Menuju konten utama

Mengapa Pemerintah Perlu Ungkap Angka Kematian Riil Terkait Corona?

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat jumlah kematian terkait virus COVID-19 mencapai 1.000 orang lebih.

Mengapa Pemerintah Perlu Ungkap Angka Kematian Riil Terkait Corona?
Tim medis RS Bhayangkara Kendari memakamkan pasien positif COVID-19 di Tempat Pekuburan Punggolaka, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (18/4/2020).ANTARA FOTO/Jojon/hp.

tirto.id - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat jumlah kematian terkait virus COVID-19 mencapai 1.000 orang lebih. Jumlah tersebut merupakan akumulatif dari data kematian pasien positif dan pasien dalam pengawasan (PDP).

Jumlah ini tentunya berbeda dengan angka terakhir yang dirilis pemerintah, yang mengatakan 616 meninggal dunia per 21 April 2020. Ketua Umum IDI, Daeng M Faqih menjelaskan perbedaan jumlah yang mereka himpun lantaran angka PDP yang meninggal belum masuk dalam laporan pemerintah.

"PDP yang meninggal oleh RS dilaporkan juga sebagai kematian perawatan COVID-19, dimakamkan sesuai prosedur COVID-19. Hasil pemeriksaan belum keluar bahkan belum sempat diperiksa," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (18/4/2020).

Laporan PDP yang keburu meninggal dunia, menurut Daeng disebabkan proses tes pemeriksaan yang lambat. Sehingga para PDP meninggal dunia lebih dulu, sebelum hasil tesnya keluar.

"Ini pentingnya testing perlu diperluas dan dipercepat prosesnya seperti yang disampaikan Presiden," ujarnya.

Humas IDI Halik Malik mengatakan jumlah kematian tersebut bisa saja lebih banyak dari perkiraan awal. Lantaran menurutnya, ada pula kasus kematian PDP di luar rumah sakit yang tidak terjangkau.

"Barangkali ada juga yang di luar rumah sakit tapi sudah dilaporkan sebagai PDP. Kalau ditotal memang angkanya di atas angka yang disebutkan," ujarnya kepada wartawan.

Oleh sebab itu Halik mengatakan data yang dirilis pemerintah belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya terhadap COVID-19. Lantaran terkendala pemeriksaan di sejumlah daerah yang belum masif.

Begitu juga dengan angka kematian, menurutnya banyak laporan PDP yang sudah meninggal dunia lebih dulu tanpa tahu hasilnya positif atau tidak.

"Sejak awal IDI mendorong supaya data yang terpapar COVID, siapapun yang terdampak termasuk petugas medis, tenaga kesehatan dokter itu perlu diketahui. Seberapa jumlahnya yang tertular COVID-19, berapa yang dirawat, berapa yang wafat karena COVID," tandasnya.

Apakah semua orang yang meninggal harus COVID-19?

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto justru mempertanyakan data yang dipaparkan IDI.

"Dapat data dari mana? Kalau data dari saya jumlah konfirmasi positif. Apakah semua orang yang meninggal harus COVID-19? Kalau enggak COVID-19, enggak boleh meninggal?" ujarnya kepada wartawan, Minggu (19/4/2020).

Kendati demikian, ia mengaku menyimpan data kematian PDP dan Orang Dalam Pemantauan (ODP). Namun yang diumumkan hanya yang terkonfirmasi positif COVID-19.

"Kalau semua kematian dijumlahkan ke konfirmasi positif. Pasti angkanya tinggi [...] yang saya umumkan itu sama dengan apa yang saya laporkan ke WHO," ujarnya.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadillah sepakat dengan IDI. Ia berharap agar pemerintah juga membuka data kematian, baik itu pasien positif maupun PDP.

"Supaya kita paham ada faktor lain, semisal penyakit pesertanya. Untuk jaga-jaga juga. PDP meninggal bisa saja belum diambil swab-nya," ujarnya kepada tirto, Selasa (21/4/2020).

Harif juga mengaku kesulitan untuk mengakses diagnosis akhir para perawat yang meninggal dunia selama bertugas menangani COVID-19. Sejauh ini, ia hanya tahu perawat yang meninggal positif atau tidak berdasarkan pemaparan lisan bukan berdasarkan dokumen medis. PPNI mencatat total 16 perawat meninggal dunia terkait COVID-19 per 20 April 2020.

Menurutnya, akses tersebut hanya bisa ditembus oleh Dinas Kesehatan dan keluarga korban. Padahal transparansi data itu penting untuk masyarakat dan juga tenaga kesehatan.

Tujuannya untuk mengetahui faktor kematian lain dan juga sebagai pengingat kewaspadaan para tenaga kesehatan agar lebih waspada dalam bertugas.

"Di awal minggu pertama COVID. Kami sudah mengatakan untuk [pemerintah] transparansi soal keterbukaan pasien. Bukan hanya untuk tenaga kesehatan tapi semua. Kami melihat ada kepentingan yang lebih besar, ketimbang menjaga kerahasiaan," tandasnya.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri