tirto.id - Pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) mulai dihantui klaster COVID-19. Di tengah Presiden Joko Widodo berupaya menggalakkan pelaksanaan PTM, sejumlah sekolah di banyak daerah justru menjadi klaster penularan Corona.
Beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah misalnya. Di Purbalingga sebanyak 61 siswa SMPN 3 Mrebet dan 90 siswa SMPN 4 Mrebet terkonfirmasi positif COVID-19. Pemerintah daerah lantas menghentikan pelaksanaan PTM.
Kemudian PTM di Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Desa Rengging, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, juga akhirnya dihentikan setelah muncul kasus 25 siswa dan tiga guru dinyatakan positif COVID-19.
Selain itu, muncul juga 40-an kasus di Blora saat hendak pelaksanaan PTM. Namun pihak Pemprov Jateng menegaskan bahwa kasus Blora bukan akibat PTM.
Akan tetapi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengklaim bahwa penyebaran COVID-19 di sekolah terjadi akibat pelaksanaan PTM ilegal. Hal tersebut berdasarkan informasi dari para bupati di daerah. Ia pun meminta penindakan tegas bagi sekolah yang menggelar PTM tanpa izin.
"Yang nggak lapor, bubarkan. Ini menjadi pembelajaran buat kita semua. Seluruh sekolah baik negeri maupun swasta, siapapun yang menggelar PTM tolong laporkan agar kami bisa melakukan pengecekan sejak awal," kata Ganjar, Rabu (22/9/2021).
Demi mencegah hal serupa berulang, Ganjar meminta daerah melakukan tes sampling di waktu tertentu untuk mengetahui kondisi sekolah selama PTM.
Selain Jawa Tengah, DKI Jakarta juga disebut sebagai daerah dengan klaster COVID saat pelaksanaan PTM. Hal ini terungkap lewat laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dari situs web sekolah.data.kemdikbud.go.id. Di laman tersebut memuat laporan kasus DKI berbasis survei per 22 September 2021.
Berdasarkan data dari 897 responden sekolah yang mengisi survei tersebut, diketahui terdapat 25 klaster. Dari 25 klaster tersebut, Jakarta Barat menjadi wilayah dengan klaster PTM terbanyak, yakni 8 klaster. Sedangkan Jakarta Timur 6 klaster, Jakarta Utara 5 klaster, Jakarta Selatan 5 klaster dan 1 klaster di Jakarta Pusat. Sedangkan total pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang tercatat positif COVID-19 mencapai 227 kasus. Kemudian siswa atau peserta didik yang terpapar Covid-19 dan berstatus positif terhitung 241 kasus. Sedangkan total pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang tercatat positif COVID-19 mencapai 227 kasus. Kemudian siswa atau peserta didik yang terpapar Covid-19 dan berstatus positif terhitung 241 kasus.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengaku belum mendengar kabar bahwa ada klaster penyebaran COVID-19 di masa PTM saat ini. Pihak Disdik DKI mengakui memang sempat ada klaster saat uji coba PTM pada April 2021, tetapi langsung dihentikan. Kini, mereka belum mendengar ada klaster baru usai PTM resmi berjalan beberapa waktu belakangan.
"Belum ada kalau kasus klaster di kami. Makanya kami agak kaget mendengar, jadi langsung berkoordinasi dengan Dinkes," kata Kepala Bidang SMP-SMA Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Putoyo di Jakarta, Kamis (23/9/2021).
Dinkes DKI juga menyatakan belum mendapatkan informasi terkait 25 klaster COVID-19 selama proses PTM di sekolah. Kepala Dinkes DKI Jakarta, Widyastuti mengaku akan mengecek informasi itu terlebih dahulu.
"Tapi sekali lagi, kami belum diberikan info atau masih dalam proses melakukan investigasi bersama dengan Disdik," kata Widyastuti di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (22/9/2021).
Pemerintah pusat pun merespons soal kemunculan klaster sekolah ini. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi meminta publik belajar dari penyebaran kasus di sekolah seperti kejadian di Jawa Tengah. Ia meminta agar sekolah yang ingin menerapkan PTM harus memenuhi ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yakni Kemendikbudristek, Kemenkes, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. SKB itu berisi panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi COVID-19.
"Sekolah yang akan PTM harus diverifikasi dulu oleh Satgas COVID baru boleh beroperasi. Kedua memastikan sekolah menjalankan prokes yang ketat dan perlu kerja sama dari orang tua juga dalam menerapkan prokes," kata Nadia saat dihubungi, Kamis (23/9/2021).
Sementara itu, Kemendikbudristek mengingatkan kembali agar sekolah kembali mematuhi SKB 4 menteri dalam pelaksanaan PTM, termasuk upaya mitigasi bila ada kasus.
“Protokol terkait risiko klaster sekolah ini juga sudah jelas dan ketat diatur di dalam SKB 4 Menteri, termasuk di dalamnya pemerintah daerah menutup sekolah, menghentikan PTM Terbatas, melakukan testing, tracing, dan treatment jika ada temuan kasus positif COVID-19,” kata Jumeri dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Kamis (23/9/2021).
Jumeri menjelaskan bahwa sejak awal pandemi 2020 hingga saat ini, ada 45.284 atau 97,2% satuan pendidikan terlapor aman menjalankan PTM Terbatas. Sementara itu, dari total 46.580 satuan pendidikan yang telah melaksanakan PTM Terbatas, jumlah laporan dari satuan pendidikan terkait penularan COVID-19 di satuan pendidikan yaitu sebesar 2,8% atau 1.296.
Jumeri juga melaporkan data Kemendikbudristek per 19 September 2021 mencatat baru 42 persen satuan pendidikan yang berada di level 3, 2, dan 1 selama pemberlakukan PPKM yang menyelenggarakan PTM Terbatas. Selain itu, Jumeri menekankan keselamatan dan keamanan sekolah dalam pelaksanaan PTM penting diperhatikan semua pihak.
“Kami juga akan terus menyampaikan pembaruan data secara transparan untuk kesuksesan PTM Terbatas, mengingat bahwa pembelajaran jarak jauh berkepanjangan dapat berdampak negatif bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketertinggalan,” kata dia.
Jumeri juga berharap daerah ikut berpartisipasi pengawalan pelaksanaan PTM. "Kami sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah memberikan izin bagi satuan pendidikan di level 1-3 untuk melaksanakan PTM Terbatas, tentunya dengan protokol dan aturan sesuai Inmendagri PPKM dan SKB 4 Menteri,” kata dia.
PTM Terbatas Banyak Catatan
Organisasi guru yang tergabung dalam Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kemunculan klaster sekolah ini merupakan imbas dari keengganan pemerintah mendengar masukan. Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengaku, P2G sudah kerap kali meminta pemerintah untuk menunda PTM.
“Selama ini P2G konsisten menyuarakan agar pemerintah tidak terburu-buru melakukan pembukaan sekolah atau PTM," kata Iman kepada reporter Tirto, Kamis (23/9/2021).
Penolakan P2G bukan tanpa alasan. Pertama, Indonesia dinilai belum mencapai standar positivity rate WHO bahwa kondisi daerah aman jika angka penularan sudah dibawah 5%. "Sepengamatan kami per hari ini Indonesia belum bisa menurunkannya sampai di bawah 5%, artinya sebenarnya PTM skala nasional masih rentan," kata Iman.
Kedua adalah vaksinasi. Meskipun pemerintah dalam SKB 4 Menteri tidak mewajibkan vaksinasi anak, namun P2G tetap berharap vaksinasi anak dituntaskan terlebih dahulu. Ia mengacu pada data per tanggal 23 September 2021 bahwa vaksinasi anak usia 12-17 tahun dari target 26 juta, baru 12,79% dosis 1 dan 8,84% dosis 2.
"Dari sini saja terlihat bahwa vaksinasi anak untuk membentuk herd immunity di sekolah belum tercapai," kata Iman.
Ketiga, kata Iman, masih banyak sekolah yang tercatat belum memenuhi standar dashboard kesiapan belajar dengan sejumlah variabel seperti ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan pemetaan warga sekolah. Dalam dashboard itu sekolah yang mengisi/merespons baru 59%, dari total sekolah di Indonesia berjumlah 537.306.
"Artinya 40,71% sekolah sebenarnya belum siap PTM," kata Iman menegaskan.
Kemudian, pengawasan pelaksanaan PTM masih kendor. Di Jakarta, pelatihan lebih banyak bersifat daring dan tidak ada pengawasan dinas. Kemudian P2G juga menemukan pelanggaran pelaksanaan PTM seperti di Kabupaten Ende dan Bima yang siswa masuk 100%. Lalu, ada juga pelanggaran di Bukit Tinggi dan Aceh Timur waktu belajar melebihi standar best practise dari Buku Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemik (1 Juni 2021). Rata-rata belajar di kedua daerah tersebut belajar lebih dari 5 jam.
"PTM di Bima, dikeluhkan ketua P2G Bima, karena bukan hanya tidak memakai masker dengan benar, namun sebagian besar siswa tidak memakai masker sama sekali. Dinas Pendidikan Kabupaten Bima tidak melakukan sosialisasi, penyuluhan bahkan pelatihan terkait persiapan PTM sehingga pelanggaran protokol rentan terjadi akibat ketidaktahuan," kata Iman.
Terakhir adalah munculnya klaster Asesmen nasional Berbasis Komputer (ANBK), kata dia. Konsep ini memicu kerumunan dan membebani siswa dan guru. Hal tersebut terjadi di Kepulauan Riau.
Ia khawatir masalah-masalah yang ada bisa berdampak kemunculan klaster penyebaran COVID-19 di sektor pendidikan. Oleh karena itu, Iman mendorong sejumlah langkah. Pertama, pemerintah harus mendorong pemenuhan syarat seperti positivity rate, vaksinasi anak dan kesiapan belajar. Mereka juga mendorong penghentian PTM.
"Hentikan sementara PTM terbatas. Misal nunggu pastikan vaksinasi anak tuntas. Kira-kira sampai 70-80%," kata Iman.
Ketiga, P2G mendorong pelaksanaan pemetaan warga sekolah yang terpapar dengan menggunakan kendaraan kurang aman. Kemudian, sekolah harus memperbaiki proses skrining. Salah satu cara adalah memberikan pelatihan efektif dengan konsep belajar blended learning.
Kemudian perlu ada pengawasan dinas pendidikan bersama aparat untuk mendisiplinkan rute sekolah dan penguatan pengawasan sekolah, kata dia. P2G juga mendorong agar ada hukuman bagi sekolah yang melanggar aturan PTM.
Terakhir adalah pembatalan ANBK. "Batalkan ANBK. Karena berpotensi menambah klaster pendidikan. Meningkatkan stres pada anak dan membuat kerumunan di sekolah," kata Iman.
Sementara itu, epidemiolog asal Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman meminta pemerintah untuk segera menghentikan PTM bila ditemukan klaster. "Tentu PTM harus disuspend dulu karena kita harus jelas dulu ini satu dilakukan karantina 2 minggu sekolah tutup itu untuk dilakukan 3T," kata Dicky kepada reporter Tirto.
Dicky menuturkan, sekolah bisa menjadi klaster meski persentasenya hanya sekitar 2 persen. Semua pihak lantas mencari kelemahan penyebab PTM bisa menjadi klaster. Ia membandingkan kondisi Israel, Eropa maupun Australia yang muncul klaster di sekolah karena pengabaian protokol kesehatan, belum ada vaksinasi hingga pemaksaan kondisi kesehatan buruk masuk sekolah.
Di sisi lain, Dicky juga meminta pemerintah untuk transparan dalam penanganan pandemi. Sebab, temuan klaster di sekolah menandakan ada kejanggalan data penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah selama ini.
"Ini menunjukkan bahwa ini kontradiktif antara data penurunan angka reproduksi efektif turun di bawah 1, tes positivity rate di bawah 1 deagan fakta ini. Berarti itu datanya memang sesuai kecurigaan saya, nggak valid, dan nggak didukung 3T yang kuat, kan?" kata Dicky.
Bagi Dicky, langkah Kemendikbudristek sudah benar dengan terus mencari dan memetakan kasus COVID dan memitigasinya. Menurut Dicky, langkah di sektor pendidikan harus diikuti sektor lain seperti pembukaan mal maupun tempat wisata untuk menemukan kasus-kasus yang tidak terdeteksi.
Namun Dicky menilai publik tidak perlu pesimistis bila memang kasus-kasus baru ditemukan di sektor pendidikan. Ia justru menilai, sektor pendidikan memang harus segera menjalankan PTM, tetapi tetap harus menjaga keamanan dari penyakit. Ia mengingatkan anak butuh aktivitas dan pertemanan sehingga anak tidak boleh menjadi korban.
Oleh karena itu, Dicky mendorong pemerintah mengevaluasi pelaksanaan PTM. Salah satunya adalah dengan mengubah syarat PTM boleh dilakukan di level 3 menjadi level 2 atau memonitor proses perilaku di sekolah, baik guru, murid maupun aktivitas lain.
"Jadi sekali lagi masa pandemi ini tidak boleh membuat kita menjadi semakin lama menempatkan anak di rumah sebetulnya dan sekali lagi peran dari pemda, pemerintah ini penting dalam melakukan intervensi 3T yang benar sehingga laju penyebaran di masyarakat itu juga menjadi terkendali dan itu akan berkontribusi pada keamanan sekolah-sekolah ini dan mencegah terjadinya klaster," kata Dicky.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz