Menuju konten utama

Bagaimana Industri Film Bertahan di tengah Flu Spanyol & COVID-19

Industri film global terpukul akibat pandemi flu Spanyol (1918) dan COVID-19 (2020). Para sineas selalu punya cara untuk bertahan.

Bagaimana Industri Film Bertahan di tengah Flu Spanyol & COVID-19
Seorang pekerja membersihkan bagian antara kursi di sebuah bioskop di gedung festival dalam persiapan menjelang Festival Film Cannes ke-72, di Cannes, Prancis, Minggu (12/5/2019). REUTERS/Regis Duvignau

tirto.id - Industri film Indonesia tengah terpukul akibat pandemi COVID-19. Pada 23 Maret 2020, jaringan bioskop terbesar di Indonesia, Cinema XXI, memutuskan menutup kegiatan operasionalnya untuk mendukung gerakan social distancing. Penutupan sementara selama dua pekan itu diperpanjang hingga batas waktu yang tidak disebutkan setelah pemerintah daerah DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang efektif sejak Jumat (10/4/2020) lalu.

Laporan Kompas (29/3/2020) menyebut film Indonesia awalnya diprediksi bakal menarik lebih dari 60 juta pasang mata sepanjang tahun 2020. Hingga pertengahan Maret, film Indonesia telah ditonton sebanyak 12 juta orang. Milea: Suara dari Dilan, misalnya, menarik tidak kurang dari tiga juta penonton sejak dirilis pada Februari lalu. Dengan berlakunya PSBB, pencapaian serupa sudah tentu mustahil diulang kembali.

Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Chand Parwez Servia, menuturkan sepanjang masa darurat pandemi COVID-19 kegiatan produksi film benar-benar berhenti. Dia memperkirakan kondisi ini akan menghasilkan masa paceklik dalam perfilman lokal selama kurang lebih satu tahun. Sepanjang tahun 2020, keseluruhan produksi film nasional yang bisa diselamatkan hanya 25 persen saja.

“Menjelang Lebaran yang kami perkirakan akan mendatangkan banyak penonton juga kemungkinan minat tidak terlalu tinggi. Saya memperkirakan industri film akan terganggu selama satu tahun, dan tidak akan cepat pulih,” katanya, masih melansir Kompas.

Kesulitan industri film di tengah pandemi akibat penutupan jaringan bioskop pada dasarnya adalah permasalahan global. Cina, pasar film terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dikabarkan telah melakukan penutupan terhadap lebih dari 70 ribu bioskop sejak Januari lalu. Seperti dilaporkan Quartz, peristiwa itu mengakibatkan pendapatan box office global turun hingga 5 miliar dolar dan memaksa produser film beramai-ramai pindah ke jaringan digital.

“Kehadiran penonton di bioskop-bioskop di negara-negara Asia turun secara signifikan. Studio-studio Hollywood dipaksa untuk menunda perilisan film-film blockbuster dan secara drastis mengubah jadwal produksi di seluruh dunia,” tulis Quartz. “Sejauh ini, tidak ada studio yang mengatakan bahwa mereka membatalkan perilisan film, sebagai gantinya mereka memulai debutnya secara online.”

Flu Spanyol Mengubah Hollywood

Pandemi COVID-19 bukan wabah pertama yang menghantam Hollywood. Lebih dari seratus tahun lalu, perfilman Amerika pernah menyaksikan wabah mematikan yang berhasil menginfeksi 60% populasi dunia dan membunuh 50 juta orang di seluruh dunia. Akibatnya, industri film mengalami krisis selama beberapa tahun hingga akhirnya para pengusaha harus putar akal untuk membuat bisnisnya terus berjalan.

Virus influenza tipe A subtipe H1N1 atau dikenal dengan nama Flu Spanyol diperkirakan tiba di pesisir timur Amerika Serikat pada Maret 1918. Para serdadu yang baru saja kembali dari medan pertempuran Perang Dunia I di Eropa menjadi orang-orang pertama yang dilaporkan terinfeksi virus ini.

Pada bulan September di tahun yang sama, wabah Flu Spanyol semakin mengganas. Kota-kota kecil mulai melakukan isolasi seiring diterapkannya kebijakan larangan berkerumun di tempat umum. Bioskop menjadi sektor usaha yang paling awal diperintahkan untuk ditutup. Seperti dicatat Gary D. Rhodes dalam The Perils of Moviegoing in America: 1896-1950 (2012: 94), kebijakan ini bermula dari negara bagian Massachusetts dan menyebar ke penjuru Amerika Utara pada bulan berikutnya.

Kendati bioskop satu per satu tutup, orang-orang yang bekerja dalam industri film di Los Angeles menolak menghentikan kegiatan produksi. Menurut catatan yang dikumpulkan The Hollywood Reporter, kala itu para dedengkot perfilman yakin bahwa Flu Spanyol adalah masalah orang-orang di kawasan Pantai Timur. Di saat bersamaan, film bisu tengah mengalami masa keemasan sehingga banyak produser yang lebih takut kehilangan momentum daripada tertular virus.

Orang-orang perfilman baru mulai merasa terpukul ketika Asosiasi Industri Film Amerika berhenti mendistribusikan film-film keluaran terbaru. Menurut William J. Mann, penulis yang banyak meneliti sejarah Hollywood, kebijakan ini diambil ketika 90% bioskop di negeri itu gulung tikar lantaran kehilangan penonton. Produksi film pun berhenti mengikuti penutupan jalur distribusi dan pemutaran film.

Dalam wawancara yang dipublikasikan pada laman Deadline Hollywood, Mann memaparkan bahwa sektor produksi pada masa itu tidak terintegrasi dengan bidang pemutaran film. Pada dasarnya sektor-sektor tersebut dikelola secara independen oleh orang-orang Amerika keturunan Cina dan Meksiko, kebanyakan adalah perempuan. Ketika krisis akibat pandemi datang, mereka tidak bisa berbuat banyak kecuali menutup usahanya untuk sementara.

Mann mengkisahkan, wabah Flu Spanyol kemudian mengubah model industri film Hollywood untuk selamanya. Adolf Zukor, salah seorang pendiri Paramount Pictures, membeli satu per satu bioskop yang sudah berada di ambang kebangkrutan. Dengan mengambil alih jalur distribusi dan pemutaran film, Zukor menjadi salah satu penguasa Hollywood. Model produksi film dengan sistem studio yang dia ciptakan itu masih digunakan hingga kini.

“Dia mengeksploitasi kondisi di tengah pandemi untuk membangun model bisnis film di mana perempuan disingkirkan dari posisi sebagai pengambil keputusan, belum lagi orang kulit berwarna yang bekerja di Los Angeles dan punya perusahaan dan jaringan distribusi sendiri. Zukor membeli semuanya, begitu banyak orang kehilangan akses dan suara saat itu,” tuturnya.

Ramai-Ramai Pindah ke Digital

Kondisi kegiatan produksi di tengah pandemi COVID-19 tidak jauh berbeda dengan pada saat Flu Spanyol mewabah. Kendati demikian, di era serba digital seperti sekarang, penyedia konten hiburan punya berbagai cara untuk mendistribusikan produknya secara online.

Menanggapi penutupan bioskop selama krisis, Disney mengumumkan telah menetapkan tanggal rilis baru sejumlah film box office yang seharusnya diputar di bioskop sepanjang paruh pertama tahun 2020. Film-film Marvel Cinematic Universe yang sejak 10 tahun belakangan sudah memiliki jadwal rilis yang terencana bahkan harus mundur sampai enam bulan.

Berdasarkan laporan yang dirangkum Vox, Disney dan beberapa studio film besar lainnya nampaknya masih ingin menghormati cara tradisional dengan merilis film-film andalannya seperti sedia kala di bioskop. Di antara produksi Disney yang dijadwalkan keluar tahun ini, hanya Artemis Fowl saja yang benar-benar dipindahkan dari jadwal rilis bioskop ke rilis digital melalui Disney+. Selebihnya Disney hanya memindahkan sebagian film lama atau film-film baru beranggaran menengah ke luar bioskop. Langkah ini bisa saja berubah jika pandemi COVID-19 terus berlangsung selama berbulan-bulan.

NBC Universal justru bertindak lebih jauh dalam memanfaatkan platform digital. Seperti dilaporkan The Hollywood Reporter, sejak 16 Maret lalu Universal memutuskan bahwa mereka akan merilis beberapa film secara online pada hari yang sama dengan tanggal rilis di bioskop. Film tersedia pada berbagai layanan streaming dalam bentuk Subscription Based Video on Demand (SVOD) yang dapat disewa selama 48 jam dengan harga sekitar 19,99 dolar.

Melihat berbagai macam langkah adaptif yang dilakukan sejumlah perusahaan film belakangan, William J. Mann menegaskan bahwa hal ini bisa saja menjadi sebuah awal perubahan seperti yang dialami perfilman Hollywood saat bertahan di tengah pandemi tahun 1918 hingga 1919. Wabah Flu Spanyol, menurut Mann, tidak hanya merubah keseluruhan industri tetapi juga panjang film dan cara orang membeli tiket bioskop.

Infografik Industri Film di Tengah Pandemi

Infografik Industri Film di Tengah Pandemi. tirto.id/Sabit

Layanan streaming film, lanjut Mann, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan model ciptaan Zukor. Sebuah perusahaan film secara penuh mengontrol sektor produksi, distribusi, dan berbagai macam kebijakan terkait pemutaran film. Kondisi ini akan kembali menciptakan pemain besar dan menyingkirkan orang-orang kecil yang tidak memiliki akses di bidang-bidang tersebut keluar dari bisnis film.

Kompas (31/3/2020) melaporkan, bertepatan dengan peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mendorong agar pekerja perfilman berpikir lebih kreatif dalam memanfaatkan teknologi digital. Akan tetapi, siasat untuk mendistribusikan film secara digital di tengah pandemi kenyataannya tidak semudah itu mengingat Indonesia masih belum memiliki peraturan yang jelas di bidang ini.

Sutradara film dan pendiri Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko, mengatakan kendala lain ada pada belanja konten media streaming yang masih sangat terbatas di Indonesia. Padahal distribusi film pada platform digital umumnya hanya mengenal dua model, yaitu Advertising Based Video on Demand (AdVOD) yang menetapkan sistem monetisasi bisnis dari iklan dan SVOD yang banyak diterapkan oleh penyedia konten original seperti Netflix.

“AdVOD bukan medium yang serta merta bisa menggantikan model monetisasi seperti bioskop. Di sisi lain, untuk SVOD masih jadi perdebatan, misalnya Netflix diblok aksesnya oleh Telkom. Hal itu memengaruhi belanja konten Netflix ke Indonesia menjadi tidak sebesar di negara lain yang menjadi pasar utama,” tulis Kompas merangkum pendapat sutradara Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini itu.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Film
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Windu Jusuf