tirto.id - Pada awal Mei 2021, ketika pandemi Covid-19 masih mengganasnya di seluruh dunia, dikutip dari Antara, Indonesia kedatangan kapal berbendera India yang berlabuh di Pelabuhan Dumai, Riau. Setelah diperiksa petugas medis, kapten dan empat anak buah kapal (ABK) terkonfirmasi positif terinfeksi Covid-19. Kala itu, di India sedang mengalami pekan-pekan yang mengerikan, lebih dari 400.000 kasus baru per hari.
Tapi kengerian itu rupanya hanya sebagian dari neraka yang dihadapi India. Di bulan Mei tersebut, seperti dilaporkan CNN, dalam kondisi pandemi Covid-19, dua negara bagian India menyatakan epidemi untuk penyakit lain, yaitu “jamur hitam”. Ribuan orang dilaporkan terinfeksi, ratusan dirawat di rumah sakit, dan setidaknya 90 orang mati hanya dalam beberapa pekan.
Infeksi “jamur hitam” atau mukormikosis adalah infeksi yang mestinya langka. Penyebabnya adalah pajanan terhadap kapang mucor yang mudah ditemukan pada tanah, tanaman, tinja, dan buah atau sayur busuk.
Kapang ini bahkan ditemukan di udara, di dalam hidung, dan bahkan ingus orang sehat. Tetapi bagi penderita diabetes, penderita gangguan imunitas, kanker, atau orang dengan imunitas rendah seperti Covid-19, jamur hitam sangat mengancam nyawa.
Para dokter India menduga peningkatan kasus "jamur hitam" dipicu oleh penggunaan steroid, yang diberikan kepada pasien Covid-19 dengan gejala parah untuk mengurangi inflamasi pada paru-paru. Tetapi steroid juga menurunkan imunitas, selain menaikkan tingkat gula darah, baik pada pasien diabetes maupun pasien Covid-19 yang bukan penderita diabetes.
“Padahal diabetes sendiri sudah menurunkan tingkat kekebalan tubuh, virus corona memperparahnya, dan steroid yang digunakan untuk melawan Covid-19 malah seperti bensin yang disiramkan pada kebakaran,” kata Dr. Ashkay Nair, dokter bedah mata yang telah mengangkat belasan mata pasien terinfeksi jamur hitam, yang sebagian besar merupakan penderita diabetes yang terinfeksi atau baru sembuh dari Covid-19.
Bentuk mukormikosis yang paling sering ditemukan adalah mukormikosis pada mata, hidung (jaringan sekitarnya) dan otak. Maka mengangkat mata adalah cara untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dan memang begitulah cara kerja jamur ini, yakni menyerang hidung, mata, bahkan otak.
Pasien Covid-19 yang sedang dirawat atau sudah dinyatakan sembuh lalu mengeluhkan demam, sakit kepala, serta mengalami bengkak kemerahan di hidung dan sekitar mata merupakan tanda-tanda umum mukormikosis. Pasien dilaporkan mengalami gangguan penglihatan, mata membengkak, hingga kesulitan bernafas. Jaringan kulit pasien pun menghitam. Dari kondisi inilah jamur hitam beroleh nama.
Sebulan kemudian, Kompas melaporkan bahwa "jamur hitam" sudah membunuh sekitar 4.200 orang di India. Apakah Indonesia lolos dari jamur hitam padahal iklimnya juga lembap dan hangat, tempat yang cocok bagi tumbuhnya jamur? Seperti India, kasus infeksi Covid-19 dan diabetes juga sangat tinggi di Indonesia.
Meski diduga infeksi "jamur hitam" sudah masuk di Indonesia, tetapi datanya samar dan masih tidak ditemukan diagnosis yang jelas karena sulitnya mengumpulkan sampel jaringan serta terbatasnya fasilitas laboratorium mikologi di Indonesia.
Padahal tingkat kematian jamur hitam begitu tinggi, yakni 38-80 persen dan mencapai 60 persen bagi pasien dengan infeksi paru-paru. Bahaya jamur ini dikonfirmasi oleh World Health Organization (WHO) dalam laporannya pada Oktober 2022 lalu. Untuk pertama kalinya, WHO membuat daftar 19 jamur patogen yang mengancam kesehatan global. Termasuk dalam daftar tersebut adalah Mucorales, yang berbagai genus jamur penyebab mukormikosis ada dalam kelompok ini.
Jamur lain di dalam daftar WHO, di antaranya, Cryptococcus neoformans, dengan tingkat kematian 41-61 persen, terutama pada orang dengan HIV/AIDS. Lalu Candida auris yang dapat menimbulkan kandidiasis pada darah, jantung, sistem syaraf pusat, mata, tulang, dan organ dalam, dengan tingkat kematian hingga 53 persen. Sebanyak 17 jamur lain di dalam daftar memberikan ancaman yang sulit disangkal, terlebih mengingat tidak ada vaksin untuk infeksi jamur.
Laporan WHO tersebut dilandasi kekhawatiran yang kian meningkat seiring tingginya populasi penduduk dengan gangguan imunitas. Mereka inilah yang rentan terkena penyakit jamur invasif (IFD), sementara upaya penanganan, kebijakan, dan sumber daya yang diberikan untuk mengatasi ancaman ini sangat kecil. Padahal, resistensi terhadap antijamur juga semakin meluas.
“Penggunaan antibiotik secara bebas tanpa petunjuk dokter juga memicu hilangnya keseimbangan mikroekologis dalam tubuh manusia sehingga jamur tumbuh cepat,” ujar Profesor Retno Wahyuningsih, ahli mikologi kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, melalui komunikasi pribadi, 19 Maret 2023.
Profil Indonesia yang lebih mencemaskan lagi adalah tingginya prevalensi berbagai penyakit yang meningkatkan risiko infeksi jamur. Data 2018 menunjukkan bahwa tingkat kejadian penyakit asma sebanyak 6,9 Ppersen, kanker menyerang 18 orang per 100.000 penduduk, dan diabetes di Indonesia di atas 10 persen. Bahkan kini Indonesia telah masuk dalam 5 besar dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia.
Meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS dan penderita gangguan imunitas lain, TB, penderita gangguan pernafasan, dan pandemi COVID-19 turut menambah daftar faktor risiko tersebut. Lebih dari 6 juta orang Indonesia kemungkinan terkena infeksi jamur yang serius. Namun, merujuk Retno Wahyuningsih et al., angka sesungguhnya bisa jadi jauh lebih tinggi mengingat besarnya beban Indonesia terhadap infeksi jamur.
Kemajuan dalam pengobatan dan ilmu kedokteran memang menyelamatkan jutaan nyawa manusia. Tetapi ada harga yang mesti dibayar dengan ketergantungan manusia pada antibiotik, termasuk dalam pertanian dengan bahan kimia untuk menghalau berbagai penyakit tanaman akibat jamur.
Sebagaimana semua makhluk hidup, adaptasi dan evolusi adalah upaya untuk bertahan hidup. Mikroba, termasuk jamur, juga melakukannya. Dan proses evolusi itu kini telah melahirkan mikroba dan jamur yang jauh lebih kuat, resisten terhadap antijamur yang tersedia. Dan kendati manusia dapat menciptakan antijamur yang lebih kuat kelak, maka jamur juga akan kembali beradaptasi, menjadi jamur superkuat. Begitu seterusnya hingga situasinya menjadi tidak masuk akal lagi.
Perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati kian meningkatkan faktor risiko tersebut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah memasukkan resistensi antimikroba sebagai salah satu dari 10 ancaman teratas bagi kesehatan global.
Situasinya semakin genting, tetapi upaya dan kebijakan untuk menanganinya juga sepi.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi