Menuju konten utama
GWS

Jamur, Dari Perburuan Kuno hingga Superfood Modern

Popularitas jamur sebagai bagian dari kuliner global meledak pada tahun 2022. The New York Times bahkan menobatkan jamur sebagai "Ingredient of the Year".  

Jamur, Dari Perburuan Kuno hingga Superfood Modern
Ilustrasi Jamur. foto/istockphoto

tirto.id - Kapan kali pertama manusia mengonsumsi jamur?

Pertanyaan itu agak sulit untuk dijawab karena sampai saat ini belum ada bukti arkeologis yang menunjukkan hal itu. Namun, yang jelas, setidaknya 5.300 tahun silam, manusia sudah mengonsumsi dan memanfaatkan jamur. Ini terbukti dari ditemukannya dua jenis jamur pada mumi Ötzi the Iceman yang ditemukan di wilayah Pergunungan Alpen antara Italia dan Austria.

Dua jamur yang ditemukan pada mumi Ötzi the Iceman itu adalah Birch polypore dan Tinder fungus. Dari kedua jenis jamur itu, yang bisa dikonsumsi adalah Birch polypore. Namun, konsumsi Birch polypore bukanlah untuk makanan sehari-hari, melainkan untuk campuran obat. Sementara itu, Tinder fungus sudah jelas bukan jenis jamur yang bisa dikonsumsi. Para ilmuwan memperkirakan, Ötzi the Iceman menggunakan Tinder fungus untuk menyalakan api.

Pemanfaatan jamur oleh manusia pun terus berlanjut seiring berkembangnya peradaban. Berbagai peradaban kuno di seluruh penjuru dunia, mulai dari Mesir, Tiongkok, Yunani, Romawi, Viking, sampai Maya juga sudah menganggap jamur sebagai komoditi berharga. Bahkan, peradaban Tiongkok kuno konon sudah mengenal teknik pengembangbiakan jamur.

Untuk menentukan jamur mana yang aman untuk dimakan diperlukan proses trial and error serta pengamatan terhadap alam yang sangat panjang. Manusia purba mungkin mengamati jenis jamur yang dikonsumsi oleh hewan dan belajar dari pengalaman. Seiring waktu, pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun sehingga akhirnya jamur pun menjadi salah satu bahan makanan paling populer di seluruh dunia.

Tiap peradaban punya caranya sendiri untuk mengolah jamur. Di Tiongkok kuno, jamur dikeringkan dan digunakan dalam teh serta sup obat. Bangsa Romawi yang menganggap jamur sebagai makanan istimewa sering memanggangnya atau memasukkannya ke dalam hidangan mewah. Di Eropa abad pertengahan, jamur biasa dikumpulkan dan diawetkan untuk dikonsumsi saat musim dingin.

Prancis menjadi pelopor dalam budidaya jamur modern pada abad ke-17. Teknik menanam jamur di gua dan ruang bawah tanah ini lantas menjadi praktik populer yang menyebar ke seluruh dunia. Saat ini, jamur tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar tetapi juga diolah menjadi bubuk, ekstrak, dan suplemen untuk memaksimalkan manfaat kesehatannya.

"Bahan Makanan Tahun Ini" Versi New York Times

Meskipun jamur telah lama menjadi bagian dari kuliner global, popularitasnya meledak sekitar tahun 2022 karena berbagai faktor. Meningkatnya pola makan berbasis nabati menjadikan jamur sebagai alternatif daging yang populer berkat teksturnya dan rasa umami yang kaya.

Dengan semakin banyaknya orang yang beralih ke gaya hidup vegetarian dan vegan, jamur muncul sebagai pengganti protein yang serbaguna, digunakan dalam berbagai hidangan seperti dendeng jamur dan burger berbasis jamur.

Berubahnya pola makan tersebut tak bisa dipisahkan dari timbulnya kesadaran akan gaya hidup sehat yang mulai populer pada masa pandemi Covid-19. Sejak itu, minat terhadap makanan yang dapat meningkatkan imunitas dan mengurangi stres meningkat drastis. Imbasnya, produk jamur fungsional seperti kopi jamur dan suplemen kesehatan mengalami lonjakan popularitas.

Ilustrasi Jamur

Ilustrasi Jamur. foto/istockphoto

Dari sana, jamur pun dinobatkan sebagai "Ingredient of the Year" atau "Bahan Makanan Tahun Ini" oleh surat kabar The New York Times pada 2022. The Guardian pun pernah menyoroti secara khusus tentang makin banyaknya orang yang terjun ke bisnis jamur entah sebagai petani ataupun pengolah.

Selain untuk bahan makanan, kebangkitan riset tentang psikedelik membuat manfaat jamur psilosibin bagi kesehatan mental mulai mendapatkan perhatian luas. Jamur bersifat halusinogenik itu, apabila dikonsumsi dengan takaran tertentu, dianggap sangat efektif untuk keperluan terapi.

Terakhir, faktor keberlanjutan juga tak kalah penting. Meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan menjadikan jamur sebagai sorotan dalam pengembangan kemasan ramah lingkungan, material biodegradable, dan bahkan alternatif kulit sintetis.

Jamur yang Populer di Indonesia

Di Indonesia, ada beberapa jenis jamur yang umum dikonsumsi dan memiliki berbagai manfaat kesehatan. Jamur tiram adalah salah satu yang paling populer karena mudah ditemukan dan diolah. Jamur ini kaya akan antioksidan, membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, serta memiliki sifat anti-inflamasi yang bermanfaat bagi kesehatan jantung.

Jamur kuping, yang sering digunakan dalam sup atau hidangan tumis, dikenal dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dan menjaga kesehatan pembuluh darah karena kandungan polisakarida. Sementara itu, jamur merang, yang menjadi bahan utama dalam banyak masakan Asia, kaya akan protein nabati, vitamin B, dan serat, menjadikannya baik untuk pencernaan dan metabolisme tubuh.

Jamur shitake, meskipun bukan asli Indonesia, sering pula digunakan dalam masakan lokal. Jamur ini mengandung senyawa lentinan yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan membantu melawan infeksi. Kemudian, jamur enoki, yang biasa ditemukan dalam hidangan berkuah seperti shabu-shabu, mengandung serat tinggi dan rendah kalori, sangat baik untuk diet dan menjaga berat badan ideal.

Jenis-jenis jamur di atas sangat populer di Indonesia karena, selain mudah ditemukan di pasar tradisional maupun modern, juga fleksibel digunakan untuk berbagai resep masakan. Semua jenis jamur ini tidak hanya lezat tetapi juga rendah kalori, membuatnya menjadi pilihan makanan sehat yang semakin populer.

Ilustrasi Jamur

Ilustrasi Jamur. foto/istockphoto

Masa Depan Konsumsi dan Budidaya Jamur

Masa depan jamur tampak semakin cerah seiring dengan berkembangnya industri ini. Inovasi dalam budidaya jamur dan bioteknologi terus mengarah pada berbagai terobosan di berbagai sektor. Dengan meningkatnya permintaan, kemungkinan besar produksi jamur spesial akan semakin berkembang, dengan lebih banyak petani yang menanam varietas unik dan eksotis di luar jamur kancing yang umum.

Di sisi lain, sektor penelitian medis dan psikedelik juga berkembang pesat dengan semakin banyaknya studi yang mengonfirmasi manfaat jamur bagi kesehatan dan kesejahteraan. Penggunaan jamur dalam pengobatan kemungkinan bakal semakin diperluas dan penerapannya dalam terapi kesehatan mental makin mendapatkan pengakuan dari komunitas ilmiah dan medis.

Sementara itu, di luar makanan dan obat-obatan, jamur juga semakin populer. Para peneliti sedang mengembangkan kemasan biodegradable dari miselium, yang dapat menjadi alternatif plastik konvensional yang lebih ramah lingkungan dan tahan lama.

Kulit jamur pun kini dieksplorasi sebagai pengganti ramah lingkungan untuk kulit sintetis dan kulit hewan dalam industri fesyen, beberapa jenama top macam Hermès, Stella McCartney, and Balenciaga sudah mulai mengadopsi bahan berbasis jamur dalam produk mereka.

Terakhir, teknologi pertanian berbasis kecerdasan buatan (AI) diproyeksikan akan semakin meningkatkan efisiensi budidaya jamur. Diharapkan, teknologi ini dapat mengoptimalkan hasil panen sambil meminimalkan penggunaan sumber daya. Dengan bantuan teknologi, para petani bisa memproduksi jamur berkualitas tinggi dengan lebih berkelanjutan.

Sejak Ötzi the Iceman hingga kini, pemanfaatan jamur telah mengalami perkembangan luar biasa. Dari yang awalnya merupakan bahan makanan hasil berburu di hutan, kini jamur telah menjadi superfood modern.

Kemampuannya beradaptasi serta beragam aplikasinya dalam makanan, pengobatan, dan keberlanjutan menjadikan jamur salah satu sumber daya alam yang paling berharga.

Seiring dengan kemajuan ilmiah yang terus mengungkap potensinya, jamur semakin berperan penting dalam membentuk masa depan kesehatan, nutrisi, dan keberlanjutan lingkungan. Perjalanan jamur dari sekadar tumbuhan liar hingga fenomena global mencerminkan ketahanan alaminya sekaligus dinamika hubungannya dengan peradaban manusia yang terus berkembang.

Baca juga artikel terkait JAMUR atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi