tirto.id - Pandemi COVID-19 merupakan pukulan besar bagi kehidupan masyarakat dunia di segala lini. Di sektor kesehatan, situasi ini tak cuma meninggalkan jejak duka bagi banyak korban, tapi juga membuat kemunduran dalam penanganan berbagai macam penyakit. Salah satunya terkait resistansi antimikroba (AMR).
AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit bermutasi dan tidak lagi merespons obat-obatan sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati. Hal ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.
“Pandemi COVID-19 membuat angka AMR naik. Mikroba jadi lebih kebal terhadap lebih banyak antibiotik,” demikian Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika dalam laporan terbaru mereka.
Laporan bertajuk “COVID-19, U.S. Impact on Antimicrobial Resistance” (2022, PDF) menyebutkan berbagai macam mikroba—mulai dari penyebab diare, gonore, tuberkulosis, infeksi jamur kulit, mulut, dan kelamin, pneumonia, meningitis, infeksi pada operasi—naik kekebalannya sekitar 20-60 persen hanya dalam periode setahun pandemi (2019-2020).
Faktor paling berpengaruh terhadap kondisi ini adalah pemberian antibiotik pada pasien COVID-19 di awal pandemi. Sekadar menyegarkan ingatan, dunia belum sepenuhnya paham tata laksana penanganan COVID-19 di awal pandemi sehingga banyak pasien diberi antibiotik oleh dokter mereka.
Di Indonesia, antibiotik jenis Oseltamivir dan Azithromycin pernah diburu dan menjadi langka karena diyakini mampu menyembuhkan COVID-19. Belakangan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa penggunaan antibiotik tidak meringankan gejala COVID-19.
“Antibiotik jadi pilihan pertama untuk mengobati demam pada pasien COVID-19. Padahal, antibiotik digunakan untuk bakteri dan jamur, bukan virus. Akibatnya, pandemi merusak kemajuan kita melawan resistansi antimikroba,” tulis CDC.
Temuan CDC ternyata juga terjadi di Indonesia. Bahkan penelitian di salah satu rumah sakit menyebut AMR membikin biaya perawatan jadi semakin mahal. Pasalnya, AMR menyebabkan penyakit jadi lebih sulit dan lama untuk ditangani sehingga mempengaruhi biaya perawatan menjadi semakin mahal.
Studi di Rumah Sakit Dr.Soetomo, Surabaya, ini dilakukan dengan mengumpulkan catatan medis pasien inap pada periode 2018-2021. Para peneliti lalu melihat korelasi antara infeksi yang diobati dengan antibiotik Carbapenem dan biaya rumah sakit.
Para peneliti lalu membuat perbandingan rata-rata biaya perawatan pasien.
Ketika antibiotik masih memiliki daya hambat terhadap mikroba (sensitif) alias manjur, biaya perawatan mencapai US$1.266 (kurs 2021). Sementara ketika menghadapi kondisi AMR, biaya perawatan meningkat dua kali lipat menjadi US$3.421.
“Penelitian ini menyimpulkan bahwa lama dan biaya rawat inap lebih tinggi pada resistan Carbapenem. Selain itu, biaya rumah sakit juga lebih tinggi pada kasus pandemi daripada pra-pandemi,” terang Harry Parathon, Dokter Spesialis Kandungan sekaligus Ketua Pusat Resistansi Antimikroba Indonesia (PRAINDO).
Luka Kecil Membawa Resistansi Berbahaya
Saat membaca artikel ini, Anda mungkin berpikir, “Kenapa kita harus peduli pada masalah resistansi antimikroba ini?”
Bayangkan jika Anda sakit, tapi tak ada obat yang manjur menyembuhkan. Peluang kembali sehat tentu semakin kecil. Bahkan jika sembuh pun, bayang-bayang “cacat” fisik menghantui. Sementara itu, infeksi tersebut bisa saja menular kepada orang lain.
“Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resistan antibiotik lebih sulit diobati dan menyebabkan biaya pengobatan lebih tinggi, perawatan di rumah sakit lebih lama, dan meningkatkan kematian,” ungkap Harry.
Tak perlu jauh-jauh berpikir bahwa AMR didapat dari obat-obatan saat operasi atau sakit keras lain, perawatan luka pun bisa jadi celah terjadinya resistansi. Menurut dokter Harry, perawatan luka menjadi salah satu area yang memiliki tingkat penggunaan antibiotik tinggi.
“AMR mempengaruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba, termasuk yang sudah kebal terhadap obat antimikroba.”
Sekitar 70 persen bakteri penyebab infeksi pada luka kebal terhadap sedikitnya 1 jenis antibiotik umum. Untuk menurunkan risiko AMR pada perawatan luka, para ahli merekomendasikan penggunaan teknologi Dialkylcarbamoyl chloride (DACC)-coated wound dressings.
Balutan DACC merupakan teknik pembalutan luka berlapis yang mengikat bakteri secara permanen pada permukaan luka. Bakteri akan ikut terangkat saat plester balutan diganti. Sebuah penelitian pada 2017 menyebut teknologi ini terbukti positif mencegah dan mengobati infeksi tanpa efek samping untuk perawatan luka akut dan kronis.
“Dengan mengendalikan mikroba, infeksi dapat dicegah. Dengan demikian, mengurangi kebutuhan antibiotik dan menurunkan risiko resistensi,” papar Harry.
Berbeda dengan balutan antimikroba lain yang aktif membunuh mikroba, balutan luka yang terbuat dari Dialkylcarbamoyl chloride (DACC) bersifat hidrofobik, yakni mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka bisa lebih cepat.
“Balutan DACC menurunkan angka Infeksi Daerah Operasi (IDO) sampai dengan 65 persen dan mampu mengikat 5 bakteri patogen utama,” tulis penelitian lain yang terbit di Journal of Wound Care(Volume 31, Nomor 7, 2022).
Secara global, upaya mencegah resistensi antimikoba telah berjalan sejak lama. Selain menggunakan teknologi alternatif seperti DACC, penerapan Antimirobial Stewardship (AMS) juga penting sebagai strategi menggunakan antimikroba tepat guna, sesuai aturan dan pedoman oleh professional kesehatan.
Dan kita sebagai individu juga harus bijak dalam mengonsumsi antibiotik. Jangan sampai meminum obat ini tanpa resep dokter atau berhenti mengonsumsi antibiotik sebelum waktunya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi