Menuju konten utama

Teror Zika Mereda, Terbitlah Virus Ensefalitis Jepang

Kemungkinan terkena penyakit ensefalitis Jepang akan meninggi jika Anda tinggal di dekat sawah atau area berair lain. Waspada dengan gigitan nyamuk pembawa virusnya terutama di musim hujan.

Teror Zika Mereda, Terbitlah Virus Ensefalitis Jepang
Nyamuk jenis culex, penyebar penyakit Japanese Encephalitis. FOTO/Istimewa

tirto.id - Nyamuk adalah salah satu serangga yang paling sering menjadi tunggangan virus dan penyakit berbahaya untuk manusia. Dalam rentang sejarah, nyamuk dalam catatan American Mosquito Control Association (AMCA) dikenal menjadi hewan penyebar penyakit malaria, demam berdarah, demam kuning, chikungunya, Zika, hingga yang asing di telinga namun mampu menyebabkan peradangan di otak seperti Eastern Equine encephalitis, Western Equine encephalitis, St. Louis encephalitis, dan LaCrosse encephalitis.

Kini nyamuk sedang kembali diwaspadai di Indonesia sebab menjadi penyebar penyakit radang selaput otak dari timur Asia, Japanese encephalitis (JE). Sesuai rilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes), JE pada mulanya hanya menular pada nyamuk, babi, dan unggas khususnya burung di habitat rawa-rawa. Namun akibat makanan alamiah nyamuk darah manusia, tak butuh waktu lama sebelum akhirnya JE menggegerkan sebagian wilayah Indonesia sejak dua tahun belakangan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa 85 persen kasus JE tahun lalu 85 persen terjadi pada kelompok umur di bawah 15 tahun. Di Indonesia pada 2016 dilaporkan ada 326 kasus JE, dan yang terbanyak terjadi di Provinsi Bali yakni 226 kasus atau 69 persen dari total kasus tersebut.

Mengapa Bali?

Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes Jane Soepardi menjelaskan bahwa fenomena tersebut kemungkinan besar dikarenakan wilayah Bali yang memiliki banyak sawah serta peternakan babi. Area sawah terutama saat banjir memang menjadi habitat paling baik bagi nyamuk pembawa virus Japanese encephalitis. Nama ilmiah si nyamuk adalah Culex tritaeniorhynchus dan aktif di malam hari. Selain di sawah, mereka juga tinggal dan berkembang biak di daerah perairan lain seperti irigasi atau daerah yang sedang kena banjir.

Jane memendam kekhawatiran lebih, sebab tak hanya Bali yang memiliki banyak habitat perkembangbiakan nyamuk pembawa virus JE. Sebagian besar wilayah Indonesia masih berupa persawahan. Mengutip kembali catatan WHO, penyebaran JE memang berlangsung lebih cepat di masyarakat agraris terutama di Barat Pasifik dan Asia Tenggara. Nyamuk pembawa virus JE juga akan lebih beringas mencari makan saat musim hujan tiba.

Selain Bali, pada akhir bulan Januari lalu Pemerintah Kabupaten Kubu Raya melalui Dinas Kesehatannya meminta setiap petugas medis yang ada untuk lebih peka dalam mengenali pasien yang terindikasi kena virus JE. Kepala Dina Kesehatan Kubu Raya, Berli Hamdani, mengatakan kepada Antarabahwa kekhawatirannya makin meningkat, sebab awal tahun ini musim hujan masih melanda daerahnya, yang berarti kewaspadaan terhadap nyamuk pembawa virus JE mesti ditingkatkan.

Berli mengatakan per 27 Januari 2017 ada tiga warga yang dirawat di rumah sakit akibat terjangkit virus JE dan jumlah ini sudah berkurang dari sebelumnya yang mencapai tujuh orang. Ia kemudian menjelaskan bahwa gejala JE memang tak nampak di sebagian besar penderita, tapi bisa diwaspadai jika tiba-tiba seseorang terkena demam, sakit kepala, dan gejala-gejala lain yang tak jelas namun mencurigakan.

Pada anak-anak, gejala penyakit JE ditandai dengan kejang, tanda tubuh si anak tak kuat menahan beban penyakit. Pada orang dewasa tak sampai kejang, namun sakit di sekitar tengkuk. Baik orang dewasa maupun anak-anak biasanya akan mendapat gejala tambahan yakni menggigil, badan lemas, dan mual hebat. Pada kondisi terparah, gejala yang muncul antara lain demam tinggi, sakit kepala hebat, leher kaku, tak sadarkan diri, koma, kejang hebat, lumpuh, dan bahkan kematian.

Berli dan Jane tentu menyarankan agar orang terdekat yang mengalami gejala-gejala tersebut untuk segera diperiksakan ke rumah sakit terdekat, apalagi jika tempat tinggal yang bersangkutan dengan dengan area persawahan atau irigasi. Namun strategi penanggulangannya agar JE tak menjadi epidemik yang lebih luas tentu tidak berhenti sampai situ saja.

Pada Senin (4/4/2017) Jane lewat rilis persnya menjelaskan bahwa imunisasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah virus JE berkembang di tubuh manusia. Hal ini termasuk pengendalian vektor pada para pasien yang telah terjangkit agar tak menular ke yang lain. Sebagaimana kasus flu burung yang heboh pada beberapa tahun yang lalu, penanggulangan JE juga akan sampai ke akar penyebabnya: eliminasi populasi unggas yang tertular.

Selain pada unggas, upaya pencegahan juga berfokus pada babi, hewan penular virus JE paling sering kedua setelah nyamuk. Upaya vaksinasi pada babi di peternakan-peternakan warga telah diikhtiarkan Kemenkes sejak setahun lalu yakni dengan menerjunkan sejumlah peneliti untuk mengambil sampel kotoran dan darah babi di sejumlah sentra peternakan di Tulungagung, Jawa Timur.

Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung Mulyanto mengatakan kegiatan itu rutin dilakukan Balai Litbang P2B2 Banjarnegara bekerjasama dengan pusat studi kesehatan ternak UGM untuk mengantisipasi risiko penyebaran penyakit dari binatang ternak yang dikonsumsi manusia. Hasilnya akan diteliti di laboratorium kesehatan hewan milik Balai Litbang P2B2 Banjarnegara maupun di laboratorium peternakan UGM guna menjadi bahan evaluasi pemerintah daerah setempat.

Mengapa Tulungagung? Kabupaten ini adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak sentra peternakan babi.

Data di Dinas Peternakan Tulungagung mencatat ada 32 sentra peternakan babi yang beroperasi di sejumlah wilayah Tulungagung, antara lain di Kecamatan Ngantru, Ngunut, Kedungwaru dan Sumbergempol. Populasi total ternak babi di Tulungagung saat ini diperkirakan mencapai 10 ribu ekor lebih, dari sebelumnya tercatat hanya sekitar 2 ribu ekor pada 2014. Jika tak ada aral atas nama kesehatan yang menyimpang dan ekonomi kian membaik, jumlah ini bisa terus bertambah ke depannya.

Infografik Waspada Virus Japanese encephalitis

Bermula dari Jakarta Lalu ke Provinsi Lainnya

Sejumlah studi genetika terkait JE memperkirakan virus ini berasal dari wilayah kepulauan Malaya dan telah berevolusi sejak beberapa ribu tahun yang lalu dan menjadi lima genotip yang tersebar di seluruh wilayah Asia. Kasus klinis pertamanya dilaporkan terjadi di Jepang pada tahun 1871. Inilah cikal bakal kata “Japanese” dalam nama virus JE. Namun, baru pada tahun 1935 nama 'Japanese encephalitis' diresmikan setelah dikonfirmasi bahwa virus tersebut mampu melahirkan peradangan pada selaput otak.

Di Indonesia kasus JE pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 namun tak ada catatan rinci tentangnya. Lalu kasus kedua yang secara resmi ditemukan pada manusia terjadi tahun 1972. Virus JE berhasil diisolasi pertama kali di Indonesia di tahun yanh sama dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang dikoleksi dari suatu survei entomologi (ilmu tentang serangga) di sekitar kandang babi di daerah Kapuk, Jakarta Barat. Tiga tahun kemudian virus JE berhasil diisolasi dari babi di wilayah Jakarta, namun setelahnya virus JE mulai ditemukan di daerah lain.

Indonesia pun dikenal sebagai salahs atu negara endemis tinggi nyamuk pembawa virus JE. Dalam makalah tentang virus JE di Indonesia yang disusun oleh para peneliti di Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit Kemenkes RI pada 2014 lalu dipaparkan bahwa dari tahun 1979 hingga 1986 tercatat ada 7.933 kasus ensefalitis dan 2.882 kasus (36,3 persen) dilaporkan meninggal dunia.

Pada 1981 sebuah studi kasus JE di dua rumah sakit di Jakarta menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada antigen JE pada 29 pasien (25,4 persen dari total 118 pasien anak-anak). Lalu pada Oktober 1990-Juli 1995 studi serupa dilakukan di RS Sanglah, Denpasar, Bali dan didapatkan sampel 77 penderita ensefalitis dengan kasus positif JE sebanyak 40 kasus (52 persen).

Penelitian serupa di daerah lain di tahun-tahun setelahnya tak menggembirakan. Penelitian maraton selama periode pertama tahun 1993-1994 oleh Ditjen P2M&PL di Bali dan Riau misalnya, didapati dari 122 dan 250 sampel ada 58,20 persen dan 56,40 persen yang terindikasi positif JE. Penelitian periode 1994-1995 di RS di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Hasilnya seluruh provinsi teridentifikasi mempunyai kasus positif JE antara 15-72,58 persen.

Penelitian periode 1996-1997 melibatkan lima provinsi lainnya, yakni Lampung, Riau, Sumatera Barat, Bali, dan Jawa Timur. Hasilnya di seluruh provinsi tersebut ditemukan kasus positif JE dengan kisaran 46,81-64 persen. Pada periode 1999-2000 tiga provinsi kembali diteliti yakni Bali, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Asilnya, kasus JE positif ada di ketiga provinsi dengan kisaran berturut-turut 12 persen, 2,38 persen, dan 8,33 persen.

Penelitian yang sama terjadi di tahun 2000-2003 dan 2005-2006 meliputi berbagai provinsi dan menunjukkan hasil serupa: positif di semua provinsi dengan kisaran persentase jumlah penderita yang berbeda-beda. Setelahnya kasus JE bak timbul tenggelam, namun di awal tahun ini kembali menghangat. Maka tak hanya pemerintah perlu bekerja keras, namun masyarakat juga patut waspada. Sekali lagi, terutama Anda yang tinggal di dekat area sawah maupun area berair lainnya.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani