Menuju konten utama

Produk Fermentasi Bisa Bikin Resistan Antibiotik

Bakteri pada produk fermentasi resistan terhadap antibiotik. Ia bisa mempengaruhi resistansi tubuh juga.

Produk Fermentasi Bisa Bikin Resistan Antibiotik
Ilustrasi antibiotik. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Sudah minum Yakult hari ini? Saya minum dua!”

Anda mungkin sudah hafal dengan jargon iklan minuman prebiotik yang sering muncul di televisi itu. Yakult merupakan salah satu produk hasil fermentasi bakteri Lactobacillus casei Shirota yang diklaim banyak memberi manfaat prebiotik bagi kesehatan. Tapi siapa sangka, bakteri asam laktat pada sejumlah produk fermentasi kini justru disebut-sebut bakteri yang resistan antibiotik.

Hal ini terungkap pada penelitian oleh Nawaz M, dkk terhadap makanan fermentasi di Xi’an China. Hasilnya, bakteri asam laktat pada makanan tersebut telah berkembang dalam hal resistansi antibiotik. Dari sebanyak 84 strain asam laktat yang terdiri dari 73 spesies Lactobacillus dan 11 Streptococcus thermophilus, ditemukan dua strain menjadi resistan untuk antibiotik jenis penisilin, 9 strain resistan eritromisin, 5 strain resistan klindamisin, dan 14 strain resistan terhadap tetrasiklin.

Selain keempat antibiotik tersebut, terdapat juga resistansi terhadap antibiotika lain seperti gentamisin, siprofloksasin, streptomisin, dan kloramfenikol. Namun resistansi dalam kasus ini bergantung pada spesies bakteri. Resistansi antibiotik terdistribusi dengan baik dalam produk makanan fermentasi tersebut.

Baca : Daftar 12 Bakteri Kebal Antibiotik

Resistansi antibiotik pada produk fermentasi juga tak luput menyasar makanan-makanan tradisional Indonesia. Linda Sukmarini, dkk melakukan penelitian serupa terhadap makanan fermentasi tradisional seperti dadih, tempoyak, bekasam, dan tape ketan. Bakteri asam laktat yang telah diisolasi dari produk tersebut diuji ketahanannya terhadap dua antibiotik, yakni kloramfenikol dan eritromisin.

Penelitian ini menunjukkan resistansi pada kloramfenikol paling tinggi ada pada dadih dengan jumlah 30 isolat, disusul bekasam 13 isolat, tape ketan 9 isolat dan tempoyak 1 isolat. Sedangkan resistansi antibiotik eritromisin paling tinggi berada pada tape ketan sebanyak 9 isolat, disusul dadih 4 isolat dan bekasam 3 isolat.

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan bahwa antiresistan dari beberapa bakteri asam laktat ditemukan pada makanan fermentasi Indonesia, termasuk antibiotik penting seperti eritromisin dan kloramfenikol. Hal ini mengindikasikan frekuensi transfer gen yang tinggi terdapat pada mikroba makanan di Indonesia.

Baca : Tinja yang Diolah Jadi Makanan dan Minuman

Infografik resistansi antibiotik

Bahaya Resistansi Antibiotik

Kedua penelitian di atas bisa dijadikan pijakan untuk waspada pada resistansi antibiotik terhadap bakteri asam laktat produk fermentasi. Kemampuan bakteri yang menjadi resistan antibiotik membuat mereka kebal menanggapi penggunaan obat-obatan antibiotik. Akibatnya, manusia dan hewan yang resisten antibiotik menjadi lebih sulit untuk diobati.

Jika infeksi tak lagi bisa diobati dengan antibiotik lini pertama, obat-obatan dengan tingkat dosis, durasi, dan harga yang lebih tinggi harus digunakan. Karenanya, WHO menyatakan, resistensi antibiotik menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan global, ketahanan pangan, dan pembangunan saat ini.

Professor Dame Sally C Davies, Kepala Petugas medis Inggris menyatakan, terdapat 50 ribu korban meninggal dunia di Eropa dan Amerika akibat infeksi resistan antibiotik. Ia menganalogikan, ancaman hilangnya kemampuan tubuh untuk diobati setara dengan terorisme dan perubahan iklim.

“Kita sudah sampai pada bencana kiamat antibiotik,” katanya.

Baca : Menjelang Kiamat 100 Tahun Lagi

Ancaman ini dapat terlihat misalnya pada penyakit tuberkulosis. Dulu, pengobatan penyakit ini cukup memakan waktu selama 9-12 bulan. Namun, kini malah berkembang menjadi ancaman serius, ada sekitar 480 ribu kasus TB yang resistan terhadap beberapa jenis obat dan sebanyak 190 ribu diantaranya harus meninggal. TB-MDR menjadi sulit diobati, bahkan untuk penyembuhan, dibutuhkan konsumsi antibiotik—yang tidak terjangkau oleh negara-negara miskin—selama dua tahun lamanya.

Baca : Mengapa Gonorea dan Kencing Nanah Merebak Lagi?

Di Eropa saja, setidaknya infeksi akibat resistan antibiotik telah merenggut nyawa 25 ribu orang per tahun. Ancaman ini membuat biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit mencapai lebih dari $ 1,7 miliar.

“Secara global, diprediksi pada tahun 2050 infeksi resistan antibiotik dapat menyebabkan kematian tambahan sebanyak 10 juta jiwa per tahun. Serta menghabiskan biaya kumulatif sebesar $ 100 triliun,” ujar Davies.

Baca juga artikel terkait ANTIBIOTIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani