tirto.id - Selain patut disyukuri, keanekaragaman hayati pada negara beriklim tropis seperti Indonesia wajib diwaspadai. Sebabnya, kondisi ini meningkatkan risiko penyakit menular baru (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).
Kedua penyakit ini dipicu dari pelbagai faktor seperti peningkatan urbanisasi dan populasi manusia, perubahan ekologi, dan deforestasi. Indonesia pernah mengalami ancaman zoonosis berupa avian influenza (AI) atau flu burung pada 2003.
Orang terinfeksi virus yang disebarkan oleh unggas memiliki beberapa gejala penyakit seperti muntah, sakit perut, diare, gusi berdarah, mimisan, nyeri dada, infeksi paru-paru, hingga gagal multi organ. Luasnya sebaran flu burung (H5N1) karena Indonesia termasuk perlintasan migrasi burung dunia. Burung-burung liar yang secara periodik bermigrasi setiap perubahan musim menularkan virus ke peternakan unggas.
“Burung-burung liar suka singgah di hutan Indonesia. Interaksi dengan burung di daerah tersebut turut membawa virus AI,” ungkap Farida Camallia, penasihat teknis dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dalam sebuah lokakarya mengenai peternakan dan kesehatan hewan di Bogor, beberapa waktu lalu.
Transmisi virus flu burung dari peternakan berlanjut mengikuti mata rantai pemasaran unggas. Ia menyebar ke wilayah lain melalui unggas terinfeksi yang diperdagangkan. Paparan flu burung meningkat pada musim hujan dan menurun pada musim kemarau. Jumlah korban tertinggi di Indonesia pernah mencapai lebih dari 2.700 orang pada 2007.
Namun, penyakit zoonosis yang dibawa oleh satwa liar bukan cuma flu burung. Pada akhir 1997 hingga awal 1998, Malaysia mengalami wabah virus nipah. Penyebaran virus ini bermula dari migrasi kelelawar buah dari hutan ke kebun buah dan peternakan babi.
Respons tak lazim para kelelawar dipicu oleh pohon-pohon di hutan gagal berbuah akibat El Nino. Peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di Amerika Selatan ini mengakibatkan gangguan iklim global. Kekeringan melanda, dan hutan-hutan di Malaysia pun terbakar, merusak ekosistem.
Wabah ini mengakibatkan 265 kasus peradangan pada jaringan otak (ensefalitis) akut dengan 105 kematian. Orang yang terinfeksi virus ini jamak mengalami sakit kepala, disorientasi, dan gangguan pernapasan. Industri peternakan babi di negeri jiran itu diperkirakan merugi miliaran dolar akibat virus nipah.
Virus nipah yang dibawa kelelawar disebarkan lewat air liur. Sisa buah yang mereka makan tercecer dan dikonsumsi oleh babi milik penduduk. Peristiwa selanjutnya dapat dirunut: hewan ternak itulah yang kemudian menjadi perantara virus nipah dari kelelawar ke manusia.
Di Indonesia, virus nipah pada kelelawar telah teridentifikasi di beberapa wilayah seperti Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Wilayah ini masih memiliki banyak hutan. Sayangnya, risiko penyebaran virus nipah belum bisa diukur hingga kini. Pemerintah dibantu oleh FAO masih meneliti infeksi nipah pada ternak maupun masyarakat di daerah tersebut.
“Maka kita melakukan surveilans agar dapat dilakukan penanggulangan sebelum terjadi wabah seperti di Malaysia,” ujar Farida.
Perubahan Ekosistem
Penyebaran penyakit dari hewan ke manusia tak bisa dianggap enteng. Setidaknya, ada 80 persen penyakit menular pada manusia bersumber dari hewan. Sementara sekitar 75 persen penyakit baru pada manusia disebabkan oleh mikroba yang berasal dari hewan.
Selain flu burung dan virus nipah, Anda pasti familier dengan beberapa penyakit tersebut. Misalnya saja HIV, sindrom pernapasan akut (SARS), sindrom pernapasan timur tengah-koronavirus (MERS-CoV), ebola, dan marburg.
Ada tiga faktor yang memengaruhi persebaran zoonosis dari satwa liar. Pertama, keanekaragaman mikroba satwa liar dalam suatu wilayah tertentu; kedua, perubahan lingkungan; dan ketiga, frekuensi interaksi antara hewan dan manusia. Jika salah satu faktor ini terganggu, dipastikan zoonosis pun menyebar.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki suatu wilayah tak akan menjadi ancaman apabila ekosistemnya terjaga. Perubahan demografi dan perubahan ruang hidup seperti penggundulan hutan menjadi penyebab meningkatnya kontak antara satwa liar dan manusia.
“Semakin dekat jarak manusia dan hutan, semakin rentan pula zoonosis disebarkan,” ujar Farida.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat mencontohkan kondisi penyebaran zoonosis di Kamerun. Pola buruk pengelolaan lahan memacu perubahan lingkungan dan penularan penyakit baru.
Kamerun memiliki laju deforestasi tinggi, sekitar 800-1.000 kilometer persegi tutupan hutan per tahun hilang, digantikan perluasan jalan dan pertumbuhan permukiman. Kondisi ini mendorong sejumlah penyakit zoonosis, termasuk virus HIV/AIDS, ebola, marburg, dan monkeypox alias virus cacar monyet—virus dari primata.
Sementara risiko penyakit zoonosis yang muncul dari perburuan juga meningkatkan transmisi hewan ke manusia. Selain mendekatkan jarak zoonosis, kegiatan berburu memungkinkan kontak langsung dengan cairan tubuh hewan yang membawa ragam penyakit zoonosis.
Misalnya pada kejadian penyebaran virus ebola dan koronavirus di Afrika dan Asia karena meningkatnya kontak antara kelelawar saat perburuan. Aktivitas berburu juga merusak rantai makanan dalam suatu ekosistem.
Hilangnya karnivora penyantap hewan pengerat bisa membuat agen penyebar penyakit seperti leptospirosis (virus melalui air seni hewan yang terinfeksi), salmonelosis (karena makanan atau air yang terkontaminasi), demam gigitan tikus (rat bite fever), penyakit pes atau sampar, dan sindrom paru hantavirus (virus yang dibawa hewan pengerat yang bisa menyebabkan penyakit serius).
Belakangan, guna mengatasi zoonosis, gerakan global yang dipandu Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenalkan apa yang disebut konsep "one health" alias kesehatan holistik. Konsep ini semakin relevan bagi masyarakat Indonesia karena negara ini termasuk di kawasan Asia Tenggara yang dianggap endemik terbesar munculnya jenis penyakit infeksi baru.
Melalui konsep ini, penyakit infeksi dari zoonosis dapat diatasi secara intensif dan lebih awal. Seorang pakar zoonosis mengatakan bahwa konsep "one health" memerlukan pendidikan dan pelatihan dari pelbagai disiplin ilmu, meliputi dokter, dokter hewan, ahli gizi, perawat, ahli ekologi, dan ilmuwan sosial.
Jika selama ini zoonosis hanya ditanggulangi terpisah dan berfokus pada penanganan manusia, pendekatan "one health" adalah melihat kesehatan secara holistik. Tujuannya, menempatkan problem kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan secara utuh.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam