tirto.id - Cordyceps belakangan menjadi buah bibir setelah muncul dalam serial The Last of Us, yang tayang di HBO sejak 15 Januari 2023 lalu. Namun, jamur ini ternyata punya sejarah sebagai obat tradisional selama ribuan tahun di beberapa bagian Asia.
Dalam serial yang terinspirasi dari sebuah permainan video tersebut, Cordyceps dinilai sebagai biang utama yang menyerang umat manusia. Saat spora jamur tersebut masuk ke tubuh dan menjalar ke otak, seseorang akan terinfeksi penyakit yang disebut Cordyceps Brain Infection (CBI).
Jamur Cordyceps memang benar-benar eksis dalam kehidupan nyata. Namun, efek yang ditimbulkan secara garis besar bertolak belakang dengan di film.
Secara lateral, nama Cordyceps berasal dari dua kata dalam bahasa Latin, yakni 'cord' dan 'ceps' yang berarti gada dan kepala. Jamur ini umum ditemukan pada larva lepidopteron dan kepompong serangga di musim dingin. Bagi ulat tersebut, Cordyceps memang menjadi sebuah parasit dan menjadikannya "zombi".
Menurut Panda dan Swain dalam bukunya berjudul Traditional uses and medicinal potential of Cordyceps sinensis of Sikkim (2011), Cordyceps banyak ditemukan di daerah sub-pegunungan di tanah berumput Himalaya. Di sana, jamur ini dikenal dengan nama Keera Ghas.
Tidak hanya di wilayah sekitar India dan Nepal, jamur ini juga sudah cukup lama dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional Cina sebagai obat. Cordyceps memiliki fungsi sebagai antioksidan, imunomodulator, anti-inflamasi, hingga anti-tumor. Komponen dalam Cordyceps, yang bernama polisakarida, dapat memacu berbagai bioaktivitas.
Sejarah Penggunaan Jamur Cordyceps untuk Pengobatan Herbal
Dalam Journal of Ethnopharmacology (2005) disebutkan, Cordyceps tergolong sebagai salah satu genus terbesar karena mempunyai sekira 500 spesies dan varietas.
Jamur Cordyceps banyak ditemukan pada dataran tinggi Qinghai-Tibet di Cina bagian barat daya. Secara turun temurun, tanaman ini dipakai untuk meningkatkan energi, stamina, memperbaiki pola tidur, dan meningkatkan nafsu makan.
Jamur yang tumbuh di kepala ulat ini sering dikumpulkan oleh warga suku terpencil di Himalaya. Harganya sangat mahal. Pada takaran 1 kilogram, bisa dijual setidaknya 75.000 dolar AS atau sekira Rp123,8 juta.
Sementara itu, penggunaannya sebagai obat herbal tradisional diperkirakan sudah muncul sejak tahun 1757 masehi. Jamur Cordyceps menjadi bagian dari ramuan dalam pengobatan tradisional Cina. Manfaat utamanya kala itu untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Winkler dalam Yartsa Gunbu and the Fungal Commodification of the Rural Economy in Tibet (2018) menyebutkan hasil catatan medis Tibet pada abad 15. Di dalamnya menyatakan bahwa Cordyceps punya kecenderungan dipakai sebagai tonik yang memiliki efek afrodisiak. Teks kuno tersebut disusun oleh Zurkhar Nyamnyi Dorje, seorang dokter, peneliti, dan ahli botani Tibet.
Seiring waktu berjalan, khasiat jamur Cordyceps mulai terurai satu per satu. Jamur ini diketahui mendukung fungsi ginjal, menyehatkan jantung, meningkatkan energi, menguatkan kerja otak, anti-kanker, anti-inflamasi, stamina seksual, hingga menjadi imunomodulator dan antioksidan.
Sampai akhirnya, Cordyceps menjadi populer setelah grup atlet perempuan Cina, yang mengikuti Chinese National Games 1993, membeberkan rahasia kebugaran mereka. Saat itu, tim ini memecahkan total sembilan rekor dunia. Mereka mengaku secara teratur mengonsumsi Cordyceps.
Manfaat Cordyceps untuk menunjang stamina tubuh terbukti. Jamur ini diketahui meningkatkan energi seluler dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP). Mengutip laman Pubmed Central, senyawa fosfat pada ATP dipecah. Energi yang dilepaskan selanjutnya digunakan pada aktivitas sel tubuh.
Spesies Cordyceps yang cukup menjadi daya tarik untuk dikembangkan sebagai obat herbal adalah Cordyceps sinensis--disebut juga Yartsa Gunbu seperti yang diteliti oleh Winkler--dan Cordyceps militaris. Badan Pengawas Obat dan Makanan Cina telah menyetujui penggunaanya sebagai produk herbal komersial di tahun 2002.
Jamur Cordyceps Ada di Indonesia
Jamur Cordyceps sekarang dapat ditemukan di Indonesia. Jejaknya dapat ditelusuri kurang lebih sejak 2016 lalu.
Pembudidayaannya dikembangkan oleh perusahaan asal Taiwan bernama Mucho Cordyceps. Jamur ini nantinya dikembangkan sebagai produk herbal.
Frisca Sucianto, pembudidaya jamur Cordyceps, mengatakan bahwa proses penumbuhan Cordyceps dilakukan pada sebuah botol. Namun, nutrisi dan kandungannya tetap dipertahankan. Botol tersebut diberi media beras dan air, lalu ditambahkan spora Cordyceps.
Untuk menumbuhkan jamur ini di alam liar, dibutuhkan waktu selama setahun. Namun, dengan proses penumbuhan rekayasa, Cordyceps dapat tumbuh dalam waktu tiga bulan.
Setidaknya ada 400 jenis cordyceps yang dikembangkan. Namun, baru ada dua jenis yang sudah diproduksi sebagai bahan obat yakni Cordyceps militaris dan Cordyceps sinensis.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fadli Nasrudin