tirto.id - Seorang pria mengenakan masker mulut menjulurkan lengannya. Ia menunjukkan lubang-lubang bekas tusukan jarum. "Itu bekas tusukan jarum selam tujuh tahun cuci darah," katanya.
Namanya Tony Samosir, Anggota Komunitas Cuci Darah Indonesia (KCDI). Tujuh tahun lalu, Tony divonis menderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK). Namun, tak patah arang, Tony membuktikan bahwa lewat terapi yang tepat, pasien PGK dapat memiliki umur panjang.
“Gagal ginjal bukan akhir dari segalanya,” ceritanya dalam diskusi “Memilih Terapi Pengganti Ginjal” di Jakarta, Rabu (16/8/2017).
Baca juga:Hidup dengan Satu Ginjal
Ginjal merupakan organ penting berfungsi menjaga komposisi darah. Cara kerja ginjal mencegah limbah menumpuk dan mengendalikan keseimbangan cairan tubuh. Lalu, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium, dan fosfat tetap stabil. Ginjal juga memroduksi hormon dan enzim yang membantu mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah, dan menjaga tulang kuat.
PGK terjadi ketika ginjal berfungsi hanya kurang dari 15 persen dari kapasitas normal. Ketika terjadi kegagalan ginjal, darah tak lagi bisa disaring. Zat sisa dan kelebihan cairan akan menumpuk dalam tubuh, dan kondisi ini dinamakan uraemia. Menyebabkan pembengkakan tangan dan kaki dan membuat seseorang merasa lelah dan lemah. Jika tak diobati, penyakit ini bisa menyebabkan kejang dan koma, dan akhirnya kematian.
PGK merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan angka tinggi, prognosis buruk, dan biaya besar. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu. Prevalensi PGK meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk usia lanjut, kejadian penyakit diabetes melitus, dan hipertensi. Beberapa penyebab PGK dikarenakan diiabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis kronis, nefritis intersisial kronis, penyakit ginjal polikistik, obstruksi, infeksi saluran kemih, dan obesitas.
Baca juga:Waspada Penyakit Ginjal
Menurut Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal menempati ranking kedua pembiayaan BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.
Penyakit ini tidak menunjukkan tanda dan gejala, tapi dapat berkembang mematikan. PGK tidak menimbulkan gejala dan tanda hingga laju rata-rata penyaringan darah (filtrasi glomerulus) sebesar 60 persen. Kelainan baru terlihat saat laju filtrasi glomerulus turun mencapai 30 persen. Saat itu, pasien akan mengeluhkan badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Gejala dan tanda uremia akan semakin terasa saat laju filtrasi glomelurus kurang dari 30 persen.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan sebanyak 0,2 persen populasi di atas 15 tahun terdiagnosis PGK. Laki-laki lebih banyak yang menderita PGK ketimbang perempuan (masing-masing 0,3 persen dan 0,2 persen). Kemunculan penyakit ini lebih tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3 persen), tidak bersekolah (0,4 persen), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3 persen). Sedangkan provinsi dengan prevalensi PGK tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5 persen, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 persen.
Kematian pada pasien yang menjalani cuci darah selama tahun 2015 tercatat sebanyak 1.243 orang. Rata-rata menjalani perawatan cuci darah selama 1-317 bulan. Proporsi terbanyak terjadi pada pasien dengan lama perawatan selama 6-12 bulan.
Mengatasi Gagal Ginjal Kronis
Cerita lain tentang vonis menyakitkan dan perjalanan melawan PGK dinarasikan Ambri Lawu Trenggono. Ambri adalah pria yang menyukai aktivitas alam seperti hiking dan traveling. Pada tahun 2009, ia divonis gagal ginjal, kondisinya makin memburuk di tahun 2012, dan dokter menyarankan cuci darah.
“Pekerjaan juga saya pilih di lapangan. Jadi saat divonis dan kondisi saya tidak bisa melakukannya, dunia rasa runtuh,” katanya.
Saat itu, praktis Ambri menarik diri dari semua hobi dan aktivitas. Ia berhenti bekerja dan merasa tak berguna. Semua rencana masa depan yang telah dirancang, kandas di tengah jalan. Tapi, karena dukungan dari keluarga, ia kembali bangkit dan mencari tahu berbagai informasi tentang PGK.
Sejak menjalani cuci darah, berat badan Ambri berangsur turun, tensinya juga selalu drop pasca-terapi. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk perawatan peritoneal dialysis (PD). Ia menganggap terapi PD sebagai terapi yang paling efisien. Sebab, dapat dilakukan di manapun tanpa harus pergi ke pusat dialisis untuk melakukan cuci darah.
“Lebih fleksibel karena bisa cuci darah mandiri, jadi saya putuskan terapi PD,” katanya.
Setelah itu, kehidupannya perlahan membaik. Berat badannya yang semula 55 kg, naik menjadi 65 kg. Ambri pun jadi kembali bebas berpergian dan kembali hidup normal seperti sedia kala. Kuncinya, disiplin konsultasi dokter setiap bulan, mengikuti anjuran saat pergantian cairan, disiplin diet, dan menjalani pola hidup sehat.
Baca juga: Ancaman Penyakit Katastropik
Menurut dr. Tunggul Situmorang, SpPD-KGH, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) pasien PGK memiliki beberapa pilihan terapi. Pertama, hemodialisis yang biasa dilakukan oleh pasien PGK dan harus dilakukan di pusat dialisis atau rumah sakit tiga kali seminggu selama empat sampai lima jam per sesi. Darah pasien dikirim melalui filter untuk menghilangkan racun dari tubuh. Lalu darah bersih dikembalikan ke tubuh setelah proses penyaringan selesai.
Kedua, transplantasi ginjal/End Stage Renal Disease. Ini merupakan terapi paling ideal untuk mengganti fungsi ginjal. Namun, terapi ini banyak terkendala kecocokan donor ginjal. Cara terakhir adalah PD yang menggunakan membran peritoneal sebagai filter pembersihan zat sisa dan membuang kelebihan cairan.
“Tinggal pilih jenis terapi yang sesuai dengan gaya hidup dan dikonsultasikan dengan dokter,” ujar dokter Tunggul kepada Tirto.
Baca juga:Perdagangan Terlarang Organ Tubuh
Dalam cuci darah PD, kateter berupa selang kecil lunak dimasukkan ke dalam rongga perut pasien dengan prosedur pembedahan. Larutan dialisis akan mengalir dari kantong larutan yang diletakkan di tempat yang lebih tinggi ke rongga peritoneal melalui kateter. Sementara itu, cairan kotor di ginjal dibuang melalui kateter lain ke kantong penampung yang berada di tempat rendah, sehingga terjadi pertukaran cairan.
Terdapat dua jenis PD, yakni Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD). Dengan CAPD, pertukaran cairan dilakukan sebanyak 4 kali sehari selama 30-40 menit per sesi. Cuci darah bisa dilakukan secara fleksibel sepanjang hari secara manual, dengan selang waktu 4 hingga 6 jam di antara sesi.
Sementara itu, APD dilakukan dengan mesin dan dilakukan malam saat tidur. Durasinya 8-12 jam per sesi. Namun, sayangnya, hingga kini mesin terapi APD belum dipasarkan di Indonesia.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani