tirto.id - Isu yang menyebut bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi memiliki kewenangan untuk menangkap direksi maupun komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencuat ke publik. Isu ini muncul setelah Undang-Undang BUMN terbaru, Pasal 9G, yang menyatakan bahwa pimpinan BUMN tidak masuk kategori sebagai penyelenggara negara.
Ketentuan tersebut dinilai membawa dampak signifikan terhadap ruang lingkup kewenangan KPK. Sebab, selama ini lembaga antirasuah itu hanya berwenang menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa lembaga ini dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Oleh karena itu, apabila direksi dan komisaris BUMN tidak lagi termasuk dalam kategori tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai kemampuan KPK dalam menjangkau mereka secara hukum.
Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan, terutama warganet, yang menilai ketentuan baru ini sebagai bentuk pelemahan KPK. Banyak yang menilai UU BUMN bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, serta dikhawatirkan membuka celah praktik korupsi di lingkungan BUMN. Tak sedikit yang menyayangkan aturan tersebut, terutama karena dianggap tidak sejalan dengan janji Pemerintahan Prabowo untuk menutup kebocoran anggaran negara.
Benarkah KPK Tidak Bisa Lagi Tangkap Direksi BUMN?
Perubahan status anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 memunculkan kekhawatiran publik terhadap arah pemberantasan korupsi.
Pasal 9G dalam UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pimpinan BUMN bukanlah penyelenggara negara. Hal ini dinilai berdampak pada kewajiban pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta potensi penanganan kasus korupsi oleh KPK.
Menteri BUMN Erick Thohir angkat bicara menanggapi polemik ini. Ia menegaskan bahwa perubahan status tersebut tidak berarti memberikan kekebalan hukum.
“Nggak usah ditanya, kalau kasus korupsi mah ya tetap saja di penjara. Nggak ada hubungannya kalau pihak yang melakukan kasus korupsi dengan isu payung hukum bukan penyelenggara negara. Korupsi ya korupsi,” ujar Erick dalam pernyataan di Jakarta, 6 Mei 2025.
Ia juga menyampaikan bahwa Kementerian BUMN tengah berkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan Agung untuk menyelaraskan aturan baru dalam UU BUMN, termasuk dalam hal mendefinisikan kerugian negara dan kerugian korporasi.
Langkah tersebut dilakukan untuk memastikan penegakan hukum terhadap korupsi di lingkungan BUMN tetap berjalan meskipun terjadi perubahan status hukum bagi para petinggi.
Erick juga menyampaikan rencana penambahan posisi deputi khusus untuk pengawasan dan investigasi korporasi. Posisi tersebut akan melibatkan aparat penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung, guna memperkuat sistem pengawasan internal dan mencegah korupsi.
Dengan demikian, meskipun status hukum pimpinan BUMN mengalami perubahan, pemerintah menyatakan komitmennya untuk terus memberantas korupsi melalui kerja sama antarlembaga dan penguatan sistem pengawasan.
Isi UU BUMN Terbaru tentang KPK Tak Bisa Lagi Tangkap Direksi BUMN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara memperkenalkan ketentuan baru yang menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Hal ini tercantum dalam Pasal 9G, sementara Pasal 3X ayat (1) menyebutkan bahwa organ dan pegawai BUMN juga bukan penyelenggara negara. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan KPK, yang selama ini bertumpu pada penanganan korupsi oleh penyelenggara negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 7 mengatur bahwa KPK berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN serta menetapkan status gratifikasi. Sementara itu, Pasal 11 menetapkan bahwa KPK hanya dapat menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan menimbulkan kerugian negara minimal Rp1 miliar.
Dengan perubahan status hukum petinggi BUMN, kekhawatiran muncul bahwa KPK tidak lagi memiliki pijakan hukum untuk menangani kasus korupsi di lingkungan BUMN. Hal ini memicu perdebatan luas mengenai efektivitas dan jangkauan lembaga antirasuah dalam mengawasi sektor BUMN.
Menteri Erick Thohir menegaskan bahwa perubahan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan kekebalan hukum. Ia menyampaikan bahwa siapa pun yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tetap harus menjalani proses hukum, terlepas dari status hukum sebagai penyelenggara negara atau bukan.
Ia juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara Kementerian BUMN, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk menyesuaikan peraturan baru tersebut. Tujuannya adalah memastikan bahwa pemberantasan korupsi di BUMN dapat berjalan efektif tanpa mengurangi integritas dan daya jangkau hukum lembaga penegak hukum.
Penulis: Astam Mulyana
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Masuk tirto.id


































