Menuju konten utama
Kasus Butet Kartaredjasa

Beda Pilihan Politik Jangan Direspons Pembungkaman Berekspresi

Kunto menilai dugaan kepolisian yang melarang seniman bicara soal politik bukan hanya intimidatif, namun menyalahi konstitusi.

Beda Pilihan Politik Jangan Direspons Pembungkaman Berekspresi
Seniman Butet Kartaredjasa membaca puisi berjudul Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana karya Alim Ulama KH Mustofa Bisri pada acara Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-44 PDI Perjuangan di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/17.

tirto.id - Seniman Butet Kartaredjasa kecewa terhadap sikap kepolisian yang melarang dia menampilkan materi tentang politik dalam pertunjukan teater yang dilakoninya. Pertunjukan teater bertajuk ‘Musuh Bebuyutan’ tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023) pekan lalu. Lakon ini ditulis oleh sastrawan Agus Noor.

Butet mengaku, tindakan pihak kepolisian itu membuat materi seni pertunjukan yang ia tampilkan menjadi diatur oleh kekuasaan di luar dirinya. Dia menilai tindakan ini sebagai sebuah bentuk intimidasi terhadap kebebasan berekspresi masyarakat.

“Amanah kongres kebudayaan jelas menyebutkan kebebasan berekspresi hak mendasar, hak mutlak rakyat Indonesia, polisi mengartikan intimidasi secara naif, hanya soal fisik,” kata Butet dikutip dari Antara, Kamis (7/12/2023).

Butet menilai, izin dari kepolisian seharusnya hanya untuk kesenian yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Dia merasa pertunjukan yang dilakoninya hanya memerlukan pemberitahuan saja karena tidak mengganggu ketertiban umum.

“Seminggu sebelumnya saya harus menandatangani surat yang salah satu itemnya berbunyi ‘Saya harus mematuhi, tidak bicara politik, acara saya tidak boleh untuk kampanye, tidak boleh ada tanda gambar, tidak boleh urusan pemilu’,” kata dia.

Butet merasa baru kali ini sejak rezim Orde Baru runtuh pada 1998, polisi menambahkan redaksional aturan tidak boleh membicarakan politik yang harus diteken. Intimidasi, kata Butet, tidak harus diartikan selalu sebagai konfrontasi melalui pertemuan langsung.

“Itu menurut saya (juga bentuk) intimidasi. Intimidasi tidak harus pertemuan langsung, tidak harus ada pernyataan verbal dari polisi, polisi datang marah-marah, bukan itu,” tutur Butet.

Ungkapan kekecewaan dilontarkan serupa oleh penulis naskah lakon teater tersebut, Agus Noor. Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, Agus menulis, pentas Indonesia Kita sudah diadakan sejak 2011, artinya sudah 40 lakon ditampilkan dan selalu memuat unsur tema sosial-politik.

“Artinya, sejak 2011 itu pentas Indonesia telah melewati beberapa pemilu/pilpres. Dan saat itu, kami tak pernah harus menandatangani surat pernyataan untuk “BERKOMITMEN” tidak mengusung masalah atau unsur politik,” kata Agus.

Ia merasa heran dengan permintaan dari kepolisian kali ini agar pementasan teater tidak membicarakan unsur politik. Menurut dia, dalam Pemilu 2014 dan 2019 saja dirinya tidak pernah mengalami keadaan seperti sekarang ini.

“Suasana batin kami penuh pertanyaan penasaran dan kecemasan, saat menyiapkan pementasan. Suasana yang tak pernah kami alami sebelumnya. Kecuali dulu di zaman Orde Baru,” tulis Agus.

PAMERAN BUTET KARTAREDJASA

Perupa Butet Kartaredjasa di antara karya patung dan lukisan keramiknya yang terpajang dalam acara pembukaan Pameran Tunggal Seni Visual Butet Kartaredjasa, bertajuk 'Goro Goro Bhinneka Keramik', di Galeri Nasional, Kamis (30/11/2017). ANTARA FOTO/Dodo Karundeng

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, menyampaikan tindakan dugaan intimidasi oleh anggota kepolisian secara jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi warga negara yang telah dijamin di dalam konstitusi dan undang-undang.

Dia menambahkan, pertunjukan seni dan muatan pesan di dalamnya sekalipun mengandung unsur politik, sesungguhnya merupakan hak setiap warga negara yang harus dihormati oleh siapa pun.

“Tidak ada satupun alasan yang membenarkan bagi kepolisian untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan tersebut, apalagi hal tersebut dilakukan dengan cara-cara intimidatif,” kata Ijul, sapaan akrabnya, Kamis (7/12/2023).

Setiap anggota kepolisian memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjamin hak asasi manusia dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya. Kewajiban anggota kepolisian tersebut telah ditegaskan secara jelas dalam UU No. 2 tahun 2022 tentang Polri dan Peraturan Perpol No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian.

“Karena itu, tindakan intimidasi anggota kepolisian kepada para seniman di Taman Ismail Marzuki jelas merupakan pelanggaran hukum yang tidak boleh dibiarkan tanpa evaluasi dan koreksi dari pimpinan,” ujar Ijul.

Menurut dia, untuk menjamin pemilu yang demokratis, intervensi alat-alat keamanan dan hukum negara, termasuk yang dilakukan dengan pembatasan kebebasan warga negara harus dihindari. Kepolisian harus bertindak profesional, netral, dan menghormati HAM dalam mengawal jalannya pemilu.

“Pemilu merupakan ruang bagi pertarungan gagasan, bukan tempat untuk saling beradu kekuasaan,” tegas Ijul.

Merusak Kebebasan Berekspresi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga merespons dugaan intimidasi dari aparat kepolisian terhadap seniman Butet Kartaredjasa dan Agus Noor. Usman menilai, tindakan intimidasi itu tak hanya mencederai kebebasan berkesenian, tapi juga merusak iklim hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi.

“Ini merupakan hak dasar setiap orang yang dilindungi hukum. Pembatasan terhadap seniman hanya akan merugikan perkembangan kebudayaan dan juga partisipasi masyarakat,” kata Usman.

Usman merasa, intimidasi kepada seniman ini mengingatkan pada era rezim Orde Baru. Kala itu, kegiatan seni sering menjadi sasaran sensor dan pembatasan.

“Upaya mengendalikan ekspresi artistik yang kritis bisa dilihat sebagai bentuk kembalinya praktik yang seharusnya ditinggalkan,” terang dia.

Usman mendesak pihak berwenang untuk segera menghentikan praktik intimidasi terhadap para seniman dan siapapun warga yang berpikir kritis. Negara, kata dia, harus menjamin kebebasan berkesenian sebagai bagian integral dari kebebasan berekspresi.

“Segala bentuk ekspresi dalam seni adalah elemen penting dalam membangun masyarakat yang demokratis dan berbudaya,” tegas Usman.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, sebut dugaan intimidasi kepada seniman di Taman Ismail Marzuki harus dilaporkan untuk menemukan titik terang kasus tersebut. Dia tidak sepakat dalam proses penyelenggaran pemilu, ada perlakuan intimidatif pada kritik-kritik inisiatif dari masyarakat, seperti dalam pertunjukan seni yang dibatasi, diintimidasi, dan disensor.

“Sehingga publik juga mendapatkan ruang yang jauh lebih terang tentang peristiwa ini sehingga tidak menggelinding ke mana-mana,” kata Fadli dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/12/2023).

Menurut dia, kasus ini perlu dibuktikan bagaimana bentuk intimidasi yang terjadi sehingga masyarakat bisa mengetahui duduk perkara dengan jelas. Selain itu, agar pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini bisa didesak untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

“Kita bisa meminta pertanggungjawaban kepada siapa itu dilakukan dan kemudian siapa yang melakukan itu dan bagaimana itu dilakukan, kapan itu dilakukan, jadi kita bisa tahu,” tutur Fadli.

Beda Pilihan Politik Bukan Berarti Kebebasan Berekspresi Dibatasi

Analisis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai dugaan intimidasi ini perlu menjadi perhatian publik bersama. Dia menambahkan, jika benar kejadian ini didasari perbedaan pilihan politik seperti yang ramai di media sosial, maka perlu ada klarifikasi yang lebih jelas dari pihak-pihak yang berusaha membungkam kebebasan para seniman di TIM.

“Jadi di sini semuanya harus transparan, kalau perlu, ya ada pengadilan dibuka, di pengadilan, sehingga tidak terjadi impunitas, gitu, bahwa pelanggaran yang seperti ini harus segera diproses,” kata Kunto dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/12/2023).

Menurut Kunto, dugaan kepolisian yang melarang seniman bicara soal politik bukan hanya intimidatif, namun menyalahi konstitusi. Apalagi jika hal ini dilakukan pemerintah, Kunto menilai ini merupakan hal yang melanggar HAM.

“Seharusnya pemerintah memang menjamin kebebasan berekspresi, apalagi ini kan pemilu dalam 5 tahun sekali, rakyat berharap elit politik mendengarkan mereka, dan inilah saatnya rakyat berbicara lebih kencang, lebih keras,” tegas Kunto.

“Jadi, kalau pada waktu pesta politik rakyat juga disuruh diam, ya, pestanya buat elit aja dong,” lanjut dia.

Polisi membantah adanya intimidasi dari anggota kepolisian saat seniman Butet Kartaredjasa dan Agus Noor menggelar pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada 1 Desember 2023.

“Tidak ada [intimidasi], kami tidak menyentuh pada aspek materi, apalagi perizinan [kegiatan],” tutur Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo, kepada awak media, Rabu (6/12/2023).

Ia menyebutkan, perizinan penyelenggaraan pertunjukan telah diurus oleh penyelenggara pertunjukan Butet-Agus, yakni Kayan Production. Kepolisian, kata dia, hanya melakukan pengamanan pertunjukan tersebut.

Mengingat, di acara itu juga hadir salah satu calon wakil presiden pada Pilpres 2024. Pengamanan dilakukan agar pertunjukan berjalan dengan lancar.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Sandi Nugraha, mengklaim pihaknya telah bersikap netral, terutama saat masa Pemilu 2024. Namun, ia tetap meminta masyarakat agar membuat laporan jika ada aparat kepolisian yang tak netral.

Sandi juga meminta warga agar tidak berspekulasi atas hal yang menimpa Butet dan Agus Noor. “Polisi netral dalam kegiatan-kegiatan yang sudah diselenggarakan, apalagi dalam pemilu. Apabila ada oknum yang tidak sesuai ketentuan, silakan dilaporkan,” ucap Sandi.

“Jadi, kita tidak usah berpersepsi, tidak usah berandai-andai,” tambah dia.

Baca juga artikel terkait BUTET KARTAREDJASA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz