tirto.id - Pandemi masih belum berakhir meski data COVID-19 di Indonesia menunjukkan penurunan, tetapi virus Sars COV-2 masih bersirkulasi dan bermutasi. Sejumlah negara masih mengalami lonjakan kasus dan Indonesia juga dinilai masih memiliki potensi serupa: mengalami gelombang lonjakan ke-3.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat dengan Komisi IX DPR RI, Senin (13/9/2021) bilang gelombang lonjakan COVID-19 kedua di Indonesia disebabkan masuknya varian B.1.6.17 atau varian Delta.
Penjagaan pintu masuk negara yang tidak ketat membuat varian yang pertama kali ditemukan di India itu diketahui mulai masuk ke Indonesia sejak awal 2021. ”[saat masuknya varian] Delta kita agak kebobolan,” kata Budi.
Maka dengan mulai munculnya varian baru seperti varian Lambda, Mu, dan varian C.1.2, Budi bilang akan melakukan antisipasi memperketat pintu masuk, mencegah lonjakan gelombang berikutnya akibat varian baru.
Meski demikian, skenario terburuk telah dipersiapkan. Skenario pertama adalah jika situasi normal, pandemi menjadi endemi tidak ada lonjakan kasus diperkirakan total kasus COVID-19 per tahun berjumlah 1,9 juta. Itu ia sebut sebagai skenario A. Kemudian yang kedua skenario B.
"Skenario B jika terjadi lonjakan varian baru mengakibatkan adanya lonjakan kasus kita mengestimasikan ada 3,9 juta kasus atau 2 juta kasus lebih tinggi dibandingkan skenario normal," ujarnya.
Masing-masing skenario ini, kata Budi, akan mempengaruhi tindakan testing, perawatan dan isolasi. Tapi dari sisi vaksinasi tidak berubah baik skenario endemi maupun skenario ada lonjakan kasus.
Misalnya skenario A, maka testing pertahun akan dilakukan sebanyak 28 juta, Sedangkan skenario B, 58 juta testing. Kemudian kapasitas perawatan adalah 20 persen dari 1,9 juta untuk skenario A dan 3,9 juta dari skenario B.
Kemudian untuk testing, Budi mengatakan kapasitas laboratorium akan dibenahi lagi. Masing-masing fasilitas kesehatan akan dipastikan terdapat laboratorium yang bisa menjangkau testing dalam waktu di bawah 2 hari keluar hasilnya.
Selain itu, juga akan mempersiapkan jaringan laboratorium pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) untuk memastikan agar seluruh daerah di Indonesia dapat melacak jika ada varian baru COVID-19.
"Testing-nya juga akan kami rapikan. Seluruh puskesmas akan kami latih kembali, akan kami pastikan sistemnya diserdaharakan agar pelaporannya bisa lengkap. Kemudian juga tracingnya yang sekarang sudah mulai membaik akan kami pastikan terus kami jalankan. Termasuk juga aplikasi yang akan kita sederhanakan," ujarnya.
Hati-Hati dengan Penurunan Data
Budi mengatakan dalam beberapa pekan terakhir perkembangan situasi COVID-19 di Indonesia sudah membaik. Kasus konfirmasi positif COVID-19 harian sudah menurun sampai di bawah 5 ribu per hari. Sedangkan yang dirawat di rumah sakit dalam sepekan terakhir rata-rata 20 ribu dengan bed occupancy rate (BOR) kembali ke titik normal yaitu 17,14 persen.
Angka kematian juga mengalami penurunan drastis, dalam sepekan terakhir rata-rata, kata Budi, hanya sekitar 460-an. Sebelumnya selalu konsisten di atas 1.000 kematian dalam sehari.
Sedangkan positivity rate dalam sepekan terakhir juga angkanya di bawah 5 persen. Yang menurut WHO jadi salah satu indikator kasus COVID-19 terkendali.
Namun demikian, menurut Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo, meski penurunan itu patut disyukuri, tetapi harus tetap hati-hati dengan data-data tersebut. Terutama jika melihat positivity rate.
“[Positivity rate] Indonesia saat ini dalam satu minggu di bawah 5 persen. Itu luar biasa. Cuma kita harus hati-hati melihat angka-angka itu karena positivity rate yang serendah ini, itu kan denominatornya campuran dari PCR tes dan antigen dan komposisinya dan rasionya lebih banyak di antigen yang lebih dari 70 persen,” kata Windhu, Selasa (14/9/2021).
Padahal menurutnya tes antigen memiliki kecenderungan negatif palsu yang cukup besar. Sehingga harus tetap dilihat secara hati-hati.
Selain itu, positivity rate itu juga didapat dari jumlah testing yang tidak terlalu tinggi. Dari target 400 ribu testing dalam sehari, tak pernah terpenuhi. Bahkan tiap hari orang yang dites jarang mencapai 200 ribu.
Di sisi lain, penurunan kasus secara signifikan ini diprediksi Windhu terjadi lantaran sudah terlalu banyak orang yang telah terinfeksi dan kemudian memiliki kekebalan tubuh secara alami. Sebab jika kekebalan itu terbentuk karena vaksin belum mungkin tercapai karena vaksinasi dosis pertama baru 35,9 persen dan dosis kedua 20 persen dari target.
Meski sejumlah orang diprediksinya telah memiliki kekebalan alami, tetapi potensi reinfeksi tetap dapat terjadi bila masuk varian baru yang dapat lolos dari sistem kekebalan tubuh. Seperti varian Mu yang kini diwaspadai karena disebut dapat menghindari sistem kekebalan tubuh.
Bukan Padamkan Kebakaran tapi Cegah Kebakaran
“Potensi bahwa akan ada ledakan baru bisa terjadi kalau hari-hari ini kita lupa dan tidak belajar dari masa-masa kemarin atau yang terjadi di luar negeri,” kata Windhu. “Sekarang mulai muncul meskipun belum masuk varian of concern yaitu varian Mu,” kata dia.
Namun jika pemerintah telah memiliki skenario dan mitigasi menghadapi, maka varian ini menurut Windhu perlu diapresiasi.
“Kalau Menteri Kesehatan mengatakan ada potensi lonjakan dan menyiapkan strategi untuk testing sekian juta itu bagus. Itu benar, memang itu yang harus dilakukan tindakan proaktif jangan sampai sibuk memadamkan kebakaran, tapi cegah kebakaran tidak terjadi,” ujarnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra juga sepakat bahwa mencegah masuknya varian baru adalah jalan yang harus ditempuh agar tidak terjadi kembali lonjakan kasus COVID-19.
“Kalau kita belajar dari varian Alfa, Beta, Gama hingga Delta tempo hari, kita cukup longgar sehingga situasi kita sering kali terlambat untuk respons. Makanya sikap mempersiapkan diri itu patut,” kata Hermawan, Selasa (14/9/2021).
Persiapan yang bisa dilakukan di antaranya mulai dari soal kemandirian vaksin, instrumen testing yang selama ini masih impor harus mulai diupayakan sendiri. Kemudian melakukan mitigasi risiko seiring dengan dilakukannya sejumlah pelonggaran aktivitas masyarakat.
“Dengan adanya relaksasi itu memang pelandaian kasus terjadi, tetapi baru akan kita lihat itu di akhir September apakah akan ada kenaikan kasus atau tidak," kata Hermawan.
Hermawan menambahkan, “Tetapi kalau ada varian baru yang masuk itu akan lain lagi cerita. Dan potensi [lonjakan] itu bisa jadi ada,“ katanya.
Sementara itu, Ahli Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir mengatakan sulit memprediksi seberapa besar potensi lonjakan COVID-19 di Indonesia kembali terjadi. Sebab situasi pandemi hingga hari ini masih sangat dinamis.
“Kalau kita lihat gelombang kedua relatif lebih mudah diprediksi karena sudah terjadi di negara lain kemudian potensi masuknya ke Indonesia sangat besar. Sekarang kalau kita lihat varian Delta masih ada, jadi tergantung seberapa besar pelonggaran yang dilakukan pemerintah,” kata Sulfikar.
Menurutnya varian Mu memang perlu diwaspadai, tetapi lonjakan kembali karena varian Delta juga patut dikhawatirkan, kata Sulfikar.
Sebelumnya Sulfikar bersama Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesaian Pandemi juga telah mengusulkan jalan keluar dari situasi pandemi COVID-19. Sebab ancaman gelombang penularan baru masih mungkin terjadi sehingga jalan keluar harus dipersiapkan dan segera dijalankan.
Sulfikar mewakili aliansi dalam webinar, Rabu (1/9/2021) mengatakan bahwa saat ini kondisi COVID-19 sudah membaik setelah terjadi peningkatan, namun gelombang peningkatan kasus dinilai dapat terjadi lagi. Potensi reinfeksi COVID-19 juga bisa terjadi.
“Bukan berarti Indonesia benar-benar aman dan bukan berarti pandemi ini sudah terkendali. Kita berada dalam situasi Indonesia ini masih sangat rentan terhadap terjadinya gelombang berikutnya,” kata Sulfikar.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz