar, apokat, dan bawang bombay seharga 20 dolar.

Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, bermunculan restoran yang menyajikan lobster dengan ukuran kecil dan harga yang terjangkau. Di Loobie Lobster, Jakarta, misalkan. Lobster Maine Red ukuran 500 gram dibanderol Rp175 ribu. Paling murah adalah lobster dengan berat 250 hingga 300 gram, yang dihargai Rp98 ribu. Di bilangan Pejaten, ada restoran bakmi yang menyajikan bakmi lobster dengan harga di kisaran Rp30 ribuan.

Tren lobster ukuran kecil ini bisa membuat lobster jadi makanan yang bisa disantap oleh siapapun. Namun tentu saja ini akan berujung kurang sedap. Kalau lobster ukuran kecil terus dipanen, maka pasokan lobster akan kembali seret. Ujung-ujungnya lobster akan jadi makanan mahal dan mewah lagi, seperti yang pernah ditulis oleh Greg Elwell.

"Lobster itu mewah dan berkelas. Jika lobster bisa bicara, pasti aksennya British. Jika kamu membayangkan lobster, pasti ia akan mengenakan top hat, monokel, dan menonton opera."

Baca juga artikel terkait LOBSTER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti