Menuju konten utama

Menjelang Kiamat 100 Tahun Lagi

Stephen Hawking menyerukan agar kita segera mencari planet lain dalam 100 tahun ini untuk dihuni.

Dua anak berjalan di pinggiran pantai Senggigi yang dipenuhi sampah di Desa Senggigi, Kecamatan Batulayar, Gerung, Lombok Barat, NTB, Jumat (6/1). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi.

tirto.id - Kiamat tak akan lama lagi, menurut Stephen Hawking. Ia pernah memprediksi bahwa hancurnya kehidupan manusia akan terjadi dalam 10.000 tahun lagi. Namun, itu berubah menjadi hanya 1.000 tahun ke depan. Baru-baru ini ia meralat lebih cepat, kepunahan akan terjadi dalam waktu 100 tahun lagi.

Ahli fisika teoritis kelahiran Inggris tersebut pada awal Mei hadir dalam film dokumenter yang dirilis BBC dengan tajuk “Ekspedisi Bumi Baru”. Ia makin pesimistis soal kondisi bumi yang makin disesaki beragam masalah, mulai dari pemanasan global, ancaman tabrakan dengan asteroid, penyakit endemik, hingga pertumbuhan populasi manusia yang tak normal. Bumi yang menjadi rumah manusia sejak ribuan tahun ini sedang dalam kondisi yang genting.

Hawking sesungguhnya pernah menyatakan keluh kesah serupa pada awal Desember 2016. Kepada The Guardian ia mengirimkan sebuah artikel berjudul “Ini adalah saat yang paling berbahaya bagi planet kita”

“Sekarang, lebih dari kapan pun, dalam rentangan sejarah manusia, spesies kita perlu mempererat persatuan dan kerja sama. Kita sedang menghadapi tantangan lingkungan yang tak biasa, meliputi perubahan iklim, produksi pangan, kelebihan populasi, penipisan jumlah spesies (selain manusia), penyakit epidemik, hingga pengasaman samudera,” tulisnya.

“Bersama-sama ancaman-ancaman itu adalah pengingat bahwa kita berada pada saat paling berbahaya dalam perkembangan kemanusiaan kita. Kita sekarang memiliki teknologi yang justru bisa menghancurkan planet tempat kita tinggal, tapi belum sampai pada mengembangkan kemampuan untuk lepas darinya,” jelas Hawking.

Poin-poin yang disampaikan Hawking tak ada yang tak akurat maupun dilebih-lebihkan. Sebagai contoh, dalam “Global Climate Report – Annual 2016” yang disusun National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan National Aeronautics and Space Administration (NASA) disebutkan bahwa 17 tahun terpanas terjadi sejak 2000 dan tahun 2016 tercatat sebagai tahun terpanas.

Dalam penelitian Peter U. Clark dan kawan-kawan berjudul “Consequences of twenty-first-century policy for multi-millennial climate and sea-level change” yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change 8 Februari 2016 mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda.

“Dalam beberapa dekade mendatang ada kesempatan singkat untuk meminimalisir perubahan iklim skala besar dan yang berpotensi menimbulkan bencana dalam peradaban manusia. Keputusan dan kebijakan yang dibuat selama ini harus difokuskan pada bagaimana cara menyelamatkan spesies manusia. Risiko sosio-ekonomi dan ekologis yang dibawa sungguh amat buruk bagi masyarakat dan ekosistem di abad 21 ini.”

Perkara produksi pangan yang disinggung oleh Hawking tapi pernah dikritik oleh sejumlah ilmuwan, menyoal sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa manusia akan memproduksi lebih banyak makanan dalam 50 tahun ke depan ketimbang sejak zaman Pleistosen. Namun, keyakinan ini bertentangan proyeksi ledakan populasi manusia yang dalam catatan Pew Research akan membludak hingga 9,3 miliar jiwa pada 2050.

Populasi padat tanpa didukung kondisi penunjang hidup yang layak hanya akan meningkatkan angka pengangguran, kemiskinan, lalu muncul kriminalitas yang membuat ketidakstabilan dan kekacauan di mana-mana.

Dalam “2016 Living Planet Report” yang disusun WWF menyatakan manusia kini mengonsumsi sumber daya alam di Bumi dalam proporsi 1,6 kali lipatnya. Artinya kini manusia sedang dalam fase kelebihan konsumsi dan dalam jangka waktu tertentu akan mencapai titik nadir, alam bisa berbalik membunuh manusia.

Bersamaan dengan skenario di atas, para ilmuwan sangat setuju bahwa aktivitas manusia telah mendorong kepunahan massal keenam dalam sejarah sejak bumi terbentuk 4,5 miliar tahun yang lalu. Dalam kasus yang paling optimistik sekalipun, kini kepunahan spesies selain manusia terjadi dalam tingkat 10.000 kali lebih cepat, demikian laporan laporan Center for Biological Diversity. Kepunahan spesies adalah dasar goyahnya ekosistem di Bumi yang ujung-ujungnya akan merugikan manusia.

Penyakit manusia kini dan di masa depan akan menghadapi efek samping dari temuannya sendiri. Di kalangan peneliti klinis sejak dua tahun belakangan telah ditemukan sumber permasalahan baru bernama superbug, yakni bakteri jahat yang tak bisa terbunuh meski sudah ditangani dengan lebih dari satu macam antibiotik. Faktornya yakni penggunaan antibiotik yang berlebihan untuk penanganan medis, dan menurut situs WebMD kini ada dua juta korban superbug setiap tahunnya.

Barangkali tantangan terberatnya adalah sebab antibiotik adalah fondasi dari semua obat modern dan manusia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadapnya. Kemoterapi kanker, transplantasi organ, beragam operasi dan persalinan bergantung pada antibiotik agar infeksi tak menyebar.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyadari bahaya ini melalui direktur jenderalnya, Margaret Chan, berucap bahwa superbug adalah ancaman nyata di masa depan tak hanya untuk kesehatan manusia, tapi juga pembangunan dan keamanan.

Penyakit-penyakit endemik skala global pun makin mengkhawatirkan akibat pola urbanisasi yang tiap tahun makin naik, terutama di kota-kota di negara berkembang.

Menurut data PBB, “66 persen dari total populasi global akan hidup di kota pada 2050.” Persoalannya penyakit-penyakit endemik akan lebih mudah menyebar di sebuah populasi yang dipadati manusia sebab kontak satu manusia dengan yang lain makin dekat.

Pemanasan global, dalam catatan WHO, akan memproduksi gelombang panas dan banjir yang akan menciptakan “lebih banyak kesempatan bagi penyakit yang ditularkan melalui air seperti kolera dan penyakit endemik seperti nyamuk-nyamuk pembawa bibit penyakit berbahaya di daerah-daerah yang selama ini bebas dari serangga tersebut. Banyak peneliti kesehatan yang sepakat bahwa kini manusia sedang terancam wabah skala besar.

Ancaman terakhir yang disebutkan Hawking menyangkut malapetaka yang berasal dari samudera. Lautan kini menyerap karbondioksida dalam jumlah yang sangat besar dari atmosfer dan mengakibatkan level pH-nya turun secara drastis.

Efek yang sudah terlihat yakni proses “bleaching” yang menyerang 60 persen terumbu karang dunia dan 10 persennya sudah berada dalam tahap kematian. Level pengasaman lautan kini berlangsung lebih cepat ketimbang selama kepunahan massal “Permanian-Triassic” yang terjadi 252 juta tahun lalu dan memusnahkan 95 persen spesies di lautan kala itu.

Jurnalis sains Eric Hand menulis di ScienceMag bahwa selama kepunahan massal “Permanian-Triassic” karbondioksida yang disuntikkan ke atmosfer kurang lebih sebesar 2,4 gigaton tiap tahunnya. Kini masyarakat modern melepaskan 10 gigaton karbondioksida ke atmosfer tiap tahunnya. Selain ekosistem laut yang terganggu, laut di masa depan bisa jadi tempat yang beracun dan harus dihindari oleh manusia—bahkan hanya sekedar menyentuh permukaannya atau terciprat airnya.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/09/100-tahun-jelang-kiamat-fuad1_01.JPG" width="860" alt="Infografik 100 Tahun Jelang Kiamat" /

Barangkali Hawking telah lelah dengan upaya manusia meracuni Bumi. Dalam acara “Ekspedisi Bumi Baru” ia kemudian mengusulkan bahwa solusi alternatif yang terbaik untuk menyelamatkan spesies manusia adalah dengan mencari planet baru. Hasrat ini pun telah diupayakan oleh NASA sejak lama.

Sejak penemuan Mars, misalnya, ada harapan baru bahwa exoplanet yang diharap-harapkan akhirnya ditemukan. Walaupun akhirnya keyakinan mulai luntur setelah penelitian lanjutan menyatakan permukaan planet merah tersebut sangat panas dan tak mungkin bagi manusia tinggal di sana tanpa bantuan teknologi tinggi. Selain panas, planet ini juga memiliki radiasi yang tinggi dan tingkat ketebalan atmosfer yang rendah.

Hingga saat ini, penemuan planet alternatif bumi yang berpotensi dihuni sudah hampir mencapai sekitar lebih dari selusin. Planet Kepler-452b, misalnya, juga pernah digadang-gadang sebagai planet yang paling mendekati sistem Bumi. Sebelum temuan ini ada planet lain yang ditemukan antaralain Kepler-186f dengan jarak 500 tahun cahaya, Kepler-62F, Kepler-62F, Kepler-69c, Kepler-22b, dan Gliese 667Cc.

Thomas Zurbuchen, Associate Administrator Science Mission Directorate NASA di Washington, pada Kamis (23/2/2017) mengumumkan penemuan tujuh planet seukuran Bumi yang tersusun di sekitar bintang tunggal dan tiga di antaranya berada di zona layak huni, memiliki atmosfer sehingga kemungkinan memiliki air sebagai sumber kehidupan.

Planet-planet ini diprediksi berjarak 40 tahun cahaya (235 triliun mil) dari Bumi. Susunannya relatif dekat dengan bumi, berada di konstelasi Aquarius. Exoplanet ini kemudian dinamai TRAPPIST-1, berasal dari The Transiting Planets and Plantesimals Small Telescope (TRAPPIST) yang berada di Cili. Pada Mei 2016, dengan menggunakan TRAPPIST tersebut para peneliti ini menemukan tiga planet ini. Menggunakan data Spitzer, ukuran dan kerapatan ketujuh planet itu diperkirakan berupa batuan.

Harapan penyelamatan spesies manusia bisa dilihat dari film Interstellar, makin besar dengan penemuan planet-planet ini. Namun pekerjaan rumah ke depan masih amat sangat panjang, sebab lalu muncul rentetan pertanyaan baru, semisal, kapan bisa dipastikan bahwa planet-planet itu bisa untuk hidup? Bagaimana cara untuk menjangkaunya? Dan yang terpenting: masihkah kita punya cukup waktu sebelum Bumi benar-benar rusak dan kepunahan manusia mulai terjadi?

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani
-->