Menuju konten utama

Mereka yang Mati Tak Tercatat & Tanpa Dites Saat Pandemi COVID-19

BS, yang belum diambil swab, tercantum dalam data PDP meninggal dengan status 'negatif COVID-19'. Beberapa yang lain juga tak tercatat.

Mereka yang Mati Tak Tercatat & Tanpa Dites Saat Pandemi COVID-19
Tim Emergency TRC Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY melakukan proses pemakaman jenazah kasus Covid-19 di Ngaglik, Sleman, Rabu (1/4/2020). Dok. TRC BPBD DIY

tirto.id - Dari sebuah kamar isolasi di RSUD Sleman, seorang perempuan paruh baya berinisial RS menjawab pesan Whatsapp yang kami kirim. Dari seberang ia mengabarkan kondisi baik dan hanya batuk sesekali.

"Ini saya lagi isolasi, mas. Maaf [membalas pesan] Whatsapp lama karena hanya satu tangan. Tangan yang satu diinfus," kata RS, Rabu (22/4/2020).

RS menjalani isolasi sekitar 20 hari setelah suaminya, BS (47), meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Sebelum masuk ruang isolasi, ia menjalani dua rapid test dengan hasil reaktif--menandakan pernah terinfeksi virus Corona. Berdasarkan hasil rongent, paru-parunya juga diketahui sedikit bermasalah.

BS adalah seorang penatua di sebuah gereja di Yogyakarta. Ia juga seorang olahragawan. Dua pekan sebelum meninggal pada 15 Maret 2020, BS bertugas di sebuah gereja di kawasan Kalasan, Sleman. Dua hari setelahnya ia mengikuti persidangan presbiter di gereja di kawasan Gondomanan Kota Yogyakarta.

BS mulai batuk-batuk pada 22 Maret 2020. Sehari kemudian ia memutuskan berobat ke dokter, tapi kondisi tidak membaik. Empat hari setelah berobat, pada 27 Maret, BS sesak napas dan dilarikan ke Puskesmas Ngaglik II.

Tanggal 28 Maret 2020 ia dilarikan ke sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Di sana ia "dinyatakan PDP dan harus isolasi." Namun, kata RS, "tidak ada kamar isolasi di semua rumah sakit, akhirnya diminta isolasi mandiri di rumah."

Napas BS semakin tersengal-sengal pada Selasa 31 Maret. Ia bahkan sempat tak sadarkan diri. Pada malam hari di tanggal yang sama, BS meninggal dunia.

RS menyesal dan kecewa dengan rumah sakit karena mereka meminta suaminya isolasi mandiri, padahal telah dinyatakan sebagai PDP dan rumah sakit tahu bahwa BS memiliki penyakit penyerta yang dapat memperparah keadaan.

RS bilang suaminya punya penyakit asma dan hipertensi. Namun RS tak pernah tahu apakah BS meninggal karena penyakit penyerta atau COVID-19 sebab belum pernah diambil sampel swab--usap hidung dan tenggorok yang harus dilalui seorang PDP. Alasannya, kata RS menirukan jawaban rumah sakit, "alat tes habis".

Tes swab adalah metode paling akurat untuk menyimpulkan seseorang terkena COVID-19 atau tidak.

Pada hari itu pula sebuah pesan berantai tersebar di Whatsapp, yang tak lain mengabarkan kematian BS. Bunyinya kira-kira: seorang pria 47 tahun, warga Ngaglik, Sleman, Yogyakarta meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah. Kabar itu dikonfirmasi oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Joko Hastaryo. BS, kata Joko, langsung dikuburkan pada pagi hari.

"Dimakamkan oleh tim RSUP Sardjito dibantu TRC BPBD DIY dengan prosedur penanganan pemulasaraan jenazah dengan penyakit menular," kata Joko kepada wartawan, Rabu (1/4/2020).

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) melalui Juru Bicara Penanganan COVID-19 Berty Murtiningsih juga mengonfirmasikan kabar ini pada Kamis (2/4/2020). Ia mengatakan seorang PDP nomor 298, laki-laki berusia 47 asal Sleman, meninggal dengan keterangan belum di-swab.

Belakangan data ini berubah. BS yang jelas-jelas belum diambil swab tercantum dalam data PDP meninggal dengan status 'negatif COVID-19'.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Sleman Novita Krisnaini mengatakan BS memang PDP, nomor 289, dan belum di-swab. Namun ia beralasan perubahan status tersebut karena "kebijakan baru".

"Dulu memang kalau PDP belum di-swab tetap dianggap PDP. Kebijakan sekarang, kalau PDP tapi belum di-swab berarti tidak termasuk PDP," katanya, Jumat (24/4/2020). Ia juga bilang, "kebijakan penanganan COVID-19 sangat dinamis."

60 Pemakaman dengan Prosedur COVID-19 dalam 34 Hari

Selama 34 hari, sejak 24 Maret 2020 hingga 26 April 2020, ada 60 jenazah yang dikubur dengan prosedur COVID-19 di Yogyakarta, menurut tiga lembaga yang melakukan pemakaman jenazah dengan prosedur COVID-19: Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (TRC BPBD) DIY, RSUP Sardjito, dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Gunungkidul DIY.

Data-data dari dari tiga lembaga ini, lantas disandingkan dengan data resmi pemerintah yang diumumkan melalui corona.jogjaprov.go.id, lalu didapatkan tiga klasifikasi data: tercatat, tidak tercatat, dan tidak diketahui.

Hasilnya, terdapat kecocokan antara data tidak resmi terhadap 24 PDP dengan data yang dicatat oleh Pemda DIY--baik yang tertera di laman resmi maupun yang diumumkan oleh juru bicara penanganan pandemi. Kemudian, ada 28 jenazah dengan status PDP, ODP, atau tanpa status yang belum dapat diketahui apakah terdaftar atau tidak dalam data pemerintah.

Sisanya, delapan jenazah berstatus PDP menurut data tidak resmi, tidak cocok dengan entri mana pun yang dirilis pemerintah. Dengan kata lain, mereka tak masuk dalam daftar kasus COVID-19 versi pemerintah.

Salah satunya adalah jenazah perempuan berinisial TH (43), warga Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi mengatakan warganya itu meninggal dan dimakamkan dengan menggunakan prosedur penanganan COVID-19 pada 17 April 2020.

"Berdasarkan informasi sebelum meninggal itu diisolasi," katanya, Jumat (24/4/2020).

Anggoro mengaku tidak mendapatkan informasi resmi yang menyatakan TH sebagai PDP. Dalam data harian pemerintah Kabupaten Bantul yang disampaikan ke desa, nama TH pun tidak ada dalam daftar ODP maupun PDP.

Tim yang mengubur TH adalah TRC BPBD DIY. Komandan TRC BPBD DIY Wahyu Pristiawan mengatakan setiap jenazah yang dikuburkan oleh TRC BPBD DIY pada masa COVID-19 harus sesuai dengan prosedur. Paling minimal, jenazah harus segera dikebumikan dan tidak boleh dirukti di rumah jika sudah ada keterangan dari rumah sakit bahwa yang bersangkutan memiliki penyakit menular.

Sebagian rumah sakit, kata Pristiawan, ada pula yang menyampaikan bahwa jenazah yang mereka serahkan ke TRC untuk dikebumikan merupakan PDP.

"Kalau dia sudah didiagnosis dokter menyangkut penyakit menular, maka kami menggunakan standar prosedur penanganan COVID-19," kata dia, Kamis (22/4/2020). Karena TRC BPBD DIY melakukan pemakaman pada masa kedaruratan, maka penyakit menular yang dimaksud adalah dalam konteks COVID-19.

“Kalau PDP Ringan Masuk PDP, Matinya PDP Banyak”

Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembajun Setyaningastutie mengklaim selama ini pelaporan dilakukan berjenjang dari rumah sakit ke pemerintah kabupaten/kota, kemudian dilaporkan ke Pemda DIY. Karena itu semua data kematian PDP yang ada di Yogyakarta telah tercatat oleh pemda.

"Kalau dia [rumah sakit hingga pemkab/pemkot] lapor pasti kita punya. Dan saya pertanyakan juga kalau kemudian tidak ada datanya, berarti kabupaten kota tidak mendata," kata dia, Kamis (22/4/2020).

Pembajun lantas menggarisbawahi soal kematian PDP. Pembajun menyebut istilah 'PDP positif', yaitu mereka yang telah diperiksa secara fisik, memiliki keluhan medis mengarah COVID-19, memiliki riwayat perjalanan, dan kemudian saat di-swab hasilnya positif. Ada pula istilah 'PDP ringan', yaitu mereka yang telah melalui pemeriksaan klinis termasuk rontgen dan riwayat perjalanan serta kontak, kemudian dicurigai COVID-19 sehingga dapat dilakukan swab.

Sementara bagi PDP yang meninggal sebelum dilakukan swab, maka Pembajun bilang mereka tidak dapat dikategorikan sebagai PDP. Ia menyebutnya dengan istilah 'dicurigai PDP'.

Menurutnya, tidak semua PDP tercatat dalam 'kematian PDP'. 'PDP ringan', kata Pembajun, tidak dicatat karena "kalau semua pasien yang masuk dalam PDP ringan dimasukin PDP, matinya PDP banyak banget."

Beragam istilah PDP menimbulkan pertanyaan lanjutan. Sebab, dalam dokumen resmi penanganan COVID-19 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada 27 Maret lalu, tidak disebutkan adanya istilah 'dicurigai PDP'. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa PDP adalah mereka yang mengalami demam lebih dari 38 derajat celcius atau riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk. Sebelum terjadi gejala, mereka memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di wilayah yang telah terjadi transmisi lokal.

Selain itu, Kemkes juga menyebut PDP adalah mereka yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk; dan pada 14 hari sebelumnya memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.

Kematian Kasus Positif Tak Gambarkan Situasi

Menurut Manager Program Geospatial Epidemiology Eijkman-Oxford Clinical Research Unit Jakarta Iqbal Elyazar, data kematian di Yogyakarta tak menggambarkan situasi yang sesungguhnya. Di provinsi ini, angka kematian mencapai tujuh orang dari 94 kasus positif per Rabu (29/4/2020).

Menurut Iqbal, untuk mengetahui gambaran menyeluruh tentang situasi pandemi, para epidemiolog harus menghitung seluruh jumlah kematian dalam satu periode pandemi, kemudian dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya.

Dengan kata lain, katanya Sabtu (25/4/2020) lalu, "angka kematian dengan hanya berdasarkan kasus positif sama sekali tidak menggambarkan situasi pandemi."

Oleh sebab itu menurutnya penting agar seluruh data kematian, baik ODP dan PDP, dipublikasikan. Jika kategori ini dimasukkan, ia memperkirakan data kematian menjadi lebih banyak sekitar tiga kali lipat dari angka kematian nasional yang dicatatkan hanya berdasarkan kasus positif.

Iqbal juga menyoroti kapasitas tes yang sangat minim. Ia mengutip sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine baru-baru ini yang menyebut bahwa orang yang berobat di rumah sakit saat ini hanya sekitar 5 persen dari seluruh kasus. Artinya, sekitar 20 kali lipat dari mereka masih banyak yang di luar dan sebagian tanpa gejala hingga memiliki risiko penularan.

Hal itu jelas sulit untuk dideteksi, apalagi jika tes massal tidak dilakukan.

Gambaran situasi pandemi terutama soal kematian juga akan menjadi masalah jika penyajiannya tidak akurat. Tidak bisa, kata Iqbal, seorang PDP yang meninggal belum di-swab kemudian digolongkan menjadi PDP negatif.

"Tidak akurat karena tidak sesuai fakta. Menurut saya harus disebutkan bahwa dia meninggal belum sempat diambil tes. Itu harus ada kolom tersendiri. Tidak boleh dicampur dengan yang negatif," katanya.

Lalu apa masalahnya? Apabila dimasukkan dalam kolom negatif seperti kasus Jogja, maka tracing ke keluarga atau orang terdekat menjadi terabaikan. Akibatnya virus lebih mudah menular karena tak terawasi.

Keterbukan data ini juga penting agar masyarakat lebih waspada. Semakin data tidak akurat dan tak transparan, maka masyarakat menjadi tidak tahu atau menyepelekan situasi. Selain itu transparansi data juga berguna agar dapat menilai efektivitas intervensi yang telah dilakukan.

"Apabila ini tidak digambarkan dan tidak disampaikan secara terbuka, maka kita jadi meremehkan masalah sehingga respons tidak maksimal," Iqbal memungkasi.

Baca juga artikel terkait COVID-19 DI JOGJA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino