Menuju konten utama
Decode

Dikit-Dikit Antibiotik: Maraknya Pembelian Obat Tanpa Resep

SKI tahun 2023 mengungkap, proporsi pengguna antibiotik oral dengan resep dokter di kalangan usia 15 tahun atau lebih hanya mencapai 59 persen.

Dikit-Dikit Antibiotik: Maraknya Pembelian Obat Tanpa Resep
Header PERIKSA DATA DECODE Dikit-Dikit Antibiotik, Di Balik Maraknya Pembelian Tanpa Resep. tirto.id/Fuad

tirto.id - Adhan (28) pernah membeli merk obat antibiotik tanpa resep di sebuah apotek ternama, di dekat kosannya, di BSD, Tangerang Selatan, Banten. Pada Februari lalu, ia mengalami sakit berupa benjolan kemerahan yang muncul di bagian depan betis kakinya.

Katanya, benjolan itu telah muncul selama beberapa hari dan membuat badannya terasa pegal dan nyeri. Meski tak mendapat resep dokter, Adhan mengaku tak memutuskan secara serampangan soal obat yang bakal dibeli.

Sebelum mengunjungi apotek, ia terlebih dahulu menghubungi temannya yang bertitel dokter.

“Nah karena was-was aku jadi tanya ke temenku ini, akhirnya dia menyarankan kalo emang masih kayak gitu, coba beli Cefixime. Itu adalah obat antibiotik, kata dia,” tutur Adhan di ujung telepon saat dihubungi Tirto, pada Rabu (15/5/2024).

Saat menyebut antibiotik golongan cephalosporin generasi ketiga itu ke apoteker, Adhan langsung mengantonginya tanpa ditanya terkait resep. Saat itu, ia membeli sesuai anjuran temannya, yakni 2 x 200 milligram (mg).

Itu bukan kali pertama Adhan bisa menebus antibiotik secara cuma-cuma. Jauh sebelum Adhan pindah ke Tangerang Selatan, sekira tahun 2018 – 2019, di Semarang, Adhan kerap membeli tablet hisap dengan kandungan antibiotik, FG Troches, setiap mengalami radang tenggorokan.

“Beli satu strip, kalau memang sisa ya udah. Penggunaannya kalau pas sakit aja. Meskipun aku tahu kalau memang antibiotik itu harus sampai selesai, tapi pada praktiknya aku biasanya ya cuman sampai sembuh aja,” kata Adhan.

Masalahnya, Adhan hanyalah satu dari masih banyaknya masyarakat yang bisa memperoleh antibiotik secara bebas. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 mengungkap, selama setahun terakhir, proporsi pengguna antibiotik oral dengan resep dokter di kalangan usia 15 tahun atau lebih, hanya mencapai 59 persen.

Sementara sisanya, sebanyak 41 persen, mendapatkannya tanpa resep dokter. Resep yang dimaksud dapat berupa hardcopy atau resep elektronik (e-prescription), yang didapat setelah berkonsultasi dengan dokter, atau usai berobat di rumah sakit/puskesmas/klinik/praktik mandiri dokter.

Apabila data SKI tersebut dibedah dari segi wilayah, proporsi masyarakat yang memperoleh antibiotik dengan resep dokter, di atas 90 persen, adalah yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di kisaran 80 persen, ada masyarakat Bali, Banten, Kalimantan Barat, dan Papua Pegunungan.

Sebagian Besar Obat Antibiotik Tanpa Resep Dokter Diperoleh dari Apotek?

Pemberian antibiotik di lingkungan pelayanan kesehatan dan kefarmasian sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik.

Dalam pasal 3 disebutkan, penggunaan antibiotik harus berdasarkan resep dokter atau dokter gigi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Antibiotik disebut sebagai obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.

Kendati masyarakat mengaku bisa membeli antibiotik secara bebas di luar layanan fasilitas kesehatan, seperti warung, menurut SKI 2023, sebagian besar dari mereka yang memperoleh antibiotik tanpa resep dokter justru berasal dari apotek atau toko obat berizin, jumlahnya menyentuh 61,3 persen.

Baru mengikuti di belakangnya warung, praktik mandiri tenaga kesehatan bukan dokter, dan rumah sakit/puskesmas/praktik mandiri dokter.

Beberapa sumber tersebut bukan berarti tak saling berkaitan. Iza (bukan nama sebenarnya), seorang apoteker yang bekerja di salah satu apotek di Lamongan, Jawa Timur, mengaku beberapa pelanggannya yang membeli antibiotik tanpa resep dokter sebelumnya beli antibiotik di warung, atau sempat disarankan oleh orang sekitar.

“Yang paling banyak itu antibiotik Amoxicillin dan Super Tetra, itu ternyata diecer di warung. Terus sebenernya termasuk juga ada orang itu periksa, terus batuk pilek atau apa, ke dokter, dikasih Amoxicillin, ternyata dia membaik, akhirnya dia cerita lah ke tetangganya. Atau tetangganya lagi sakit terus dikasih antibiotik itu, itu juga sering terjadi,” tutur Iza kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Padahal, penggunaan Amoxicillin dan Super Tetra sebenarnya tidak untuk mengatasi infeksi virus, seperti flu. Mengutip laman Alodokter, obat antibiotik Amoxicillin sendiri biasa dipakai untuk mengatasi berbagai penyakit akibat infeksi bakteri, termasuk infeksi telinga atau bronkitis (iritasi atau peradangan di dinding saluran bronkus).

Lebih jauh mengenai pembelian antibiotik di apotek, Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) DIY, Ika Puspitasari, menjelaskan, dalam sejumlah kasus, para apoteker sebenarnya sudah mengingatkan, tetapi pasiennya justru keras kepala.

“Jadi kadang udah ngingetin, apoteker juga sudah ngingetin. Tapi kalau di kota lain karena masih semuanya bisa memberi [antibiotik] jadinya ya ada kompetisi juga, itu yang terjadi. Jadi kesadaran itu mesti dibangun untuk semua kalangan,” kata Ika saat diwawancarai Tirto, Selasa (14/5/2024).

Sebuah studi kualitatif oleh Ferdiana, dkk (2021) yang dipublikasikan jurnal BMC Public Health mengonfirmasi pernyataan Iza dan Ika. Penelitian itu menangkap bahwa pola pembelian antibiotik tanpa resep di apotek umumnya dilakukan sebagai upaya pengobatan mandiri (swamedikasi/self-medication), berdasarkan pengalaman sebelumnya di sektor publik atau saran dari kerabat/teman.

Studi yang dilakukan di Bekasi, Jawa Barat, dan Tabalong, Kalimantan Selatan, itu juga mengungkap, persaingan pasar turut memengaruhi pemberian antibiotik tanpa resep di apotek. Dengan kata lain ada kebutuhan--atau kewajiban, untuk memaksimalkan keuntungan yang mesti dilakukan apoteker.

Peredaran Antibiotik di Apotek: Demand yang Tinggi dan Lemahnya Pengawasan

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Masdalina Pane, berpendapat bahwa perilaku swamedikasi diperparah dengan mudahnya akses masyarakat dalam mendapatkan antibiotik di apotek. Menurutnya, hal ini disebabkan karena adanya faktor supply and demand serta lemahnya pengawasan dari pihak terkait seperti organisasi profesi dan regulator.

Supply and demand artinya ada permintaan dari masyarakat dan apotek itu bisa menyuplainya. Ini yang harus diatur oleh regulator, bahwa antibiotik yang masuk ke apotek tersebut harus bisa dibuktikan pengeluarannya dengan resep yang menyertainya. Jadi, selama tidak ada pembanding antara antibiotik yang dikeluarkan oleh apotek dengan resep dokter yang memberikan antibiotik tersebut, maka seharusnya apotek itu dapat teguran,” kata Masdalina kepada Tirto, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia meminta organisasi profesi terkait seperti IAI dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk lebih melakukan pengawasan terhadap anggotanya terkait pemberian antibiotik ini. Hal ini disebabkan, konsumsi antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan sejumlah resiko, salah satunya resistensi antibiotik.

Hal serupa diungkap Chief of Research and Policy dariCenter for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda. Ia menekankan demand yang tinggi serta kebijakan yang kurang tegas ini membuat pelaku bisnis melihat kesempatan lebih untuk mendapatkan profit dengan minim sanksi. Dengan begitu, perdagangan antibiotik yang bebas ini menjadi semakin marak.

Demand yang tinggi terjadi karena masyarakat menganggap antibiotik merupakan ‘obat serbaguna’. Dalam konteks masyarakat kita, antibiotik juga kerap diberikan kepada anak ketika alami batuk, flu, ataupun radang tenggorokan,” kata dia lewat keterangan tertulis, Kamis (16/5/2024).

Soal ini, Olivia menyinggung perkara lemahnya pengawasan peredaran obat antibiotik di apotek.

“Berbeda dengan rumah sakit yang sesuai amanat Permenkes, perlu membentuk kepanitiaan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, peredaran antibiotik di apotek dan toko obat tidak diharuskan menggunakan mekanisme seperti itu sehingga pemberian antibiotik kerap didasarkan pilihan mengoptimalkan pendapatan bisnis,” imbuhnya.

Resistensi Antibiotik Jadi Pandemi Senyap Jika Tak Diatasi

Olivia dari CISDI menambahkan bahwa penggunaan antibiotik tanpa resep dokter tidak dianjurkan karena berpotensi menyebabkan inkonsistensi penggunaan hingga menyebabkan resistensi antibiotik.

“Penggunaan antibiotik tanpa resep dokter berpotensi menyebabkan inkonsistensi penggunaan hingga menyebabkan resistensi antibiotik. Dalam kondisi resistensi bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik sehingga pengobatan menjadi tidak efektif. Bakteri yang masih bertahan dalam tubuh ini akan terus hidup dan pasien akan lebih sulit disembuhkan,” tuturnya kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Sebagai informasi, resistensi antibiotik sendiri telah menjadi tantangan global saat ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan resistensi antibiotik sebagai proses mutasi mikroorganisme (bakteri, jamur, virus, parasit) yang terpapar obat antibiotik, sehingga membuat infeksi terus berlanjut dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit ke orang lain.

Pada tahun 2022 lalu, WHO sendiri telah mendeklarasikan resistensi antibiotik atau Antimicrobial Resistance (AMR) sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia.

Dalam konteks Indonesia, Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono, sempat menjuluki AMR sebagai pandemi senyap. Pasalnya, angka kematian akibat AMR cukup tinggi. Selain itu, berdasarkan data WHO, Indonesia termasuk dalam lima negara dengan perkiraan peningkatan persentase konsumsi antimikroba tertinggi pada 2030.

“1,2 juta kematian itu terjadi karena antibiotik yang tidak mempan lagi terhadap infeksi tertentu,” ujar Dante, dikutip dari laman Kemenkes, Rabu (24/8/2022)

Menyoal tingkat AMR Indonesia, Masdalina selaku Peneliti BRIN, mengungkap, Indonesia saat ini memiliki angka AMR yang lebih tinggi dibanding negara lain di Asia Tenggara. Menurutnya, tingginya angka AMR ini berimplikasi pada peningkatan beban negara karena harus mengeluarkan anggaran lebih untuk membeli antibiotik dengan derivat yang lebih tinggi.

“Tentu akan jadi beban negara. Mengapa? Karena untuk penyakit-penyakit infeksi ringan saja kalau sudah resisten terhadap antibiotik yang menjadi standar dalam pengobatan itu maka negara juga harus mengeluarkan anggaran untuk membeli antibiotik dengan derivat lebih tinggi,” katanya.

Namun, penyalahgunaan penggunaan antibiotik bukan satu-satunya faktor terjadinya resistensi antibiotik kepada manusia. Masdalina menambahkan, masalah ini juga tak lepas dari penyalahgunaan penggunaan antibiotik pada hewan.

“Jadi, cukup banyak juga peternakan kita yang menggunakan antibiotik yang tidak rasional untuk mencegah hewan ternak mereka menderita penyakit. Hewan yang kita makan dan menggunakan antibiotik yang tidak rasional itu juga bisa berdampak pada resistensi pada manusia,” imbuhnya.

Ika dari IAI DIY, juga menggarisbawahi soal residu antibiotik yang tidak hilang, sekalipun makanan (misal daging), dibakar atau direbus.

“Jadi sangat mungkin, yang kita makan sekarang itu kalo nggak dijaga itu ada residunya, sehingga menyebabkan, kita nggak kerasa bahwa kita sebenarnya terpapar antibiotik dengan dosis rendah yang itu menjadi resisten,” tuturnya lewat sambungan telepon, Selasa (14/5/2024).

Ika menekankan pentingnya cuci tangan, sebab gen dari mikroorganisme yang resisten itu juga ada di tangan.

Kurangnya Sosialisasi dan Edukasi Penggunaan Antibiotik

Salah satu permasalahan krusial di balik penggunaan antibiotik irasional adalah belum maksimalnya edukasi dan sosialisasi tentang penggunaan antibiotik terhadap masyarakat.

Selain kepada masyarakat, Masdalina menegaskan rasionalitas terhadap antibiotik juga harus diajarkan ke rumah sakit untuk tidak mudah mengeluarkan antibiotik dengan derivat (dosis) tinggi. Ia pun menyinggung soal kemungkinan adanya hubungan timbal balik antara produsen obat dan klinisi.

“Sosialisasi baru pada tahap antara dokter dan pasien. Masyarakat tahu misal antibiotik harus dihabiskan, tapi lebih jauh soal double antibiotik atau resistensi antibiotik ini yang masyarakat belum tahu. Kadang-kadang juga ada ‘feedback’ yang diberikan produsen obat terhadap klinisi terkait resep yang mereka keluarkan. Ini juga yang merangsang para klinisi untuk mengeluarkan resep antibiotik,” katanya menjelaskan.

Selaras, Olivia Herlinda dari CISDI, memandang penting bagi pemerintah, terutama Kemenkes, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep dokter.

Ia menambahkan, pengetahuan yang dimaksud termasuk kewajiban para pihak yang terlibat dalam jual-beli antibiotik. Hal ini, karena hingga saat ini masyarakat masih belum cukup mengetahui risiko terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

“Masih adanya anggapan antibiotik untuk meningkatkan daya tahan tubuh ini perlu diluruskan. Dan di-sosialisasi-kan pengetahuan lanjutan tentang potensi risiko bila mengkonsumsinya tanpa resep dokter. Ini perlu juga diikuti penekanan tentang resistensi antibiotik ketika bakteri dalam tubuh justru bertahan lebih lama dan menyebabkan risiko kesehatan lain yang lebih berbahaya,” imbuhnya.

Pernyataan mereka didukung oleh laporan SKI 2023 yang menyingkap hanya sekitar 28,7 persen responden yang terlibat, tahu kalau antibiotik digunakan untuk infeksi bakteri. Kemudian baru 26,8 persen yang menyadari bila antibiotik tidak digunakan sesuai aturan, maka kuman menjadi kebal.

Sementara dari segi pengetahuan terkait antibiotik tidak boleh dibeli tanpa resep dokter, antibiotik harus dihabiskan, antibiotik mesti diminum sesuai jadwal, dan sisa antibiotik tidak dapat digunakan lagi, popularitasnya lebih tinggi. Persentase yang memilih seluruh opsi itu masing-masing 47,1 persen, 67,7 persen, 69,2 persen, dan 55,9 persen.

Perlu Adanya Transformasi Digital untuk Pengawasan

Dalam rangka pencegahan AMR, pemerintah telah menggencarkan pendekatan One Health, yakni pengendalian konsumsi antibiotik di semua lini, baik manusia, hewan, dan tumbuhan.

Direktur Mutu Pelayanan Kemenkes, Yanti Herman, menyatakan beberapa langkah yang perlu dilakukan juga meliputi pengawasan penjualan antibiotik bebas di masyarakat dan pembentukan tim program pengendalian antimikroba.

“[Perlu juga] penyusunan kebijakan penggunaan antimikroba termasuk antibiotik yang ditetapkan oleh pimpinan fasyankes [fasilitas layanan kesehatan] dan pengawasan pelaksanaan kebijakan apabila mampu dengan menggunakan aplikasi,” katanya saat dihubungi Tirto, Rabu (15/5/2024).

Masdalina dari BRIN pun mengusulkan adanya transformasi digital dalam proses pengawasan dan peredaran antibiotik di Indonesia. Ia berpendapat, selama ini sudah banyak peraturan dari pemerintah yang mengatur soal penggunaan antibiotik. Namun, permasalahan utamanya terletak pada implementasi di lapangan.

“Peraturan sudah ada, tapi implementasinya terhadap pengawasan peraturan yang belum dilakukan. Selalu alasannya adalah karena kita kurang tenaga dalam pengawasan apotek. Memang, jumlah apotek dan apoteker itu banyak bisa sampai ratusan ribu sementara tenaga untuk mengawasi kan tidak banyak. Saya kira dengan adanya transformasi digital itu [pengawasan] itu bisa jauh lebih mudah,” tutur Masdalina.

Atas dasar hal tersebut, ia mengusulkan adanya sebuah sistem yang terintegrasi secara digital untuk mengawasi produksi dan peredaran antibiotik sampai kepada konsumen.

“Setiap obat yang masuk ke apotek atau setiap obat yang dikeluarkan produsen wajib masuk sistem ini. Ketika [apotek] mengeluarkan obat juga harus jelas, berapa banyak yang dibeli dan siapa dokter yang memberi resep. Dari sini bisa juga terdeteksi kecenderungan klinisi dalam mengeluarkan antibiotik, mereka yang suka mengeluarkan antibiotik jenis tertentu juga bisa dievaluasi dengan sistem digital ini,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Masdalina juga menekankan pentingnya koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait dalam proses pengawasan dan peredaran antibiotik di Indonesia. Dalam hal ini, ia mengusulkan untuk dibentuk sebuah satuan tugas (satgas) yang khusus melakukan pengawasan terhadap peredaran antibiotik di Indonesia.

“Koordinasi antar kementerian dan lembaga agar tidak hanya di atas meja tapi memang benar-benar implementasinya sampai di lapangan. Jadi, menurut saya perlu dibentuk satgas untuk melakukan pengawasan. Kemudian, selain pengawasan juga harus ada penindakan yang tegas kepada apotek, apoteker dan klinisi yang mempergunakan antibiotik secara tidak rasional,” kata Masdalina menutup percakapan.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait DECODE atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty