tirto.id - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Dinas Pendidikan DKI silang pendapat soal laporan klaster COVID-19 pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Hal tersebut menimbulkan simpang siur data dan dikhawatirkan membuat publik menjadi bingung, bahkan dinilai mencoreng institusi pendidikan.
Kasus itu bermula saat Kemendikbud melalui situs web sekolah.data.kemdikbud.go.id memuat laporan per 22 September mencatat dari 897 responden sekolah yang mengisi survei, diketahui terdapat 2,8% atau 25 klaster di Jakarta.
Dari 25 klaster tersebut, Jakarta Barat menjadi wilayah dengan klaster PTM terbanyak, yakni 8 klaster. Sedangkan Jakarta Timur 6 klaster, Jakarta Utara 5 klaster, Jakarta Selatan 5 klaster dan 1 klaster di Jakarta Pusat.
Sedangkan total pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang tercatat positif COVID-19 mencapai 227 kasus. Kemudian siswa atau peserta didik yang terpapar Covid-19 dan berstatus positif terhitung 241 kasus. Sedangkan PTK yang tercatat positif COVID-19 mencapai 227 kasus. Lalu siswa atau peserta didik yang terpapar Covid-19 dan berstatus positif terhitung 241 kasus.
Kepala Disdik DKI Nahdiana membantah adanya 25 klaster COVID-19 sekolah di Jakarta selama PTM terbatas yang dimulai sejak 30 Agustus lalu. Dia mengaku telah menelusuri Data Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud RI tentang klaster sekolah di DKI Jakarta.
Berdasarkan penelusuran di lapangan, survei yang dilakukan Dirjen PAUD Dikdasmen tersebut dilakukan kepada responden sekolah dan bukan berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan (Dinkes) tentang kasus positif yang ditemukan.
Pengawasan tersebut dilaksanakan untuk periode Januari sampai September 2021, sehingga tidak menggambarkan kejadian baru usai PTM terbatas dimulai, kata dia. Dari 25 sekolah yang dinyatakan klaster COVID-19 tersebut, hanya 2 sekolah yang termasuk dalam 610 sekolah yang mengikuti PTM Terbatas Tahap 1 yang dimulai pada 30 Agustus 2021, yaitu SMP Cindera Mata Indah dan SMKS Yadika 2 Jakarta.
"Berdasarkan data di lapangan, sejak dimulainya PTM Terbatas Tahap 1, tidak terdapat kasus COVID-19 di sekolah tersebut, baik dari peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan," kata Nahdiana di Jakarta, Jumat (24/9/2021).
Sementara Humas Disdik DKI, Taga Radja mengatakan hanya terdapat 6 sekolah yang ditemukan kasus positif COVID-19. Dari masing-masing sekolah, ditemukan satu pasien COVID-19 per 22 September 2021. Setelah ditemukan kasus positif, sesuai peraturan Disdik sejumlah sekolah tersebut ditutup sementara selama tiga hari sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 3 Tahun 2021.
Selain itu, terdapat satu sekolah yang melanggar protokol kesehatan dan satuan pendidikan itu kini telah ditutup sementara. Totalnya, sebanyak tujuh sekolah yang telah ditutup sementara.
"Kalau yang 25 [Klaster] itu, silakan konfirmasi ke Kemendikbud. Jadi kami tidak pernah merilis hal itu," kata Taga kepada wartawan, Kamis (23/9/2021).
Sejumlah satuan pendidikan yang terpapar COVID-19 yaitu SDN 03 Klender sebanyak 1 siswa; SD di kawasan Kemang sebanyak 1 siswa; SDN Pondok Rangon 02 sebanyak 1 siswa; SMP PGRI 20 sebanyak 1 guru; SMAN 25 sebanyak 1 guru; dan SMAN 20 sebanyak 1 siswa. Sedangkan sekolah yang ditutup karena melanggar protokol kesehatan yaitu SDN 05 Jakarta.
"Satu sekolah yang Kemang menularkan ke 1 orang yaitu SD Klender 03," ucapnya. Namun saat ini seluruh siswa dan guru sudah dinyatakan negatif COVID-19 dan sekolah telah menggelar PTM terbatas lagi kecuali SDN 05 Jakarta yang melanggar prokes.
Kendati telah ditemukan kasus COVID-19, Disdik DKI berencana bakal menambah sebanyak 890 sekolah lagi untuk diizinkan menggelar PTM terbatas pada 27 September 2021. Saat ini terdapat 610 sekolah yang menggelar PTM terbatas, jika ditambah 890, maka akan ada 1.500 sekolah yang melakukan belajar tatap muka.
"Jadi itu tinggal menunggu SK Kepala Dinas [Pendidikan]" ucapnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dinkes) DKI Dwi Oktavia menegaskan klaster COVID-19 yang dirilis oleh Kemendikbud tidak sesuai dengan fakta yang ditemukan di lapangan.
Ia meminta semua pihak, termasuk Kemendikbud agar lebih berhati-hati dalam memakai istilah klaster. Definisi klaster adalah jika terdapat minimal dua kasus dan terbukti secara epidemiologi penularannya terjadi di sekolah.
"Adanya beberapa kasus di sekolah dalam satu waktu tidak memastikan apakah menjadi satu klaster atau tidak, karena sebagian besar kasus yang ada saat ini adalah kasus yang berdiri sendiri, bukan menjadi klaster," kata Dwi di Jakarta, Jumat (24/9/2021).
Mencoreng Institusi Pendidikan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengkritik terjadinya perbedaan data dari kedua kedua lembaga tersebut. "Ini jelas mencoreng institusi pengelola pendidikan. Kalau datanya saja tidak sinkron, bagaimana dengan nasib implementasi program-program prioritasnya," kata Ubaid kepada reporter Tirto, Jumat (24/9/2021).
Ubaid menilai perbedaan data tersebut lantaran tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah sehingga Kemendikbud langsung secara sepihak merilis laporan tersebut.
Hal yang disoroti, kata dia, perbedaan data tersebut terkait dengan kasus COVID-19 yang menyangkut nyawa siswa dan guru yang menjadi taruhannya. Menurutnya, ini menunjukkan pengelolaan program pemerintah yang buruk karena pusat dan daerah berjalan sendiri-sendiri tanpa saling sinergi dan kolaborasi.
Ubaid menyarankan hal tersebut dapat diselesaikan bila kedua lembaga tersebut saling berkoordinasi dan saling mengecek kembali sebelum merilis laporan, termasuk klaster di sekolah.
"Jadi jangan main-main dan jangan pula saling mendahulukan ego kelembagaan," kata Ubaid.
Hal senada diungkapkan peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhamad Bigwanto. Ia menilai hal tersebut terjadi lantaran minimnya koordinasi antara Kemendikbud dan Disdik DKI.
"Artinya memang selama ini koordinasi antara pusat dan daerah tidak berjalan dengan baik," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Jumat (24/9/2021).
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka itu mengatakan, perbedaan data dapat berakibat hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam melaksanakan program PTM di tengah pandemi.
"Orang tua tentunya banyak yang akan berpikir ulang mengizinkan anak-anaknya ke sekolah jika simpang siur info seperti ini terjadi," ucapnya.
Bigwanto pun menjelaskan perbedaan data COVID-19 antara pemerintah pusat dengan daerah sudah sering kali terjadi. Pada 8 September 2020, Satgas COVID-19 nasional menyebut setidaknya ada 11 kabupaten/kota yang punya kasus aktif lebih dari 1.000. Di antara kota-kota itu, Semarang paling banyak yakni 2.591 kasus.
Namun keterangan ini dibantah dan dikoreksi oleh Pemerintah Kota Semarang yang mengatakan terdapat 507 kasus berdasarkan laman siagacorona.semarangkota.go.id.
Perbedaan data ini juga dicatat oleh KawalCOVID-19, yang menyebut sebagai perkumpulan “inisiatif sukarela netizen" yang bertujuan "mengawal informasi COVID19, mendukung transparansi data dan komunikasi krisis yang benar, dan mengadvokasi kebijakan berbasis bukti."
Koordinator Data KawalCOVID-19 Ronald Bessie mengatakan perbedaan data antara pusat dan daerah itu sudah terjadi sejak pandemi pertama kali ditangani.
Satu contoh perbedaan jumlah kasus pada 9 September 2020. Pusat mencatat ada 203.342, sedangkan daerah, setelah dikalkulasi, ada lebih banyak 568 atau total 203.910. Pada hari yang sama, pusat mencatat 145.200 kasus sembuh, sedangkan daerah 148.944 atau selisih 3.744. Sementara data kasus meninggal, pusat mencatat 8.336, sedangkan daerah selisih 689 atau sebanyak 9.025.
Daerah yang paling disorot adalah Jawa Tengah karena data meninggal paling banyak, yakni 585.
Begitu juga pada 10 September 2020, total kasus yang dicatat di pusat 207.203, sedangkan daerah 207.366. Kemudian untuk kasus sembuh pusat mencatat 147.510, sedangkan daerah 151.638 atau selisih 4.128. Selisih juga terdapat dalam data kasus meninggal. Pusat mencatat 8.456, sedangkan di daerah lebih banyak, yakni 9.205. Terdapat selisih 749 atau 8,14 persen.
Tetap menjadi sorotan adalah Jawa Tengah karena terjadi selisih 632 kasus meninggal dari data pusat. “Totalnya [nasional] dengan total rekapitulasi berbeda. Angka rekapitulasi dengan data kabupaten yang kami kumpulkan berbeda. Lalu data rekapitulasi Jawa Tengah dengan pusat juga berbeda," kata Ronald kepada reporter Tirto pada 10 September 2020.
Pada 5 Agustus 2021 juga terjadi perbedaan data. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyebut kasus aktif Covid-19 di Depok terbanyak se-Indonesia dengan kasus aktif sebanyak 27.389 pasien.
Pernyataan Wiku langsung dibantah oleh Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok. Dia mengatakan jumlah kasus aktif Covid-19 di Depok pada hari tersebut tercatat hanya tersisa 9.519 pasien.
Kemendikbud Klaim Terjadi Miskonsepsi
Kemendikbudristek menyatakan terdapat miskonsepsi mengenai isu klaster PTM terbatas di Jakarta. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (Paud Dikdasmen) Kemendikbudristek, Jumeri mengatakan angka 2,8% atau 25 satuan pendidikan di Jakarta itu bukanlah data klaster Covid-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular virus Corona.
Sehingga, lebih dari 97% satuan pendidikan tidak memiliki warga sekolah yang pernah tertular Covid-19. "Jadi belum tentu klaster," kata Jumeri melalui keterangan tertulisnya, Jumat (24/9/2021).
Kemudian Jumeri menjelaskan bahwa angka 2,8% satuan pendidikan di Jakarta itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir. "Tetapi 14 bulan terakhir sejak tahun lalu yaitu Juli 2020," ucapnya.
Sebagai solusi ke depan, Kemendikbudristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data. Dikarenakan keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan, saat ini Kemendikbudristek dan Kemenkes sedang melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan aplikasi PeduliLindungi.
Kemendikbudristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM Terbatas, kata dia.
Anak-anak juga bisa tetap belajar dari rumah jika orang tua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM Terbatas, serta tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi anak-anak yang belajar dari rumah.
“Kolaborasi yang efektif antara guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan pengawas sekolah, serta orangtua sangat diharapkan untuk menyukseskan penerapan PTM terbatas,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz