Menuju konten utama

RI Masih Rentan, Ilmuwan Usulkan Skenario Keluar dari Pandemi

Ada tiga fase yang ditawarkan para ilmuwan: fase surpression, fase stabilization, dan fase normalization.

RI Masih Rentan, Ilmuwan Usulkan Skenario Keluar dari Pandemi
Ilustrasi Mobilitas Sosial. foto/Istockphoto

tirto.id - Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesaian Pandemi mengusulkan jalan keluar dari situasi Pandemi COVID-19. Ancaman gelombang penularan baru masih mungkin terjadi sehingga jalan keluar harus dipersiapkan dan segera dijalankan.

Perwakilan Aliansi Ilmuwan, Sulfikar Amir dalam webinar, Rabu (1/9/2021) mengatakan bahwa saat ini kondisi COVID-19 sudah membaik setelah terjadi peningkatan, namun gelombang peningkatan kasus dinilai dapat terjadi lagi. Potensi reinfeksi COVID-19 juga bisa terjadi.

“Bukan berarti Indonesia benar-benar aman dan bukan berarti pandemi ini sudah terkendali. Kita berada dalam situasi Indonesia ini masih sangat rentan terhadap terjadinya gelombang berikutnya,” kata Sulfikar.

Selain itu juga terdapat fakta bahwa COVID-19 terus bermutasi dan data menunjukkan imunitas vaksin COVID-19 mengalami penurunan. Sehingga agak sulit untuk mencapai kekebalan komunal.

“Dalam situasi ini kita mencari jalan keluar supaya Indonesia bisa lepas dari lingkaran setan pandemi,” kata Sulfikar.

Untuk membawa Indonesia keluar dari lingkaran setan itu, kata Zulfikar adalah dengan menyiapkan peta jalan penyelesaian krisis pandemi dengan pendekatan multidisiplin. Peta jalan ini yang diharapkan jadi acuan dan dalam mengambil keputusan.

Hal ini menurut Sulfikar penting, meskipun saat ini pemerintah berhasil menurunkan angka kasus namun menurunya pemerintah seolah menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Sementara di saat bersamaan mobilitas masyarakat mulai naik kembali.

"Kalau kita tidak mempersiapkan ini kita takutnya gelombang ketiga akan datang dan dampaknya lebih parah,” ujarnya.

Untuk itu selain menyiapkan peta jalan, Aliansi Ilmuwan juga mengusulkan kerangka tata kelola pandemi untuk membangun kapasitas kelembagaan pemerintah, sehingga pengendali pandemi dapat dilakukan lebih efektif di masa depan.

Pertama mengenai peta jalan, Sulfikar memaparkan ada tiga fase yang masing-masing membutuhkan waktu 3-4 bulan di dalam tahap penyelesaian pandemi. Fase pertama adalah fase suppression, kedua fase stabilisasi, dan ketiga fase normalisasi.

“Setiap fase ini perangkat intervensi epidemiologi, sosial dan ekonomi dibutuhkan untuk mendukung fase ini berjalan dengan baik sehingga akhirnya kita bisa pindah ke fase berikutnya,” kata Sulfikar yang merupakan dosen sosiologi bencana di Nanyang Technological University.

Fase suppression dengan target utama menekan angka kasus dan kematian secara drastis dalam satu periode tertentu. Fase ini menerapkan strategi “pull and push” yakni kombinasi antara pembatasan sosial dan pelacakan secara masif dan terpadu.

Fase kedua adalah stabilization dengan tujuan utama untuk mengendalikan skala penularan pada tingkat tertentu dan mempersiapkan pembukaan secara parsial aktivitas sosial ekonomi, misalnya sekolah dan perkantoran.

Dalam fase ini, dua unsur utama perlu ditekankan. Pertama, pengembangan teknik pengendalian risiko penularan virus korona khususnya terkait dengan sirkulasi udara yang diterapkan di sektor-sektor berisiko tinggi, misalnya pabrik, restoran, dan pusat perbelanjaan. Kedua, penguatan surveilans yang melibatkan komunitas sebagai ujung tombak pelacakan dan isolasi.

Fase ketiga adalah normalization di mana secara keseluruhan pandemi dapat dikatakan telah terkendali dan masyarakat sudah bisa hidup secara normal. Pada fase ini tingkat persepsi risiko di masyarakat sudah tinggi dan sistem pelacakan sebagai instrumen surveilans khususnya di tingkat komunitas sudah terlembagakan dengan baik. Indikator utama fase ketiga ini adalah rerata tes positif di bawah 1 persen dan jumlah kasus harian di bawah 1,000.

“Dengan asumsi setiap fase membutuhkan waktu 3-4 bulan, maka dalam setahun Indonesia sudah relatif bebas dari pandemi. Jika ini terjadi, aturan protokol kesehatan sudah bisa kita longgarkan termasuk penggunaan masker. Aktivitas ekonomi dapat pulih sepenuhnya dan kita bisa kembali mengejar target-target pembangunan,” kata Sulfikar.

Anggota Aliansi Ilmuwan lainya, Ines Atmosukarto dalam kesempatan yang sama menyoroti soal strategi vaksin pemerintah. Doktor Bidang Biokimia dan Biologi Molekuler di Australian National University itu meminta agar pemerintah Indonesia melupakan target vaksinasi terhadap 70 persen penduduk.

“Angka 70 persen tanpa adanya herd immunity maka akan sebenarnya meaningless. Yang kita harus usahakan adalah cakupan yang seluas-luasnya. Bukan hanya 70 persen dari orang dewasa tapi seluas-luasnya dari seluruh masyarakat,” ujarnya.

Selain Sulfikar dan Ines, sejumlah ilmuwan yang bergabung dalam alinasi tersebut di antaranya adalah Pandu Riono dari Universitas Indonesia; Irma Hidayana dari LaporCovid19 / St Lawrence University; Iqbal Elyazar dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit.

Kemudian ada Yanuar Nugroho dari ISEAS-Yusof Ishak Institute; Arief Anshory Yusuf dari Universitas Padjajaran; Septian Hartono dari Duke-NUS Graduate Medical School; dan Dicky Pelupessy dari Universitas Indonesia.

Baca juga artikel terkait ROADMAP HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Restu Diantina Putri