tirto.id - Pada 10 Februari 2003 Kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Beijing mendapati pesan masuk pada surat elektronik mereka lebih banyak dari hari-hari biasa. Seluruh pesan menggambarkan kepanikan yang sama: sebuah penyakit menular aneh telah menewaskan seratus orang di Guangdong dalam waktu cuma seminggu.
“Stok obat-obatan tertentu kosong, orang-orang memborongnya karena mereka pikir obat itu bisa melindungi mereka,” demikian tertulis dalam catatan WHO.
Mundur tiga bulan ke belakang di daerah epidemi. Pada 16 November 2002, tepat hari ini 17 tahun lalu, kasus pertama penyakit pernapasan akut terjadi di Kota Foshan, Provinsi Guangdong, Cina. Ketika itu tenaga medis di Cina gagal mendeteksi jenis penyakit yang kemudian mewabah di dunia.
Hingga 12 Februari 2013 total sudah ada 305 kasus pernapasan akut yang terdeteksi di Guangdong. Tapi selama tiga bulan itu pemerintah Cina memilih menyembunyikan epidemi dari sorot dunia demi menjaga harkat negara. Mereka berusaha sendiri menangani epidemi itu. Berbagai uji laboratorium pun dilakukan untuk mengetahui sumber penyakit.
Mulanya Cina curiga penyakit pernapasan akut itu berasal dari salah satu virus influenza, tapi tes laboratorium menunjukkan hasil negatif. Akhirnya pada 14 Februari 2003 mereka menyerah dan membuka informasi tersebut kepada WHO—meski masih disisipi pernyataan bahwa wabah telah terkendali plus mereduksi data pasien terinfeksi.
Epidemi pernapasan akut di Cina akhirnya menjangkit ke berbagai wilayah di dunia akibat perjalanan lintas negara. Seorang dokter bernama Liu Jian Lun, 64 tahun, ditengarai menjadi agen penyebar utama. Pada pertengahan Februari 2003 saat bertugas di Rumah Sakit Sun Yat-sen Memorial di Guangzhou, ia kebagian bertugas merawat Zhou Zoufeng, pasien pernapasan akut asal Guangdong.
Liu tak pernah menyangka telah tertular virus dari Zoufeng. Pada 21 Februari 2003 sang dokter melakukan perjalanan ke Hong Kong dan menginap di lantai 9 Metropole Hotel. Dari situlah virus menular ke belasan tamu hotel. Ketika para pelancong itu pulang, mereka jadi agen penyebar virus di negara masing-masing.
Krisis Epidemi Penyakit Baru
Liu sebenarnya sudah merasakan gejala pernapasan selama lima hari. Tapi ia nekat jalan-jalan bersama saudara ipar yang tinggal di Hong Kong. Keduanya lalu dirawat di Rumah Sakit Kwong Wah. Tiga hari kemudian, pada 25 Februari 2003, saudara ipar Liu diperbolehkan pulang, tapi ia kembali dirawat pada 1 maret 2003.
“Liu sempat memperingatkan staf medis di sana bahwa ia mungkin mengidap penyakit yang sangat ganas,” ungkap WHO.
Otoritas kesehatan di Hong Kong akhirnya menyelidiki muasal penyakit Liu dan memprediksi gejala penyakit berkembang sekitar 15 Februari 2003, tanggal ketika ia memberi perawatan kepada Zoufeng. Kabar buruknya, nyawa Liu tak selamat meski sudah mendapat perawatan di Hong Kong selama dua minggu.
Peta persebaran penyakit itu kemudian meluas dari Hong Kong ke Hanoi, Vietnam lewat kepulangan Jonny Chen, seorang tamu Metropole Hotel. Ia menularkan virus ke 61 pekerja medis di Rumah Sakit Hanoi. Selanjutnya virus menjangkiti warga Kanada dari seorang pelancong perempuan asal Toronto. Penyakit itu juga mewabah di Singapura, dibawa oleh tiga turis yang baru pulang berlibur dari Hong Kong.
Berturut-turut virus tersebut sampai ke Thailand, Irlandia, Amerika Serikat, dan akhirnya ke Indonesia pada Mei 2003 lewat seorang WNI yang melakukan perjalanan dari Singapura. Pada 15 Maret 2003 WHO menjuluki ancaman kesehatan dunia itu dengan sebutan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Mereka kemudian mengeluarkan peringatan global soal perjalanan antarnegara sebab bukti penyebaran mengacu pada perjalanan udara di rute internasional. Selanjutnya WHO untuk pertama kalinya memberikan pedoman definisi, gejala, dugaan, dan kemungkinan kasus SARS kepada publik.
Penyakit Zoonosis yang Bermutasi
SARS merupakan penyakit menular yang memengaruhi sistem pernapasan dan disebabkan oleh virus corona SARS (SARS-CoV). WHO mengungkap kemungkinan penyakit ini berkembang dari reservoir hewan seperti kelelawar dan menyebar ke hewan lain misalnya kucing atau musang, kemudian bertransmisi ke manusia.
Transmisi SARS-CoV antar manusia terjadi pada minggu kedua setelah infeksi. Virus dari penyakit ini menyebar layaknya virus influenza, melewati bersin, batuk, atau kontak langsung. Karena penyebaran yang relatif mudah dan cepat, di tahun 2003 epidemi SARS meluas hingga ke 26 negara dengan jumlah terlapor lebih dari 8.000 kasus.
Gejala penyakitnya juga mirip influenza sehingga pemerintah Cina sempat menyangka wabah itu disebabkan oleh flu. Individu yang terinfeksi SARS-CoV biasanya menunjukkan serangan sakit kepala, diare, batuk, demam, lemas, nyeri otot, dan menggigil pada minggu pertama hingga minggu kedua infeksi penyakit.
Lantaran hasil laboratorium di Cina negatif terhadap influenza, maka WHO menunjuk 11 laboratorium di berbagai negara untuk menyelidiki faktor epidemi. Setelah gugur kecurigaan terhadap virus influenza, peneliti di Cina menduga bakteri Chlamydia sebagai sumber penyakit. Tapi perbedaan pendapat mengemuka dari peneliti Hongkong dan beberapa peneliti dari negara lain.
Ada dua hipotesis penyebab epidemi sebagai kesimpulan awal, yakni Coronavirus atau Paramyxovirus. Hasil analisis di kemudian waktu mengungkap bahwa virus yang bertanggung jawab terhadap epidemi di lebih dari 25 negara itu adalah Coronavirus. Coronavirus pertama kali diisolasi pada 1965 dari cairan hidung seorang anak dengan gejala pilek—yang biasanya disebabkan infeksi Rhinovirus atau virus Influenza.
Tapi Coronavirus pada pasien terinfeksi SARS berbeda dengan Coronavirus yang sudah teridentifikasi saat itu. Perbedaan sekuen diduga akibat virus penyebab SARS sudah bermutasi. Coronavirus termasuk dalam virus RNA yang terkenal bermutasi 1 juta kali lebih cepat dari pada virus DNA. Akhirnya khusus untuk membedakan Coronavirus penyebab SARS, WHO menamainya dengan julukan baru yaitu virus SARS.
Walaupun sudah melewati masa wabah, SARS hingga kini masih menjadi ancaman serius di dunia kesehatan. Pada 2004 memang pernah ada percobaan vaksin SARS, tapi nyatanya sampai sekarang belum ada obat atau antivirus yang bisa jadi penangkal virus ini.
Editor: Ivan Aulia Ahsan