tirto.id - Kasus virus Corona atau COVID-19 di Indonesia terus menanjak. Dalam sepekan terakhir pertambahan kasus harian rata-rata lebih dari 3.000.
Selasa (8/9/2020) lalu, Satuan Tugas Penanganan (Satgas) COVID-19 nasional menyebutkan setidaknya ada 11 kabupaten/kota yang punya kasus aktif lebih dari 1.000. Di antara kota-kota itu, Semarang paling banyak.
“Yang perlu menjadi perhatian adalah ada 11 kabupaten/kota yang memiliki kasus aktif lebih dari 1.000, Kota Semarang 2.591 kasus,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Percepatan dan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Namun keterangan ini dibantah dan dikoreksi oleh Pemerintah Kota Semarang. “Kami punya data yang tiap hari dilakukan verifikasi dan validasi. Dan data di dasbor siaga corona (siagacorona.semarangkota.go.id) menjadi acuan kami,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2020).
Ia lalu memaparkan perbandingan data kasus COVID-19 antara pusat dengan yang dihimpun mereka sendiri dan dipublikasikan di laman siagacorona.semarangkota.go.id. Per Sabtu (5/9/2020), jumlah kasus yang aktif berdasarkan data pusat sebanyak 2.669, sedangkan dinkes mencatat hanya 474. Berdasarkan penelusuran dan verifikasi, 1.467 kasus aktif yang dicatat oleh pusat tidak ditemukan.
Ada pula 927 data yang masih tercatat sebagai kasus aktif di pusat, sedangkan di Dinkes Kota Semarang telah ditetapkan non aktif.
Abdul lantas mengatakan, “tiap pekan pasti ada beberapa strategi atau kebijakan yang terus dilakukan untuk memutus penularan COVID-19.”
Beda Data
Perbedaan data ini juga dicatat oleh KawalCOVID-19, yang di Twitter menyebut diri sebagai perkumpulan “inisiatif sukarela netizen” yang bertujuan “mengawal informasi COVID19, mendorong transparansi data dan komunikasi krisis yang benar, dan mengadvokasi kebijakan berbasis bukti.”
Koordinator Data KawalCOVID-19 Ronald Bessie mengatakan perbedaan data antara pusat dan daerah itu sudah terjadi sejak pandemi pertama kali ditangani. Dan itu ternyata tak hanya terjadi di semarang.
Satu contoh perbedaan jumlah total kasus pada 9 September. Pusat mencatat ada 203.342, sedangkan daerah, setelah dikalkulasikan, ada lebih banyak 568 atau total 203.910. Pada hari yang sama, pusat mencatat 145.200 kasus sembuh, sedangkan daerah 148.944 atau selisih 3.744. Sementara data kasus meninggal, pusat mencatat 8.336, sedangkan daerah selisih 689 atau sebanyak 9.025.
Daerah yang paling disorot adalah adalah Jawa Tengah karena jumlah data meninggal selisihnya paling banyak, yakni 585.
Begitu juga pada tanggal 10 September. Total kasus yang dicatat pusat 207.203, sedangkan daerah 207.366. Kemudian untuk kasus sembuh pusat mencatat 147.510, sedangkan daerah 151.638 atau selisih 4.128. Selisih juga terdapat dalam data kasus meninggal. Pusat mencatat 8.456, sedangkan di daerah lebih banyak, yakni 9.205. Terdapat selisih 749 atau 8,14 persen.
Tetap yang menjadi sorotan adalah Jawa Tengah karena terjadi selisih 632 kasus meninggal dari data pusat.
“Totalnya [nasional] dengan total rekapitulasi berbeda. Angka rekapitulasi dengan data kabupaten yang kami kumpulkan berbeda. Lalu data rekapitulasi Jawa Tengah dengan pusat juga berbeda,” kata Ronald kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2020).
Ronald mengatakan perbedaan data itu kemungkinan terjadi karena ada selisih waktu pelaporan antara kabupaten/kota ke provinsi, kemudian provinsi ke pusat. Tapi tidak semua daerah mengalami kasus seperti itu.
Jumlah di daerah itu cenderung lebih banyak daripada di pusat, katanya. Secara alur informasi sebetulnya hal itu tidak masalah, asalkan konsisten: bahwa data yang ada di daerah paling bawah secara administratif adalah data yang valid.
Meski demikian, ia mengatakan perbedaan data ini tak semestinya terjadi. “Harusnya ada integrasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan pusat. Harus transparan,” katanya. Ini penting karena data yang dimiliki oleh pusatlah yang dijadikan acuan untuk menentukan zonasi kerawanan tiap daerah--hijau, kuning, oranye, hingga merah.
Henry Suhendra, epidemiolog sekaligus kolaborator ilmuwan di LaporCOVID-19, perkumpulan yang juga inisiatif warga, mengatakan perbedaan data pusat dan daerah ini berbahaya karena tidak dapat menggambarkan situasi sesungguhnya.
“Bias, tidak mempresentasikan [situasi yang] sesungguhnya. Sehingga di atas, level nasional, kebijakannya tidak bisa tepat dengan kondisi riil di lapangan,” kata Henry kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2020).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino