Menuju konten utama

Awas, Gigi Berlubang Bisa Picu Henoch-Schonlein-Purpura (HSP)

Almaira Nurrahma, anak berumur 6 tahun, mengalami pecah pembuluh darah yang didiagnosis berawal dari infeksi gigi.

Awas, Gigi Berlubang Bisa Picu Henoch-Schonlein-Purpura (HSP)
Henoch-Schonlein Purpura. FOTO/pmmonline.org

tirto.id - Seorang ibu muda mengisahkan pengalaman anaknya berjuang melawan Henoch-Schonlein-Purpura (HSP) atau biasa disebut radang pembuluh darah, di akun Facebook-nya.

Almaira Nurrahma, gadis kecilnya yang masih berumur 6 tahun, berhasil melawan penyakit langka yang hinggap di tubuhnya. Tahun lalu, tepat satu minggu sebelum masuk sekolah tahun ajaran baru di TK B, tiba-tiba Alma mengeluh gatal di sekitar punggung.

Saat dilihat, kulit punggungnya bersih, tak ada tanda-tanda gatal seperti merah atau bentol. Sang ibu yang bernama Widia Nurjanah (28) hanya mengusapkan bedak gatal dan kayu putih di punggung anaknya. Namun, langkah ini tak meredam rasa gatal Almaira. Gatal semakin menjadi, ditambah munculnya bintik-bintik seperti alergi, ruam, juga rasa sakit di persendian.

“Dari gatal sampai Alma tak bisa jalan prosesnya sekitar 7 hari. [Pada] hari kedelapan, kami bawa ke dokter spesialis anak,” cerita Widia kepada Tirto. Ketika itu, kondisi sakit Alma sudah berat. Ia berjalan tertatih-tatih, termasuk untuk jarak yang sangat dekat seperti dari kamar ke toilet.

Untuk mendatangi dokter spesialis di Sukabumi, Widia harus menempuh perjalanan sejauh lima jam dari Surade, Ujung Genteng. Sesampainya di sana, seorang dokter mendiagnosis bahwa pembuluh darah Alma pecah dan membahayakan jiwanya.

Namun Widia tak mau langsung percaya, sehingga Alma pun langsung dibawa ke dokter lain untuk mencari second opinion. Diagnosisnya hampir sama. Pembuluh darah Alma memang pecah, tapi dokter ini menekankan bahwa pembuluh darah yang pecah bukanlah di bagian tubuh yang berbahaya. Ia pun hanya diberi resep rawat jalan. Widia sedikit bernapas lega.

Namun seminggu berselang, keluhan serupa datang kembali. Widia kembali membawa Alma berobat ke dokter spesialis anak lainnya. Dokter yang ketiga ini merujuk Alma untuk diperiksa oleh dokter spesialis imunologi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung yang harus ditempuh dalam waktu 5 jam perjalanan.

“Di sana kami rontgen, tes darah dan urine. Hasilnya Alma terjangkit penyakit HSP karena kelainan sistem imun dan kerusakan gigi.”

Padahal, menurut Widia, karies di gigi Alma tak terlampau parah, umum saja seperti anak seusianya. Lalu Widia mengingat-ingat riwayat medis Alma yang sering terjangkit demam dan batuk pilek, melebihi teman-temannya. Dalam sebulan, hampir dipastikan Alma kena flu satu hingga dua kali.

Karena karies gigi menjadi pemicu reaksi autoimun dalam tubuh Alma, dokter memutuskan mencabut 8 dari 13 gigi yang rusak dengan operasi bedah mulut. Setelahnya, ia diberi prednison selama empat bulan untuk pengobatan ditambah suplemen vitamin D pada dua bulan terakhir. Akhirnya di pertengahan Januari 2018 kemarin, Alma dinyatakan sembuh oleh dokter.

“Di situ, saya belajar untuk tidak menyepelekan hal-hal kecil seperti merawat gigi. Karena ternyata banyak penyakit berat seperti gagal ginjal dan jantung bocor berawal dari gigi rusak,” ujar Widia.

Infografik Henoch Schonlein Purpura

Bisa Sembuh

HSP, seperti ditulis WebMD merupakan penyakit akibat peradangan pembuluh darah ukuran kecil yang berisiko membikin pembuluh darah di kulit, usus, ginjal, dan persendian bocor. Kondisi ini paling sering terjadi pada anak-anak, umumnya laki-laki, usia 2 hingga 11 tahun. Ia juga bisa menjangkiti orang dewasa, tapi persentasenya kecil. Endah Citraresmi, Sp.A (K), spesialis alergi dan imunologi anak, kepada Tirto menyatakan bahwa 90 persen penderita HSP merupakan anak-anak.

Hingga kini, tidak diketahui secara pasti penyebab HSP. Namun, ia diyakini berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dua per tiga kasus HSP terjadi setelah penderita terkena infeksi, sehingga ia dianggap sebagai respons imun yang berlaku abnormal saat menangkal infeksi. Dalam kasus Alma, infeksi gigi diduga menjadi pencetusnya.

“Faktor kekebalan tubuh, genetik, dan lingkungan berperan dalam timbulnya HSP. Infeksi apa pun dapat mencetuskan HSP, namun pada anak yang sering diduga sebagai pencetus adalah infeksi di saluran napas,” jelas dr. Endah.

Ia melanjutkan, HSP memiliki karakteristik meliputi purpura, yakni ruam merah yang timbul dan tidak hilang ketika ditekan, terutama di tungkai bawah. Namun, ruam ini bukan disebabkan oleh rendahnya trombosit atau gangguan pembekuan darah.

Gejala lain adalah sakit di persendian (artritis atau artralgia), nyeri perut, dan gangguan ginjal, termasuk adanya darah dalam urine dan tinja. Sebelum gejala ini timbul, sebagian penderita mengalami demam hingga 2-3 minggu, sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi.

Ada beberapa penderita yang juga mengeluhkan sakit perut sebelum ruam muncul. Kondisi ini disebabkan oleh pelepasan usus yang tidak normal (intususepsi) yang mengakibatkan penyumbatan usus besar. Lazimnya, dokter akan melakukan pembedahan untuk mengatasi kondisi ini. Pada kebanyakan pasien, HSP juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Sekitar 5 persen pasien mengalami penyakit ginjal progresif dan 1 persen lainnya mengalami gagal ginjal total.

“Selain itu HSP bisa menimbulkan perdarahan paru dan otak, meski sangat jarang. Tapi sebagian besar bisa membaik dengan sendirinya,” lanjut Endah.

Seperti halnya dialami Widia dan putrinya, jika muncul tanda-tanda HSP pada anak, langkah terpenting adalah membiarkannya beristirahat total. Jangan biarkan mereka melakukan banyak aktivitas. Lazimnya, HSP akan mereda setelah empat hingga enam minggu serangan.

Namun, pada derajat yang berat, penyakit ini membutuhkan obat antiinflamasi non-steroid seperti ibuprofen untuk menghentikan peradangan pada pembuluh darah. Tujuannya agar peradangan tidak merusak organ lain dalam tubuh. Sebagian kasus yang lebih berat perlu mendapat obat penekan kekebalan tubuh seperti cyclosporin, cyclophosphamide, azathioprine, mycophenolate mofetil.

Jenis penanganan yang diberikan dokter bergantung pada derajat keparahan HSP anak. Maka, seperti kata Widia, penting bagi orangtua untuk segera memeriksakan anak ke dokter spesialis ketika ada gelagat yang berbeda.

“Jangan ditunda-tunda, karena bisa makin berat penyakitnya.”

Baca juga artikel terkait GIGI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani