Menuju konten utama

Dari Hubble ke James Webb: Hasrat Menyingkap Asal-usul Alam Semesta

Kecepatan cahaya terlalu lambat untuk mengalahkan kecepatan nafsu manusia mengetahui asal-usul alam semesta.

Dari Hubble ke James Webb: Hasrat Menyingkap Asal-usul Alam Semesta
Gambar "tebing-tebing kosmik" Nebula Carina yang diambil oleh Teleskop Ruang Angkasa James Webb milik NASA, sebuah peralatan revolusioner yang dirancang untuk melihat aktivitas alam semesta, dirilis tim pada Selasa (12/7/2022). (ANTARA FOTO/ NASA, ESA, CSA, STScI, Webb ERO Production Team/Handout via REUTERS/foc/KZU).

tirto.id - Setelah melihat apel terjatuh dari tangkainya, Isaac Newton menemukan hukum gravitasi. Ia lahir secara prematur pada 4 Januari 1643 di Lincolnshire, Inggris. Pada usia 18 tahun, ia belajar di University of Cambridge. Dalam benaknya, gravitasi merupakan hukum alamiah tarik-menarik dari setiap benda/partikel materi yang ada di alam semesta yang terjadi karena massa (berat). Secara sederhana, terjatuhnya apel yang dilihat Newton itu terjadi karena bumi memiliki gaya tarik lebih besar dibandingkan gaya tarik apel.

Melalui hukum gravitasi inilah manusia akhirnya paham mengapa mereka dan pelbagai benda lainnya tak terhempas ke luar angkasa meski bumi berbentuk bulat dan berputar 1.670 kilometer per jam pada porosnya, serta berputar 107.826 kilometer per jam relatif terhadap matahari.

Meski demikian, sebagaimana diungkap Brian Cox dan Jeff Forshaw dalam Why Does E=mc2 and Why Should We Care? (2009), Newton gagal mengungkap cara kerja sesungguhnya gravitasi dan hubungan dengan massa. Misalnya, jika gravitasi hanya dipengaruhi massa, mengapa dua benda yang diletakkan bersebelahan tak bertubrukan? Dan dalam tataran yang lebih luas, gravitasi ala Newton tak bisa dijadikan patokan presisi untuk memahami, misalnya, keberadaan bulan atau saturnus di tempatnya masing-masing.

Dua abad kemudian, celah terbesar dalam pemikiran Newton akhirnya dipecahkan oleh Albert Einstein. Melalui pemikiran termahsyurnya bertajuk relativitas umum, Einstein menyebut bahwa gravitasi bukanlah gaya tarik-menarik antar benda/partikel di alam semesta, melainkan fenomena melengkungnya geometri ruang-waktu empat dimensi--sebagai tempat berpijak semua benda di alam semesta.

Dan ruang-waktu itu melengkung atas "perintah" energi (tidak selalu massa) benda/partikel. Lalu, seakan menciptakan hubungan simbiosis, ruang-waktu yang melengkung itu "memerintahkan" bagaimana energi benda/partikel bergerak. Artinya, apel yang dilihat Newton terjatuh dari tangkainya ke tanah atau terperangkapnya manusia di bumi bukan terjadi karena bumi memiliki gaya tarik lebih kuat, tetapi ruang-waktu yang dibengkokkan bumi memaksa benda/partikel yang ada di sekitar bumi jatuh ke dalam bengkokan ruang-waktu bumi yang disebut geodesik.

Merujuk paparan Cox dan Forshaw, kunci dari relativitas umum adalah hadirnya "makhluk spesial" yang hidup di dalam tubuh gravitasi bernama kecepatan cahaya, yang dalam ruang hampa dapat melesat sejauh 299.792.458 meter per detik. Kecepatan yang menurut Einstein aneh bisa eksis di dunia.

Namun jika dilihat dari perspektif alam semesta (galaksi, misalnya), kecepatan cahaya sebetulnya lambat. Saking lambatnya, ujar David Helfand, ahli astronomi dari Columbia University, "kecepatan cahaya yang dikandung gravitasi) membuat alam semesta bagaikan sebuah buku, di mana kamu dapat membolak-balik lembaran buku semaumu untuk mengetahui apa yang terjadi sepuluh miliar tahun lalu."

Kerja membuka lembaran masa lalu semesta inilah yang kiwari tengah dilakukan James Webb Space Telescope.

Mimpi yang Terintang dan Olok-olok

Sejak 1923, manusia bermimpi menempatkan teleskop di luar angkasa. Fisikawan asal Jerman, Hermann Oberth, dalam bukunya berjudul Die Rakete zu den Planetenraumen (Dengan Roket ke Luar Angkasa) menggaungkan mimpi ini. Sepuluh tahun kemudian, Direktur Princeton University Observatory, Henry Norris Russell, menjelaskan bahwa teleskop luar angkasa bermanfaat untuk memperoleh gambar/data sempurna bagi para ilmuwan yang meneliti objek langit.

Karena berada di luar angkasa, proses teleskop menangkap gambar/data tidak terganggu atmosfer Bumi--fakta yang ia peroleh atas kegagalannya menangkap gelombang ultraviolet yang terpancar dari luar angkasa ke Bumi. Pada 1940, ia mencoba menyebarkan mimpi itu ke dalam benak khalayak umum dengan menulis proposal penciptaan teleskop berdiameter (cerminnya) 300 inci, yang ditempatkan di bulan untuk majalah fiksi ilmiah Astounding Science Fiction.

Namun, setelah mimpi teleskop di luar angkasa dicetuskan Oberth, dijelaskan keuntungannya oleh Russell, dan coba dijabarkan teknis pembuatannya oleh Richardson, sebagaimana dituturkan Robert Zimmerman dalam The Universe in a Mirror: The Saga of the Hubble Space Telescope and the Visionaries Who Built It (2010), ide ini dianggap tidak realistis oleh sebagian kalangan ilmuwan. Mereka menilai Oberth, Russell, dan Richardson berpikir terlalu jauh ke masa depan dengan menggunakan teknologi yang belum ada di dunia untuk membuat teleskop luar angkasa.

Beruntung, enam tahun setelah proposal Richardson diterbitkan, pada 1946 fisikawan teoritis dan ahli astronomi di Princeton University, Lyman Spitzer, berhasil merilis studi yang membuat ide ini menjadi realistis. Melalui studi berjudul "Astronomical Advantages of an Extra-Terrestrial Observatory," Spitzer menjabarkan dan mengusulkan penciptaan teleskop luar angkasa yang memiliki cermin berdiameter 10 inci atau 0,25 meter--kemudian direvisi menjadi 5 hingga 15 meter--secara terperinci. Misalnya untuk menempatkan teleskop di luar angkasa, Spitzer mengusulkan penggunaan roket V2 buatan Nazi Jerman yang diambil alih Paman Sam setelah "menculik" Wernher von Braun, alih-alih menggiringnya ke pengadilan perang.

Meski demikian, lagi-lagi ide ini ditolak. Alasannya, sebagaimana diungkapkan salah satu ahli astronomi termahsyur di dunia, Gerald Kuiper, teleskop luar angkasa ala Spitzer sangat mahal untuk diwujudkan.

"Saya menganggap pendanaan proyek ini sangat berbahaya [jika diwujudkan karena terlalu mahal dan dapat mengganggu ekonomi negara], serta mungkin tidak diinginkan [kalangan ahli astronomi]," tegasnya.

Teleskop luar angkasa kemudian hanya dapat terwujud dalam bentuk sederhana. Pada 1957, Spitzer dan koleganya bernama Martin Schwarzschild berhasil menciptakan dan menempatkan teleskop di langit menggunakan balon.

Lalu sebelas tahun sejak studi Spitzer dirilis, tepatnya pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik (satelit buatan pertama) ke orbit Bumi yang dilanjutkan dengan keberhasilan Yuri Gagarin melayang-layang di angkasa. Seketika, AS tersulut dan tak mau kalah dalam perlombaan penjelajahan angkasa. Sebagaimana diutarakan John F. Kennedy dalam salah satu pidato termahsyurnya di Rice University, Paman Sam khawatir keberhasilan Soviet "berdampak pada pikiran setiap manusia di manapun." Maka, tegas Kennedy, "kita harus sesegera mungkin menunjukkan jalur lain pada dunia. Jalur demokrasi alih-alih tirani."

Pemerintah AS kemudian menggelontorkan dana untuk menciptakan teleskop luar angkasa. Dan pelbagai teknologi yang diyakini Spitzer akan muncul di masa depan untuk mendukung idenya mulai hadir. Misalnya, teknologi tentang penyaluran data yang diperoleh teleskop luar angkasa ke Bumi atau teknologi penstabil teleskop dalam menangkap/memotret data/foto.

Meskipun rintangan dana dan teknis telah hilang gara-gara Sputnik, intrik politik yang menggelayuti tubuh NASA membuat proses pewujudan ide Spitzer kembali molor. Misalnya, alih-alih langsung membuat teleskop luar angkasa ala Spitzer, NASA sempat hendak membuat semacam teleskop luar angkasa mini yang diameter cerminnya jauh lebih kecil dibandingkan usulan Spitzer. Teleskop ini bernama Orbiting Astronomical Observatories (OAO), diyakini lebih murah dan mudah diwujudkan.

Lalu, ketika ide Spitzer akhirnya menjadi opsi yang tak bisa lagi dibantah oleh NASA, intrik soal pemilihan nama mengemuka untuk memperlambat realisasi, yakni dengan memunculkan opsi penamaan "Great Orbiting Device" atau GOD. Namun hal ini akhirnya ditiadakan karena menurut ahli astronomi asal Harvard University sekaligus mandor penciptaan teleskop luar angkasa ala Spitzer, "para Senator pasti tidak akan setuju dengan nama ini dan sangat mungkin berusaha menghentikan proyek karena mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai Tuhan."

Setelah segala halangan, rintangan, dan intrik politik berhasil diatasi, tepat pada 24 April 1990--molor dari rencana awal Januari 1986--teleskop yang diberi nama Hubble Space Telescope, akhirnya mengangkasa sekitar 540 kilometer dari permukaan Bumi (Low Earth Orbit) dengan menumpang roket buatan Lockheed Martin dalam misi STS-31.

Teleskop ini ternyata tidak benar-benar mengikuti spesifikasi yang dikehendaki Spitzer, khususnya tentang diameter cermin teleskop, yakni hanya berukuran 2,4 meter, bukan 5 apalagi 15 meter. Sebuah kenyataan pahit yang membuat Dan Goldin, peneliti NASA yang sempat menjadi Administrator NASA di era George H. W. Bush, khawatir "Hubble kesulitan mendeteksi objek-objek langit."

Selain itu, Hubble juga memperoleh masalah lain ketika mengangkasa. Karena ketidaktelitian melakukan kontrol kualitas, kaca cermin Hubble tak rata alias bergelombang. Akibatnya, meskipun kaca yang tak rata tersebut hanya seukuran rambut, saat Hubble mengirimkan potret pertamanya, tulis Rivka Galchen untuk The New Yorker, "Hubble mengirimkan gambar galaksi spiral yang kabur yang tampak seperti glasir yang meleleh pada gulungan kue."

Pada awal-awal tugasnya memotret langit dari luar angkasa, teleskop ini jadi bahan tertawaan para ilmuwan.

Infografik James Webb Telescope

Infografik James Webb Telescope. tirto.id/Quita

Membolak-balikkan Lembaran Alam Semesta

Setelah mengirimkan astronot pada 1993 untuk bekerja sebelas hari tanpa jeda dengan melakukan lima kali "space-walk" demi memperbaiki Hubble, masalah tersebut berhasil diatasi. Tak lama kemudian teleskop ini mengirim informasi berupa gambar tentang debu bintang, yakni berupa awan debu dan gas yang menjulang tinggi di Nebula Elang--tempat bintang-bintang dilahirkan.

Seketika para ilmuwan antariksa dunia meminta izin NASA untuk memanfaatkan Hubble sesuai studi-studi mereka. Di luar hal itu, memanfaatkan kekuasaannya sebagai direktur Hubble, Bob Williams mendelegasikan 10 persen kerja Hubble untuk memotret wilayah hitam, gelap, dan kosong di angkasa luar. Keputusan ini sempat dicerca banyak ilmuwan, tetapi kemudian Hubble berhasil menemukan "ribuan galaksi luar angkasa yang lebih muda, lebih tua, dan lebih asing dibandingkan galaksi tempat umat manusia bersemayam."

Berjarak tiga dekade dari peluncuran Hubble, NASA dibantu European Space Agency atau ESA dan Canadian Space Agency atau CSA, mengirim James Webb Space Telescope guna mendampingi Hubble untuk membantu umat manusia mengungkap masa lalu semesta. Ditempatkan di area tersepi di luar angkasa, yakni berjarak sekitar 1,5 juta kilometer dari bumi, James Webb Space Telescope atau JWST memiliki dua tugas utama: mendeteksi objek "Very Far Away" dan memeriksa objek "Very Close" dengan memanfaatkan teknologi bernama near-infrared camera atau nirCam serta near-infrared spectrograph atau nirSpec.

Dua alat ini digunakan untuk mendeteksi dan menganalisis pelbagai spektrum cahaya yang tidak dapat dilihat mata manusia. Jika Hubble hanya mampu melihat masa lalu hingga maksimal di titik 1 miliar tahun sejak Bing Bang terjadi, maka JWST--memanfaatkan nirCam dan nirSpec--dapat melihat lembaran awal semesta hingga titik 0,3 miliar tahun sejak Bing Bang.

Kecepatan cahaya memang terlalu lambat untuk mengalahkan kecepatan nafsu manusia mengetahui asal-usul alam semesta.

Baca juga artikel terkait TELESKOP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi