tirto.id - Salah satu yang terdampak dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah bioskop. Sudah tiga bulan mereka mati suri.
PSBB, yang diterapkan untuk memutus rantai penyebaran virus COVID-19, mengharuskan pusat perbelanjaan, tempat bioskop biasa dibangun, membatasi operasionalnya. Gerai yang diizinkan dibuka hanya yang terkait dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Bioskop yang tidak ada di pusat perbelanjaan pun terdampak karena PSBB melarang orang-orang berkerumun di ruang publik.
CGV, salah satu perusahaan bioskop dengan kode emiten BLTZ, pendapatannya turun sampai 75 persen, kata Direktur Graha Layar Prima, Yeo Deoksu dalam keterbukaan informasi yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (29/5/2020).
"Wabah ini sangat berdampak hingga penghentian operasional total. Perseroan telah melakukan penutupan sementara seluruh kegiatan operasional bioskop CGV berdasarkan instruksi pemerintah hingga waktu yang belum ditentukan," tambah Yeo.
Strategi Bertahan
Yeo mengatakan sudah merumuskan strategi agar tetap bisa bertahan di tengah pandemi. Salah satunya dengan mengurangi biaya sewa tempat usaha melalui negosiasi ulang dengan para pemilik lahan.
CGV juga memberhentikan 1.478 karyawan. Angkanya lebih dari setengah karena total karyawan CGV sebanyak 2.147. Oleh perusahaan, mereka tidak dikategorikan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tapi pengunduran diri.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan istilah mengundurkan diri yang tertulis dalam dalam laporan CGV itu sebenarnya hanya penghalusan dari PHK.
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan, dalam laporan keterbukaan informasi, tidak mencatat angka PHK. Salah satunya adalah demi menjaga nama baik perusahaan.
"Kalau enggak dicatat PHK, brand image di mata investor tetap terjaga, sehingga masih menarik investor untuk beli saham. Ada beban operasional yang berkurang tapi semu karena perusahaan tidak membayar kompensasi yang seharusnya," kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (2/6/2020).
Seorang pekerja yang di-PHK akan mendapatkan sejumlah kompensasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketengakerjaan. Salah satunya adalah dapat pesangon. Sementara yang mengundurkan diri tidak dapat.
CGV bukan satu-satunya perusahaan bioskop yang bisnisnya babak belur. Meski belum melaporkan PHK, XXI memutuskan untuk tidak membayarkan remunerasi jajaran komisaris dan direksi terhitung sejak April lalu sampai keadaan normal.
Head of Corporate Communications & Brand Management Cinema XXI Dewinta Hutagaol mengatakan langkah tersebut dilakukan untuk memastikan ada ketersediaan uang tunai untuk menyelesaikan semua kewajiban kepada para karyawan, dalam hal ini pembayaran gaji hingga iuran BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini semua dilakukan agar dapat membantu membiayai sejumlah pengeluaran dan kewajiban yang harus dijalankan selama kondisi pandemi ini berlangsung," jelas dia kepada reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).
Industri Film Juga Terimbas
Dampak lesunya bisnis bioskop rupanya merembet ke mana-mana. Industri yang paling merasakan pukulan hebat imbas mati surinya bioskop adalah industri perfilman. Maklum, dalam kondisi normal, bioskop bisa menyumbang 90 persen pendapatan dari rumah produksi.
"Aku bisa bilang [pendapatan film dari bioskop] 80-90 persen," ujar sutradara film Joko Anwar kepada reporter Tirto, Selasa (3/6/2020).
Joko atau yang biasa dipanggil Jokan mengatakan situasi ini membuat grafik perkembangan film lokal turun drastis. Industri film dalam negeri mulai moncer pada 2019. Pada tahun itu ada 50 juta tiket habis terjual. Angka tersebut naik drastis dibanding 2017 yang hanya bisa menjual 38 juta tiket film lokal.
Jokan mengatakan karena pandemi, diperkirakan ada 140 judul film batal digarap tahun ini. Ia sendiri mengaku sudah berhenti berproduksi sejak Februari.
"Jadi peningkatannya [penjualan tiket film lokal] luar biasa dalam tiga tahun terakhir. Kepercayaan penonton terhadap film Indonesia menjadi tinggi. Saat lagi tinggi-tingginya, sekarang enggak bisa lagi," katanya.
Di sisi lain, penjualan film lewat platform digital pun belum mampu memberikan kontribusi yang cukup. Ia memperkirakan meski saat ini banyak masyarakat yang beralih ke over the top (OTT) alias layanan media streaming digital, biaya yang dikeluarkan rumah produksi belum bisa tertutupi. Pendapatan rumah produksi dari bioskop masih jauh lebih besar.
"Jadi untuk mengandalkan hanya streaming platform itu enggak bisa balik, enggak bisa menutup biaya produksi film," katanya.
Biaya produksi film dengan kategori low budget membutuhkan biaya Rp3-4 miliar. Sementara jenis medium budget biaya produksinya Rp6-8 miliar. Ada juga produksi film big budget yang membutuhkan biaya Rp8 miliar-20 miliar.
Jokan menyebut rata-rata pengeluaran untuk biaya produksi film di Indonesia termasuk ke jenis big budget dengan nilai Rp8 miliar. Sementara pendapatan dari streaming "paling hanya Rp3 miliar, tapi ada juga yang dibayar Rp750 juta, ada yang dibayar Rp100 juta bahkan di bawah itu."
Situasi ini tentu membuat pelaku perfilman memutar otak. Jika perusahaan bioskop memilih memangkas ongkos, maka para kru lapangan mengembangkan semacam prosedur standar produksi yang bakal diterapkan saat era new normal--dengan menerapkan segala rupa protokol kesehatan.
"SOP ini yang masih digodok, belum jadi 100 persen. Jadi masing-masing pihak masih memberikan masukan. Mudah-mudahan nanti dengan adanya SOP, produksi bisa mengikuti new normal. Itu pun kalau kita mau produksi lagi," pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri