tirto.id - Menjelang akhir tahun, kabar buruk selain pandemi COVID-19 yang masih menggila datang dari hutan hujan Amazon di Brasil. Berdasarkan data satelit Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE), Amazon kehilangan area seluas 11.088 kilometer persegi atau tujuh kali luas kota London akibat penebangan, pembukaan lahan, dan kebakaran selama kurun waktu Agustus 2019 sampai Juli 2020.
Angka tersebut meningkat 9,5% dari tahun sebelumnya dan merupakan yang tertinggi sejak 12 tahun terakhir. Dilansir dari Reuters,ini artinyaBrasil telah gagal memenuhi target mengurangi deforestasi hingga sekitar 3.900 kilometer persegi di bawah Undang-Undang Perubahan Iklim 2009. Tidak ada konsekuensi yang diatur apabila gagal memenuhi target, tetapi tetap membuka peluang pemerintah dapat dituntut hukum.
Data INPE di atas seperti merangkum berita kerusakan hutan Amazon yang kerap muncul sejak 2019. Pada Agustus tahun lalu, hutan Amazon terbakar hebat. Langit di kota Sao Paulo menghitam. Selama berminggu-minggu berikutnya, api masih berkobar sampai-sampai diklaim sebagai yang terburuk dalam satu dekade terakhir. Setahun berselang, 10.136 titik api tercatat di 10 hari pertama bulan Agustus 2020 kemarin atau naik 17% dari 8.669 titik api tahun lalu di periode yang sama. Pantauan udara The Guardian selama dua jam mendapati kolom asap raksasa warna putih dan abu-abu mengepul di hutan Amazon sekitar kota Novo Progresso. Aktivitas tambang emas ilegal masih menggeliat di wilayah adat Baú, sedangkan areal hutan yang gundul karena baru saja terbakar terlihat di wilayah Iriri.
Penebangan dan penambangan di hutan Amazon terus berlangsung, bahkan ketika Brasil diamuk Corona sejak Maret 2020 dan negara bagian Amazonas menjadi daerah dengan tingkat infeksi tertinggi karena buruknya sistem layanan kesehatan. Aktivitas perusakan hutan ini kian masif karena pemberlakuan aturan pembatasan jarak dan kunjungan. Walhasil ketika kasus positif COVID-19 kian meningkat pada bulan April, deforestasi ikut menanjak sebesar 64% dibandingkan bulan yang sama pada 2019.
Ilmuwan iklim Antonio Donato Nobre dari INPE menyebut, kerusakan hutan hujan Amazon jauh lebih parah ketimbang yang biasanya diberitakan di media.Berita-berita ini umumnya tidak membahas aspek degradasi hutan akibat deforestasi. Degradasi hutan terjadi ketika kebakaran, penebangan hutan mengganggu ekosistem lainnya di wilayah yang belum rusak serta ikut menghilangkan fungsi hutan hujan sebagai penyerap karbon di planet ini.
Amazon adalah hutan hujan terbesar di dunia dengan luas total enam juta kilometer persegi. Kerap dijuluki paru-paru dunia berkat kemampuannya menyerap karbondioksida, Amazon adalah rumah bagi 33 juta penduduk serta ribuan spesies tumbuhan dan hewan. Jika Amazon punah, masa depan manusia sebagai spesies pun dipertanyakan.
Sebesar 60 persen dari total luas Amazon masuk wilayah Brasil. Pada tahun 1970 luas tutupan hutan Amazon di Brasil mencapai 4,1 juta kilometer persegi.
Deforestasi hutan Amazon kali ini memang bukan peristiwa pertama. Dilansir dari Mongabay, deforestasi meningkat pesat terutama setelah pembangunan jalan raya Trans-Amazonia pada 1972. Proyek ini berlangsung dengan membabat hutan untuk jalur transportasi, pertanian, dan permukiman diiringi sejumlah kemudahan pinjaman demi menggenjot perekonomian.
Namun, proyek ambisius Trans-Amazonia sebenarnya tidak berjalan mulus karena struktur sedimen membuat jalan raya tidak stabil dan tergenang air ketika diguyur hujan lebat. Dampaknya, lalu lintas terganggu dan hasil panen pun memburuk. Alih-alih disetop, proyek ini justru menjadi pintu masuk penggundulan hutan Amazon hingga hari ini.
'Tukang Cukur' Amazon
Siapa sosok yang paling bertanggung jawab atas kekacauan di hutan Amazon dalam dua tahun terakhir?
Jair Bolsonaro.
Deforestasi hutan hujan Amazon di Brasil melonjak sejak Bolsonaro menjabat presiden pada awal 2019. Selama kampanye, pensiunan kapten Angkatan Darat ini secara eksplisit mendukung pembukaan lahan di kawasan lindung. Menurut Anthony Pereira, direktur Brazil Institute di King's College London, Bolsonaro beserta partainya Partido Social Liberal menyasar dukungan elektoral dari para penebang hutan, penambang, peternak skala kecil, dan juga beberapa perusahaan tambang multinasional raksasa dan serta bisnis pertanian berskala besar.
“Sebagian besar gubernur di Amazon adalah anggota partai yang bersekutu dengan Bolsonaro di Kongres. Kebanyakan dari mereka menyukai wacana deforestasi karena bisa memberikan kemenangan bagi politikus di wilayah konstituennya,” papar Pereira dilansir dariThe Lancet.
Terlepas dari kebijakan Bolsonaro yang melonggarkan perlindungan hutan Amazon, banyak dari kebakaran dipicu bukan dari aktivitas agribisnis besar, tetapi para petani kecil. Namun menurut Jeffrey Hoelle, antropolog budaya dari University of California, Santa Barbara, tidaklah adil membebankan kesalahan kepada para petani kecil tanpa menyentuh pemain besar. Kehidupan dan pola kerja para petani kecil yang hidup dalam kemiskinan ini terbentuk karena struktur yang ditinggalkan pemain agribisnis besar. Banyak dari mereka juga pindah dari wilayah kumuh di Brasil selatan. Hoelle mengusulkan, cara untuk memutus mata rantai ini adalah dengan tidak membuka pasar untuk produk-produk yang berasal dari aktivitas deforestasi ilegal. Meski begitu, ide tersebut tampaknya mustahil terlaksana selama Bolsonaro bertengger di pucuk pemerintahan.
Data INPE menunjukkan di enam bulan pertama pemimpin fasis ini menjabat presiden di awal tahun 2019, penggundulan hutan Amazon meningkat 88%. Bolsonaro menganggap data tersebut tidak akurat dan malah memecat direktur INPE karena dinilai merusak reputasi Brasil. Bolsonaro menepati janjinya kampanye untuk melemahkan lembaga lingkungan dengan memotong anggaran Institut Lingkungan dan Sumber Daya Alam Terbarukan Brasil (IBAMA) sebesar 25%. Denda yang dikenakan untuk deforestasi ilegal antara 1 Januari dan 15 Mei tahun 2019 turun 34 persen dari periode yang sama pada 2018, persentase penurunan terbesar yang pernah tercatat. Penyitaan kayu yang ditebang secara ilegal selama empat bulan pertama tahun 2019 turun lebih drastis, dengan hanya 40 meter kubik atau setara dengan 10 pohon besar. IBAMA diharuskan mengumumkan waktu dan lokasi semua rencana penggerebekan terhadap para pembalak liar.
Kritik dari komunitas internasional ditanggapi Bolsonaro dengan penyangkalan. Pada Agustus, misalnya, Bolsonaro marah-marah menyangkal kebakaran hutan yang masih terjadi di Amazon. Ia menuduh data yang dirilis pemerintahannya sendiri sebagai kebohongan. Tahun lalu, Bolsonaro melontarkan respons serupa untuk membantah lonjakan kebakaran hutan yang memicu protes global. Ia juga berseteru dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan para pemimpin dunia lainnya.
Sikap Bolsonaro menambah deretan panjang pemimpin populis kanan (beberapa di antaranya tak menyembunyikan dukungan terhadap tokoh-tokoh fasis abad ke-20) yang mengabaikan rehabilitasi lingkungan sebagai agenda mendesak. Laporan dari sebuah lembaga pemikir lingkungan German Adelphi Institute pada Februari 2019, misalnya, menemukan bahwa 18 dari 21 partai sayap kanan terbesar di Eropa umumnya bersikap acuh tak acuh terhadap tindakan untuk merespons perubahan iklim atau menentang usaha-usaha perbaikan lingkungan hidup.
Kini puluhan lembaga keuangan di seluruh dunia menuntut Brasil mengendalikan lonjakan penggundulan hutan, yang menurut mereka telah menciptakan “ketidakpastian yang meluas terkait syarat-syarat berinvestasi atau penyediaan layanan keuangan ke Brasil”. Kemenangan Joe Biden diharapkan membawa tekanan baru kepada rezim Bolsonaro.
Tapi, ada baiknya tidak berharap pada Joe Biden, mengingat kebijakan ganda Paman Sam selama puluhan tahun: mendukung demokrasi liberal di dalam negeri sekaligus menyokong fasisme di Dunia Ketiga.
Editor: Windu Jusuf