Menuju konten utama

Yang Dibutuhkan Agar Dapat Bermigrasi ke Planet Baru

Tentang naluri manusia untuk bertahan, termasuk migrasi ke planet baru.

Yang Dibutuhkan Agar Dapat Bermigrasi ke Planet Baru
Ilustrasi Pesawat Luar Angkasa. Foto/Istock

tirto.id - Joseph Cooper penasaran. Mantan pilot dan insinyur NASA ini sadar bahwa planet bumi tidak selamanya akan mampu menopang kehidupan spesies manusia. Saat jumlah manusia terus bertambah, dan kerusakan bumi terus meningkat, seseorang harus memikirkan jalan keluar. Dan Cooper yakin orang itu sedang ada di hadapannya: Profesor John Brand, Direktur NASA.

“Oke. Sekarang kamu perlu memberitahu saya, apa rencanamu untuk menyelamatkan dunia?” ujar Cooper mencoba sedekat mungkin. Mengatur napas. Berharap ada jawaban yang bisa mengejutkannya. Jawaban yang—paling tidak—memberi sedikit harapan akan kelangsungan hidup anak-anaknya kelak.

Untungnya, jawaban Profesor Brand benar-benar mengejutkan. Mengejutkan, karena tidak memberi solusi bagi bumi. “Kami tidak bermaksud menyelamatkan dunia. Kami berencana meninggalkannya.”

Percakapan yang muncul dalam bagian-bagian awal film Interstellar (2014) ini menyimpan penjelasan soal kapan manusia benar-benar bisa melakukan perjalanan ke luar angkasa untuk mencari “rumah baru”?

Untuk merunut jawabannya, mari kembali ke naluri dasar makhluk hidup. The Origin of Species (2003: 299) menjelaskan satu hal penting sebagai pembuka jawaban: bahwa kemampuan adaptasi makhluk hidup terhadap alam selalu punya batas-batas tertentu.

Suhu, cuaca, ketersediaan makanan, sampai pada keadaan yang memungkinkan untuk reproduksi adalah contoh batas-batas tersebut. Jika pada titik-titik ini alam sudah tidak bersahabat, maka secara naluri makhluk hidup akan berusaha mencari lingkungan yang membuatnya bisa bertahan hidup lebih lama. Semustahil apapun proses tersebut, setiap makhluk hidup akan sekuat tenaga mengupayakannya. Paling tidak, menjaga agar spesiesnya tidak punah.

Pada akhirnya, migrasi adalah jalan paling menjanjikan—sekalipun tidak menjamin keberhasilan. Eksplorasi tempat-tempat baru pun menemukan alasan. Tempat-tempat baru ditemukan, interaksi antar peradaban pun terjadi, lalu terjadilah perang, invasi, penjajahan, sampai muncul daerah-daerah koloni.

Ini skala daratan di Bumi. Ribuan tahun manusia sudah berpengalaman. Sampai pada titik tertentu, ketika kondisi tidak bersahabat tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah tertentu. Sampai meluas ke seluruh area Bumi, maka manusia tetap akan kembali ke naluri dasarnya bertahan hidup: migrasi. Stephen Hawking percaya itu.

“Saya percaya bahwa untuk jangka panjang, masa depan umat manusia adalah ke luar angkasa,” kata Hawking.

Dan untuk itulah NASA tidak pernah berhenti mencari planet-planet yang cukup punya potensi untuk menyimpan sumber utama kehidupan: air dalam bentuk cairan. Karena hal tersebut menunjukkan beberapa hal, seperti suhu planet yang stabil dan ada lapisan ozon yang menjaganya kandungan air tetap berada di permukaan planet.

Baru beberapa waktu lalu (23/2), NASA menemukan tujuh planet dengan komposisi yang mendekati Bumi di Sistem Trappist-1. Sebuah tata surya dari tetangga galaksi Bima Sakti dan berjarak “hanya” 39 tahun cahaya dari Bumi. Jarak yang sangat dekat untuk perhitungan skala kosmik. Dinamakan Trappist-1 karena nama teleskop robotik yang “menemukan”-nya bernama Transiting Planets and Planetesimals Small Telescope (Trappist).

Di sistem Trappist-1 beberapa planet diprediksi punya kandungan air dalam wujud cairan. Dari laporan National Geographic, kesimpulan sementara yang muncul adalah: ada tiga dari tujuh planet yang berpotensi menunjang unsur kehidupan.

"Penemuan ini bisa menjadi bagian penting dalam teka-teki untuk menemukan lingkungan layak huni, tempat-tempat yang kondusif untuk hidup," kata Thomas Zurbuchen, Administrator Asosiasi dari Agensi Science Mission Directorate NASA.

Bintang Katai yang menjadi pusat sistem Trappist-1 memang jauh lebih kecil daripada Matahari. Massa bintang ini 10 kali lebih kecil dengan suhu 4 kali lebih rendah. Itulah mengapa jarak planet yang kelihatan terlalu dekat dengan bintang malah membuatnya tampak proposional.

Hal yang masih perlu diteliti lebih lanjut tentu saja lapisan atmosfer dan kandungan udara di permukaan planet-planet tersebut. Akan percuma jika tersedia air dalam bentuk cairan tapi udara yang terkandung adalah metana. Ini seperti kebocoran gas elpiji yang menyebar memenuhi setiap sudut planet. Untuk mengetahui apakah kandungan udara cukup menunjang, penelitian baru mendapatkan hasilnya pada 2020 mendatang.

Jarak 39 tahun cahaya memang tergolong dekat dalam skala kosmik, tapi ini sebenarnya masih luar biasa jauh bagi manusia. Secara terminologi, penggunaan istilah “tahun cahaya” memang seperti merujuk waktu, tapi pada penerapannya merupakan satuan jarak.

Dasar satuan ini memang berasal dari berapa durasi waktu cahaya mencapai titik tujuan. Untuk mendapatkan gambaran, dalam 1 detik, cahaya bisa mencapai jarak 300.000 km. Artinya, perhitungan jarak dengan diksi “1 detik cahaya”, itu setara dengan 300.000 km.

Istilah ini digunakan karena satuan jarak di Bumi seperti kilometer, meter, atau sentimeter tidak cukup mampu mengakomodasi rentang jarak di luar angkasa. Matahari saja, bintang terdekat dari Bumi, berjarak 40 triliun kilometer. Karena jumlah nol terlalu banyak, maka dalam ilmu astronomi digunakan istilah satuan yang setara dengan 8,3 menit cahaya.

Sampai saat ini, pesawat luar angkasa tercepat yang dimiliki NASA adalah Juno. Pesawat yang dirancang oleh Lockheed Martin ini mempunyai kecepatan 257.495 kilometer/jam, menjadikannya—sampai saat ini—sebagai alat tercepat yang pernah manusia ciptakan. Sekarang, Juno sedang melintas menuju Jupiter sejak 5 Agustus 2011 dan baru memasuki orbit Jupiter pada 5 Juli 2016.

Infografik Pindah Planet

Dengan menggunakan pesawat tercepat itu, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Trappist-1 yang berjarak 39 tahun cahaya adalah 164.901 tahun.

Perhitungan waktu ini tentu bersifat relatif. Sesuai dengan teori relativitas. Artinya, jika manusia mengirim pesawat tanpa awak seperti Juno dan menunggu dari Bumi, diperkirakan butuh 2087 generasi manusia untuk menjadi saksi Juno sampai ke Trappist-1. Akan tetapi perhitungan tersebut tidak berlaku jika manusia tinggal di dalam pesawat dan ikut serta, karena perspektif waktunya tidak sama dengan perspektif waktu di Bumi.

Inilah kemudian yang disadari Joseph Cooper dalam misinya menemukan “rumah baru”. Dalam film karya Christoper Nolan ini, relativitas waktu jadi salah satu poin penting yang ditawarkan film Interstellar. Detik demi detik yang dilewati Cooper di angkasa akan punya dampak yang luar biasa jauh menurut perhitungan waktu di Bumi.

Apalagi Cooper menyadari benar, bahwa tujuannya mengiyakan rayuan Profesor John Brand untuk bersedia ikut serta adalah untuk menyelamatkan anak-anaknya dari kebinasaan. Masalahnya, Cooper tidak tahu bahwa bersama awaknya, mereka menyimpan misi cadangan. Jika misi menyelamatan manusia di Bumi gagal, mereka diperintahkan untuk membentuk koloni di planet baru. Misi yang bertujuan semata-mata hanya agar manusia tidak punah. Sesuai naluri survival semua makhluk hidup: migrasi.

Cooper menyadari kata-katanya sendiri yang diucapkan sebelum berangkat: “Umat manusia dilahirkan di muka bumi, tak berarti juga akan mati di bumi pula.”

Baca juga artikel terkait NASA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS