tirto.id - Pada Selasa, 14 April, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi sekaligus pelaksana tugas Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan membuat pernyataan yang mengernyitkan dahi. Dengan jumlah penduduk hampir 270 juta, angka kematian akibat COVID-19 “enggak sampai 500 orang,” katanya dalam konferensi pers daring. Komentarnya bukan hanya tak peka tapi juga tidak berdasar. Mirip dengan pernyataannya tempo hari bahwa cuaca Indonesia yang panas dan lembab membuat COVID-19 “enggak kuat”.
Pernyataan serupa juga datang dari Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo. Pada 15 April, Agus seperti biasa melaporkan statistik COVID-19 versi pemerintah pusat melalui media sosial. Namun, ada yang berbeda: Data yang ditampilkan memuat satu kolom baru; rasio kematian per satu juta penduduk. Menurut Agus, dalam cuitannya, “beda cara mengolah dan penyajian data kematian, interpretasinya juga bisa beda.”
Benarkah begitu?
Otak-atik Data Statistik
Secara teknis, tentu saja perbedaan cara mengolah dan menyajikan data akan menghasilkan interpretasi berbeda pula. Akan tetapi, sebagai pakar geospasial dengan gelar akademik di bidang geoinformasi dan geomatika yang telah mengurus data publik di BNPB sejak 2012, Agus mestinya paham bahwa statistika bukan perkara yang bisa diotak-atik sesuka hati begitu saja. Selain pengolahan, penyajian, dan interpretasi data, statistika berurusan dengan pengumpulan dan pengelolaan data. Lima unsur ini saling terkait dan tak dapat dipisahkan antara satu dan yang lain.
Melanjutkan cuitannya, Agus mencari validasi dari publik: “Anda suka penyajian yang mana? Jika suka CFR silahkan like dan jika suka kematian per 1 penduduk [sic.] silahkan retweet.”
Mungkin masih banyak metode penyajian lainnya. Anda suka penyajian yang mana? Jika suka CFR silahkan like dan jika suka kematian per 1 penduduk silahkan retweet.
— Agus Wibowo (@aw3126) April 15, 2020