tirto.id - Data pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal dan dinyatakan negatif COVID-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus meningkat sejak kasus positif pertama diumumkan pada 13 Maret 2020.
Tercatat hingga 3 Juni 2020, Pemda DIY mengumumkan PDP yang meninggal dan dinyatakan negatif COVID-19 berjumlah 67 orang. Sedangkan PDP yang meninggal menunggu hasil pemeriksaan laboratorium ada 20 orang.
Sementara yang meninggal dan dinyatakan positif COVID-19 angkanya tak berubah sejak 16 Mei 2020, yakni delapan orang.
Tirto berkolaborasi bersama sejumlah media di Yogyakarta menggali data tersebut. Dalam kurun waktu dua bulan, yaitu 13 Maret hingga 13 Mei 2020, ditemukan data sampel dari tiga kabupaten/kota yakni Sleman, Bantul, dan Kota Yogya, setidaknya terdapat lima PDP meninggal belum diswab, tapi dinyatakan negatif COVID-19.
Tiga PDP yang belum diswab ada di Kota Yogya, yakni PDP nomor 204, seorang laki-laki berusia 82 tahun; PDP nomor 387, seorang laki-laki berusia 60 tahun; dan PDP 679, seorang perempuan berusia 62 tahun. Kemudian dua lainya yakni PDP 235, seorang laki-laki 58 tahun asal Bantul dan PDP 289, seorang laki-laki 47 tahun asal Sleman.
Kelimanya dinyatakan sebagai PDP yang berdasarkan dokumen Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 Kemenkes, adalah yang mengalami infeksi saluran pernafasan (Ispa), menunjukkan gejala demam, batuk, flu, phenemunia ringan hingga berat.
Kemudian mereka yang memiliki riwayat demam setelah 14 hari sebelumnya kontak dengan pasien positif COVID-19. Atau Ispa dan phenemunia berat yang tidak ada gambaran klinis lain yang meyakinkan.
Sesuai pededoman tersebut, yang telah dinyatakan PDP perlu dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau tes swab sebanyak dua kali untuk kemudian dapat disimpulkan sebagai negatif COVID-19.
Namun Pemda DIY menyatakan dan menyimpulkan lima PDP yang tidak diswab tersebut sebagai negatif COVID-19.
Tak hanya mereka yang belum diswab, setidaknya dalam kurun waktu dua bulan di tiga kabupaten/kota tersebut juga terdapat tujuh PDP yang meninggal hanya dilakukan swab sekali, tapi tercatat sebagai PDP negatif.
Tujuh PDP itu adalah PDP nomor 601, seorang perempuan 47 tahun asal Bantul. Kemudian enam di antaranya berasal dari Sleman yakni PDP 702, seorang laki-laki 34 tahun; PDP 783, seorang perempuan 67 tahun; PDP 807, seorang perempuan 78 tahun; PDP 856, seorang laki-laki 75 tahun; PDP 969, seorang laki-laki 61 tahun; dan PDP 1275, seorang laki-laki 78 tahun.
“Ada yang meninggal baru sempat swab satu kali, kalau hasilnya negatif, ya kami negatifkan,” kata Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan COVID-19 Berty Murtiningsih, Jumat (29/5/2020).
Sedangkan untuk PDP meninggal yang belum diswab, namun dikategorikan PDP negatif COVID-19, Berty juga mengakui memang ada beberapa. Ia beralasan menegatifkan PDP meninggal belum diswab hanya untuk kasus-kasus pada awal-awal saja.
“Di awal-awal itu kami bingung ini mau bagaimana? Sementara dari informasi dari dokter dan rumah sakit itu penyebab kematiannya jantung, tapi dia PDP,” kata dia.
Pemda DIY kemudian, kata Berty, menggunakan diagnosa klinis dari rumah sakit untuk menentukan bahwa mereka yang belum diswab dan hanya diswab sekali itu masuk dalam kategori negatif COVID-19.
“[menyatakan negatif meski belum diswab atau diswab sekali] ini kesepakatan klinis. Kesepakatakan dokter yang ada di sana [rumah sakit]” ujarnya.
Namun sebetulnya selain kesimpulan negatif atau positif, ia menyebut seperti di RSUP Sardjito ada penyebutan tersendiri bagi pasien yang belum dapat disimpulkan negatif atau positif yakni dinyatakan sebagai probable.
"Hasil lab itu ada tiga, positif, negatif, dan probable. Probable ini tidak bisa disimpulkan. Tetapi kita belum bisa membuat kriteria seperti itu karena menurut saya, menerangkannya ke masyarakat gimana," tutur Berty.
Beda Data: “Negatif Itu Harus 2 Kali Swab”
Pemerintah Kabupaten/Kota mengkonfirmasi temuan 12 PDP meninggal yang tercatat sebagai negatif COVID-19 oleh Pemda DIY. Mereka membenarkan 12 PDP tersebut adalah warga mereka, tetapi tak semua mengamini dan sepakat jika warga mereka yang belum “jelas” namun dinyatakan sebagai negatif.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Joko Hastaryo mengatakan tidak tahu-menahu soal penegatifan di Pemda DIY. Selama ini untuk menentukan seorang itu apakah negatif COVID-19 atau tidak, pihaknya mengacu pada pedoman Kemenkes. Bahwa seorang PDP harus menjalani dua kali tes PCR atau swab dengan dua kali hasil negatif baru dapat disebut sebagai PDP negatif COVID-19.
“Kami tetap berpatokan kalau negatif itu harus dua kali swab. Kalau belum diswab atau baru diswab sekali, tapi meninggal itu kami tidak mengatakan negatif. Kategorinya dalam proses,” kata Joko, Jumat (29/5/2020).
Meskipun secara klinis ada diagnosa penyakit lain yang menyebabkan pasien meninggal, kata Joko, tapi tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan pasien tersebut negatif COVID-19 selama belum ada dua kali tes swab yang menyatakan negatif.
Kesimpulan hasil laboratoium baik negatif atau positif COVID-19 menurut Joko berkaitan dengan epidemiologi untuk mengetahui rantai penularan. Ketika pasien dinyatakan positif maka ia akan dilakukan penelusuran kontak, namun jika hasilnya negatif maka tidak menjadi prioritas penelusuran.
Di Sleman sendiri berdasarkan data per Jumat (29/5/2020) terdapat 11 PDP yang meninggal dalam proses baik belum diswab maupun swab sekali. Sedangkan PDP meninggal yang dinyatakan negatif COVID-19 setelah melalui dua kali swab ada 46 orang, semuanya dilakukan penguburan dengan protokol COVID-19.
“Sehingga total pasien yang terkait COVID-19 ada 61. Yang dinyatakan betul positif COVID-19 ada empat,” kata Joko.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Yogya, Yudiria Amelia, Kamis (28/5/2020) mengatakan, pencatatan perihal PDP belum diswab atupun diswab sekali namun dinyatakan negatif COVID-19 itu bukan berasal dari pemerintah kota.
“[Yang menyatakan negatif] dari Pemda [DIY]. Kalau keterangan laboratoium itu selalu menyatakan negatif atau positif. Kalau dari rumah sakit itu menyatakan ini sudah diswab sekali atau berapa kali dan hasilnya negatif atau positif. Kalau [negatif Covid-19] PCR itu harusnya dua kali,” kata dia.
Pemkot, kata Yudiria, kemudian mencatat baik PDP meninggal belum diswab atau baru diswab sekali dinyatakan negatif seperti halnya pencatatn di Pemda DIY. Pihaknya mempublikasikannya menjadi satu yakni PDP meninggal terkait COVID-19.
Data per Kamis (28/5/2020) total ada 26 PDP terkait COVID-19 yang meninggal.
“Saya mengatakan yang harus dipaparkan ke publik itu harus jelas. Mana yang masih kita tangani mana yang sudah meninggal dan mana yang sudah sembuh, itu harus jelas agar tidak membingungkan. Menyangkut PDP yang meninggal kok berbeda, saya juga baru tahu sekarang ini,” kata Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Kota Yogya sekaligus Wakil Wali Kota Yogya Heroe Poerwadi.
Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Kabupaten Bantul Sri Wahyu Joko Santosa atau yang kerap disapa dokter Oki, Kamis (28/5/2020) mengatakan, di Bantul ada 20 PDP yang meninggal dunia dan dinyatakan negatif meski baru menjalani satu kali tes swab.
“Ada yang swabnya setelah meninggal, ada yang menjelang meninggal […] Kami tetap menyampaikan kalau dia negatif, terus dia di-PDP-kan penyebab meninggalnya itu sesuai komorbitnya,” kata Oki.
20 orang PDP itu, kata Oki, telah dilaporkan ke Pemda DIY dan telah dinyatakan dan dipublikasikan dalam data PDP meninggal negatif COVID-19.
Sementara PDP yang meninggal tanpa sempat dilakukan swab ada satu orang. Menurut Oki di Bantul dikategorikan sebagai PDP meninggal dalam proses.
Oki mengatakan PDP yang meninggal sekali swab dikategorikan negatif ini sesuai dengan diagnosa klinis dari dokter terkait dengan adanya penyakit penyerta lainnya.
Meskipun dalam kasus COVID-19 penegakan diagnosa adalah melalui dua kali tes swab, namun kata dia diagnosa klinis penyakit penyerta juga dapat dijadikan dasar untuk menyatakan ia negatif COVID-19.
RSUP Sardjito yang menjadi salah satu rujukan sejak awal kasus COVID-19 di DIY, melalui Kepala Bagian Humas, Hukum dan Organisasi Banu Hermawan menyatakan, rumah sakit tidak pernah menyatakan atau memberikan kesimpulan bagi PDP meninggal yang belum diswab dan hanya diswab sekali sebagai negatif COVID-19.
“Prosedurnya itu dua kali [swab negatif] baru disimpulkan [negatif Covid-19]. Tapi kalau posisi pasien sudah meninggal dites terakhir negatif, ya kita katakan negatif hasil swabnya [bukan negatif COVID-19],” kata Banu, Senin (18/5/2020).
Pasien akan disebut telah melakukan swab dengan hasil negatif. Kemudian dikompilasikan ke dalam laporan tersebut hasil rontgen pasien, di mana kata Banu semua yang dinyatakan PDP pasti hasil pemeriksaan rontge-nya buruk.
“[Jadi] beda [swab negatif dengan kesimpulan], negatif COVID-19 itu kalau dua kali [swab negatif] terus juga gejala klinisnya tidak ada,” ujarnya.
Bisa Jadi Negatif Palsu
Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta, Irene mengatakan hasil satu kali swab tidak dapat menjadi kesimpulan bahwa sesorang negatif COVID-19.
Di laboratorium BTKLPP yang menjadi salah satu laboratorium pemeriksaan COVID-19, ia menemukan sejumlah swab yang hanya dilakukan sekali lantaran orangnya keburu meninggal dunia.
“Kalau swabnya baru satu hasilnya negatif belum bisa kami simpulkan. Tapi kalau hasilnya positif itu sudah bisa kami simpulkan,” kata Irene pertengahan Mei lalu.
Jika seorang PDP dinyatakan negatif COVID-19, maka ia harus mendapatkan hasil swab negatif dua kali. Biasanya, kata dia, sekali swab itu dilakukan di hidung dan mulut.
Ketika ada PDP meninggal baru dilakukan swab sekali, baik sebelum meninggal atau setelah meninggal dan hasilnya negatif, maka kata Irene itu tak dapat menjadi kesimpulan.
Sebab bisa jadi hasil negatif itu merupakan negatif palsu, kata Irene. Negatif palsu ini bisa disebabkan karena salah membaca hasil atau karena ada kesalahan dalam tahapan pemeriksaan.
“Kita takutnya kalau negatif itu negatif palsu. Kalau dia positif paslu tidak apa-apa karena dia sudah ditangani dengan protokol COVID-19 dan diisolasi,” kata Irene.
Negatif palsu ini, kata Irene, bisa berbahaya karena ketika tidak ditangani dengan protokol COVID-19 maka ia bisa memungkinkan untuk menularkan ke orang lain.
Pakar Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menjelaskan tes swab dua kali perlu dilakukan lantaran virus itu melakukan replikasi di dalam tubuh. Virus baru melakukan replikasi dalam jumlah yang banyak sekitar sepekan setelah mengalami gejala, saat itu baru efektif ketika dilakukan swab dan harus dilakukan lagi setelahnya dalam waktu yang berbeda.
Selain itu, tes swab dengan mengambil sampel cairan tenggorok atau nasofaring sebetulnya memiliki tingkat akurasi 70 persen. Selebihnya bisa jadi nasofasing sudah bersih, namun ketika di tes melalui feses masih terdapat virus.
Untuk akurasi yang lebih tinggi cairan, kata dia, bisa diambil dari paru-paru dengan mamasukkan selang ke dalamnya. Tingkat akurasi menguji cairan dari dalam paru-paru itu bisa mencapai 90 persen. Namun hal itu, kata dia, juga memiliki risiko tinggi terhadap pasien.
“Kalau hanya dites dari bagian hidung kebawa itu bisa jadi hasilnya false negatif [negatif palsu],” kata Rusdan, Sabtu (30/5/2020).
Negatif Palsu Bisa Akibatkan Klaster Baru
Data akurat terutama soal hasil tes swab, kata Rusdan, merupakan salah satu data penting yang dijadikan pemerintah untuk menentukan kebijakan. Termasuk misalnya jika memang hasil tes negatif COVID-19 telah menunjukkan peningkatan sedangkan kasus positif menurun, maka dapat dijadikan sebagai panduan untuk menentukan kebijakan pelonggaran wilayah.
Namun jika sebaliknya, data yang disajikan tidak akurat maka akan membawa konsekuesi yang lebih buruk.
“Setiap keputusan pasti akan terlihat nanti dampak terhadap kesehatan publik dan mudah-mudahan tidak meleset. Kalau [datanya meleset] dia negatif palsu akhirnya itu bisa jadi klaster baru,” kata dia.
Terkait data COVID-19 yang ada di Pemda DIY, kata dia, dengan adanya lebih dari 60 PDP meninggal yang dinyatakan negatif COVID-19 itu merupakan jumlah yang banyak.
“Kalau saya jadi peneliti di sana akan cari itu, saya akan lihat semua gejalanya seperti apa, hasi labnya seperti apa dan saya tanya seberapa agresif dia mengambil [sampelnya],” kata Rudan.
“Saya tidak menyangka sebanyak itu [PDP meninggal negatif COVID-19],” kata lulusan posdoktoral Harvard Medicene School ini.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz