tirto.id - Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam melahirkan empat kekuasaan di Jawa, yakni Hamengkubuwana, Pakubuwono, Mangkunegara, dan Paku Alam. Lantas, apa beda Pakualaman dan Hamengkubuwono?
Melalui Perjanjian Giyanti pada abad ke-18, Mataram terpecah menjadi beberapa wilayah kekuasaan yang berdiri dengan identitas dan garis kepemimpinan masing-masing. Dari perpecahan itu lahir nama-nama seperti Hamengkubuwana, Pakubuwono, Mangkunegara, dan Paku Alam.
Keempat gelar tersebut adalah simbol kebangsawanan dan kekuasaan di dua pusat kebudayaan Jawa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Hamengkubuwana menjadi gelar bagi raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sementara Paku Alam digunakan oleh para adipati di Kadipaten Pakualaman.
Di Surakarta, dua garis kepemimpinan muncul, masing-masing dengan gelar Pakubuwono dan Mangkunegara.
Meskipun berakar dari satu kerajaan yang sama, tiap-tiap gelar memiliki kedudukan, tradisi, dan peran yang berbeda dalam struktur budaya Jawa.
Hingga kini, para penguasa yang menyandang gelar tersebut masih memegang peranan penting dalam pelestarian adat dan simbol sejarah Mataram. Empat nama itu menjadi saksi hidup perjalanan panjang warisan politik dan kebudayaan Jawa yang bertahan lintas zaman.
Apa Perbedaan Pakubuwono, Hamengkubuwono, Mangkunegara, & Paku Alam?
Perbedaan empat gelar bangsawan Jawa ini berawal dari keruntuhan Kesultanan Mataram Islam pada abad ke-18. Perpecahan kerajaan dipicu oleh pertikaian keluarga istana dan politik devideetimpera yang diterapkan VOC.
Dari konflik itu lahirlah empat kekuasaan baru yang masing-masing memiliki wilayah dan struktur kepemimpinan tersendiri.
1. Hamengkubuwono
Gelar Hamengkubuwono digunakan oleh raja yang memerintah di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar ini pertama kali disandang oleh Pangeran Mangkubumi setelah menandatangani Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram Islam menjadi dua kekuasaan.Sejak itu, para penerusnya dikenal dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono yang menjadi simbol kedaulatan dan kebudayaan Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta lahir sebagai hasil kompromi politik antara VOC dan keluarga kerajaan Mataram. Meski awalnya berdiri karena perpecahan, kesultanan berkembang menjadi pusat kebudayaan Jawa yang berpengaruh.
Hingga kini, gelar Hamengkubuwono tetap melekat pada penguasa Yogyakarta, dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai penerus yang tengah bertakhta.
2. Paku Alam
Paku Alam adalah gelar bagi penguasa Kadipaten Pakualaman yang berdiri pada awal abad ke-19. Gelar ini pertama kali digunakan oleh Pangeran Natakusuma, yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam I.Kadipaten itu dibentuk pada masa kolonial Belanda sebagai bagian dari wilayah swapraja di bawah Kesultanan Yogyakarta.
Secara politik, Pakualaman berstatus lebih rendah dibanding kesultanan tetapi tetap memiliki otonomi dan pengaruh dalam urusan adat. Kedudukan ini menjadikan Paku Alam sebagai bagian penting dalam sistem pemerintahan tradisional Jawa.
Hingga kini, garis keturunan Paku Alam masih bertahan dan berperan dalam menjaga warisan budaya serta tradisi Yogyakarta.
3. Pakubuwono
Gelar Pakubuwono berasal dari garis keturunan raja di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gelar ini muncul setelah Paku Buwono II memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745.Setelah Perjanjian Giyanti, Kasunanan Surakarta menjadi salah satu penerus sah Mataram Islam yang diakui oleh VOC.
Keraton Surakarta menjadi pusat kebudayaan dan pemerintahan yang mempertahankan tradisi Jawa klasik. Raja yang memegang gelar ini dikenal dengan sebutan Sri Susuhunan Pakubuwono, dengan Pakubuwono XIII sebagai penguasa saat ini.
Meskipun kekuasaan politiknya telah berkurang, peran simbolis Keraton Surakarta tetap kuat dalam menjaga warisan leluhur Mataram.
4. Mangkunegara
Mangkunegara adalah gelar bagi penguasa Kadipaten Praja Mangkunegaran di Surakarta. Gelar ini lahir setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757 ketika Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa diberi wilayah kekuasaan tersendiri oleh VOC.Ia kemudian menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, mendirikan istana di Puro Mangkunegaran.
Sebagai kadipaten, Mangkunegaran memiliki status lebih kecil dibanding Kasunanan tetapi tetap mandiri dalam urusan pemerintahan dan kebudayaan.
Puro Mangkunegaran dikenal aktif melestarikan seni, sastra, dan adat Jawa modern sejak masa kolonial. Saat ini, gelar Mangkunegara disandang oleh KGPAA Mangkunegara X yang melanjutkan peran budaya di Surakarta.
Pembaca yang ingin mengikuti informasi seputar Kerajaan Mataram dapat klik tautan di bawah ini.
Penulis: Satrio Dwi Haryono
Editor: Syamsul Dwi Maarif
Masuk tirto.id

































