tirto.id - Minggu pagi pada akhir Januari lalu saya masuk rumah sakit, mulanya saya kira ini sekedar salah urat, mengingat nyeri yang saya rasakan di pinggang demikian melintir. Setelah beberapa jam tak mampu bergerak karena rasa sakit yang luar biasa, teman membawa saya ke rumah sakit. Di IGD dokter memvonis saya dengan batu ginjal, penyebabnya terlalu banyak duduk, kurang bergerak, dan kurang minum air putih. Tapi bagaimana ini bisa terjadi?
Kementerian kesehatan Indonesia menyebut penyakit ginjal sebagai salah satu penyakit katastropik. Istilah ini mewakili sifat penyakit yang setara dengan bencana atau malapetaka. "Penyakit yang high cost, high volume, dan high risk yang menyebabkan banyak para penentu kebijakan mengkhawatirkan terjadinya pembengkakan biaya penyakit sehingga penyelenggaraan asuransi kesehatan tidak mencantumkan penyakit tersebut ke dalam paket manfaatnya."
Beberapa tahun terakhir Kemenkes menyebut ada kenaikan serta perubahan pola penyakit katastropik di Indonesia. Penyakit katastropik, merupakan penyakit berbiaya tinggi dan secara komplikasi dapat membahayakan jiwa penderitanya. Jika dulu kebanyakan menyerang orang tua, kini anak muda juga mengalami hal ini.
Galih Hidayatullah adalah pekerja industri periklanan di Jakarta. Tahun lalu Galih mesti dirawat selama beberapa hari di rumah sakit akibat tipes. “Waktu itu ada rekan kerja gua cabut sebulan tanpa kabar, jadi gua harus back up kerjaan yang seharusnya tiga orang,” katanya. Penyakit ini membuatnya mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Saat itu Galih belum memiliki asuransi kesehatan dan hanya diganti biaya pengobatan saja.
Penyakit katastropik memang bukan penyakit yang murah. Mengutip data sebaran kasus dan biaya klaim di Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai dengan triwulan III tahun 2015, kasus sistem saluran kemih berjumlah sebanyak 3.094.915 urutan tertinggi ketiga, namun menghabiskan biaya lebih dari 3 Trilyun rupiah. Kamis (23/2) lalu Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Nila Djuwita F Moeloek mengemukakan penyakit katastropik di Tanah Air telah menghabiskan biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 29,67 persen dari total anggaran, yakni mencapai Rp16,9 triliun.
"Penyakit katastropik ini memang tidak menular dan penyebabnya di antaranya adalah kelebihan gizi. Dan, kelebihan gizi ini berkolerasi dengan penyakit katastropik yang jumlah penderitanya semakin meningkat dari tahun ke tahun," kata Menkes seperti dikutip Antara.
Penyakit katastropik di antaranya adalah penyakit jantung dan kardiovaskular, stroke, kanker, gagal ginjal, dan hipertensi. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah pengidap penyakit hipertensi saja sudah lebih dari seperempat penduduk Indonesia, tepatnya 25,8 persen.
Pembiayaan penyakit katastropik ini memang dibantu oleh pemerintah. Sejak diluncurkan pada Awal Januari 2014, cakupan kepesertaan Bukan Penerima Upah (peserta mandiri) terus bertambah. Sampai dengan 30 September jumlah peserta mandiri tercatat 5,958,000 melonjak tajam dari Januari yang hanya berjumlah 236,627, ini yang membuat beban anggaran kesehatan membengkak.
Berdasarkan data hasil analisis klaim Rumah Sakit, kunjungan rawat inap pasien penyakit katastrofis periode Januari-Juli 2014 yaitu: jantung sebanyak 232.010 pasien, stroke 172.303 pasien, ginjal 138.779 pasien, diabetes 70.584 pasien, kanker 56.033 pasien, thalasemia 53.948 pasien dan hemofilia 12.170 pasien.
Selain kelebihan gizi yang menyebabkan penyakit katastropik kekurangan gizi juga bisa menjadi penyebab. Saat ini sekitar 27,5 persen warga negeri ini masih mengalami kekurangan gizi. Kurang gizi bisa berpengaruh pada anak usia produktif, sehingga tidak maksimal dalam tumbuh kembangnya. Selain itu gaya hidup yang kurang sehat seperti jarang olahraga, makan makanan yang tidak sehat, dan juga kurang istirahat juga bisa memicu penyakit seperti kanker dan penyakit jantung.
Di Indonesia salah satu penyakit katastropik yang mengancam adalah penyakit ginjal, gangguan organ ini biasanya terjadi akibat kerusakan jaringan ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah atau dikenal juga dengan istilah nefropati. Penyakit ini tidak menular namun dapat dicegah.
Penyakit ginjal dijuluki sebagai silent disease karena seringkali tidak menunjukkan tanda-tanda peringatan dan jika tidak terdeteksi, akan memperburuk kondisi penderita dari waktu ke waktu. Saya mengalami sendiri bagaimana batu ginjal menyerang diam-diam dan mengakibatkan tubuh kita nyaris tak bisa melakukan apapun karena nyeri yang luar biasa.
Kemenkes menyebutkan bahwa penyakit ginjal kronis bersifat irreversible, artinya tidak bisa menjadi normal kembali, yang bisa dilakukan hanyalah mempertahankan fungsi ginjal yang ada. Salah satu perawatan bagi penderita gagal ginjal kronis adalah hemodialisis atau lebih dikenal dengan sebutan cuci darah, yang dapat mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan fungsi ginjal secara keseluruhan. Pasien harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya 1-3 kali seminggu) dan ini sangat mahal. Jika beruntung pasien, bisa mendapatkan ginjal baru melalui operasi pencangkokan ginjal untuk berhenti menjalani dialisis.
Mengutip data 7th Report of Indonesian Renal Registry, urutan penyebab gagal ginjal pasien yang mendapatkan hemodialisis berdasarkan data tahun 2014, karena hipertensi (37%), penyakit diabetes mellitus atau Nefropati Diabetika (27%), kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (10%), gangguan penyumbatan saluran kemih atau Nefropati Obstruksi (7%), karena Asam Urat (1%), Penyakit Lupus (1%) dan penyebab lain lain-lain (18%).
Sebagian besar penyebab gagal ginjal disebabkan faktor risiko perilaku yang kurang sehat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukkan data bahwa penduduk Indonesia kurang aktifitas fisik (26,1%); penduduk usia > 15 tahun merupakan perokok aktif (36,3%); penduduk > 10 tahun kurang mengonsumsi buah dan sayur (93%); serta penduduk >10 tahun memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol (4,6%). Belum lagi para pekerja yang tidak memiliki waktu istirahat tidur cukup dan kurang minum air putih.
Adapun penyakit jantung kerap diakibatkan oleh gaya hidup tak sehat. Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan tahun 2013, sebanyak 39 persen penderita jantung di Indonesia berusia 44 tahun ke bawah. Menariknya, 22 persen di antaranya berumur 15-35 tahun, yang merupakan masa fisik produktif dalam kehidupan manusia.
Jumlah penderita jantung tertinggi ada pada kelompok usia 45-65 tahun, dengan persentase 41 persen. Selisih yang tak berbeda jauh antara umur 45 ke bawah dan 45 ke atas jadi penegas bahwa tren risiko penyakit jantung datang pada usia muda semakin meningkat. Mayoritas penderita penyakit jantung koroner disebabkan aliran darah ke jantungnya terhambat oleh lemak. Penimbunan lemak di dalam arteri jantung ini dikenal dengan istilah aterosklerosis dan merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner.
Selain dapat mengurangi suplai darah ke jantung, aterosklerosis juga dapat menyebabkan terbentuknya trombosis atau penggumpalan darah. Jika ini terjadi, aliran darah ke jantung terblokir sepenuhnya dan serangan jantung pun terjadi. Faktor pemicu aterosklerosis meliputi kolesterol yang tinggi, merokok, diabetes, serta tekanan darah tinggi.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga mempunyai risiko terkena penyakit tidak menular (PTM), khususnya penyakit ginjal. Anak-anak memiliki risiko penyakit ginjal bahkan pada usia dini (bayi). Oleh karena itu, penting mendorong deteksi dini dan penerapan pola hidup yang sehat sejak Ibunya mengandung lahir, tumbuh, membesar dan terus berlanjut hingga masa tuanya.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani