tirto.id - Presiden ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia pada Rabu petang (11/9/2019). Kini, hampir semua rakyat Indonesia membicarakan Habibie sebagai sosok yang banyak berjasa bagi pengembangan IPTEK, demokrasi, dan juga perekonomian Indonesia.
Habibie bukanlah politisi ataupun ekonom. Ia adalah teknokrat yang sudah malang melintang di dunia teknologi, sebelum akhirnya Soeharto memanggilnya pulang untuk menjadi Menristek. Reformasi yang berujung pada pengunduran diri Soeharto mengantarkan Habibie menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ia harus bisa mengatasi warisan masalah mulai dari politik, stabilitas keamanan, hingga perekonomian.
Kondisi ekonomi Indonesia saat itu sangatlah buruk. Nilai tukar rupiah amblas, cadangan devisa tergerus habis-habisan, inflasi melonjak, pertumbuhan ekonomi minus. Kemampuannya dalam mengelola perekonomian Indonesia diragukan oleh banyak kalangan.
Di mata para pelaku pasar tahun 1997/1998, ia dipandang sebagai sosok yang suka menghamburkan duit untuk proyek-proyek mahal. Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura saat itu, bahkan sempat menyebut naiknya Habibie bisa "menghancurkan rupiah", seperti ditulis Majalah Tempo edisi 11 Oktober 1999.
Namun, kenyataan berkata lain. Di era Habibie, ekonomi Indonesia justru masuk dalam fase pemulihan pasca-krisis moneter 1998. Ia berhasil mengembalikan kurs rupiah yang sempat terjun ke level Rp16.800 per dolar AS pada Juni 1998 ke kisaran Rp7.000-Rp8.000 per dolar AS di akhir pemerintahannya.
Meredam Hiperinflasi, Memperkuat Rupiah
Setelah menjabat sebagai Presiden Indonesia, kebijakan ekonomi yang diambil Habibie pertama kali adalah menyelesaikan masalah sektor perbankan usai diterpa rush atau penarikan dana besar-besaran pada 1997.
Restrukturisasi perbankan dilakukan—salah satunya dengan mengkonsolidasikan empat bank milik pemerintah, yang kemudian melahirkan Bank Mandiri. Bagi Habibie, penyehatan perbankan komersial ini penting untuk menopang perekonomian dan memperkuat Bank Indonesia (BI).
Ia juga mengambil langkah cukup berani meski ditentang banyak kalangan: memisahkan BI dari pemerintah lewat Undang-Undang nomor 23 tahun 1999.
Agar dapat menghasilkan mata uang rupiah yang berkualitas tinggi, menurut Habibie, Bank Sentral harus dapat bekerja lebih objektif, profesional dan lepas dari kepentingan politik. Berkat keputusannya itu pula, BI punya wewenang untuk mengintervensi rupiah hingga saat ini.
Langkah Habibie selanjutnya diarahkan pada pengembalian kepercayaan pelaku ekonomi dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran terhadap hiperinflasi harus diredam.
Kebijakan moneter ketat ditempuh, salah satunya dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat bunga tinggi. Tujuannya, agar masyarakat menyimpan kembali uangnya di bank. Sebab banyaknya jumlah uang beredar di masyarakat waktu itu juga turut mendorong inflasi.
Di saat yang bersamaan, Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi agar administered price dapat diturunkan. Harga-harga bahan pokok pun terjangkau oleh masyarakat di tengah keterpurukan akibat krisis.
Cara ini cukup efektif menahan laju inflasi, yang diikuti dengan menurunnya suku bunga SBI dari 70 persen menjadi hanya belasan persen. Bersamaan dengan penurunan suku bunga maka negatif spread yang dialami bank-bank juga dapat diatasi.
Di sisi lain, kebijakan yang diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dikebut, berbarengan dengan persiapan menuju Pemilu.
"Bersama-sama dengan mulai berhasilnya pembenahan perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang mulai merasa aman, tenteram dalam melakukan kegiatan sehari-hari, penurunan tingkat suku bunga akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri," ujarnya, dikutip dari buku "B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan" (2006:346).
Berbagai langkah tersebut berhasil menciptakan stabilitas makro dan membuat investor internasional kembali melirik Indonesia sebagai lahan yang layak untuk berinvestasi.
Aktivitas perdagangan saham di bursa efek Jakarta yang sempat terkapar berangsur menggeliat kembali. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melonjak, dari posisi 200 ke kisaran 500-600-an. Level psikologis 700 bahkan sempat disentuh.
Nilai tukar rupiah secara bertahap membaik dan akhirnya mencapai tingkat wajar. Bak dua sisi mata uang, kondisi itu juga menurunkan tekanan terhadap inflasi.
"Hingga pada periode Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2 persen, padahal dalam periode sama tahun sebelumnya mencapai 75,47 persen," ucap Habibie saat membacakan laporan pertanggungjawaban di hadapan MPR pada 14 Oktober 1999.
Meski demikian, kebijakan ekonomi yang ia tempuh di masa pemerintahannya bukan tanpa kritik. Sejumlah analis menilai menguatnya nilai tukar rupiah justru disebabkan oleh faktor lain di luar Habibie.
Salah satunya aliran modal masuk (capital inflow) yang cukup besar di pasar saham. Itu pun bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan karena harga saham-saham di bursa sudah terlalu murah ketimbang harga industri sejenis di luar negeri.
"Tak mungkin [kebijakan pemerintah] bisa mendongkrak sekuat ini," ujar Direktur Industrial Bank of Japan (IBJ) di Jakarta, Endarto Weltam, seperti diberitakan Tempo, pada pekan pertama Mei 1999.
Meski demikian, kebijakan perekonomian yang diambil Habibie, menjadi pondasi penting bagi perjalanan perekonomian Indonesia hingga menuju stabilitasnya saat ini. Pondasi inilah yang penting, untuk membangun lagi perekonomian yang porak poranda akibat salah kelola selama masa Orde Baru.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti