tirto.id - Amnesti dan abolisi banyak diperbincangkan di tengah masyarakat. Pasalnya, Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan memberikan abolisi untuk Tom Lembong pada Kamis, 31 Juli 2025. Apakah DPR berhak menolak amnesti dan abolisi dari Presiden?
Amnesti dan abolisi termasuk dalam ranah kekuasaan presiden. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi”.
Tak ayal, pembicaraan tentang amnesti dan abolisi menyeruak di tengah masyarakat. Muncul berbagai pertanyaan di tengah masyarakat tentang amnesti dan abolisi.
Salah satu pertanyaan terkait keputusan presiden ini ialah, “Apakah DPR berhak menolak amesti-abolisi dari presiden?” Simak penjelasan jawabannya di artikel ini.
Pengertian Amnesti dan Abolisi

Amnesti dan abolisi termasuk dalam ranah kekuasaan presiden. Asal kata amnesti berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang berarti melupakan (amnestia comes from the Greek word amnestia, meaning forgetfulness or oblivion).
Menurut konsepnya, pemberian amnesti dilaksanakan sebagai upaya untuk menghapuskan pidana yang telah dilakukan. Amnesti diberikan sebagai upaya melepaskan pertanggungjawaban pidana seseorang (baik sebelum diadili atau pada saat menjalani pemidanaan).
Berdasarkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi (2022) yang diterbitkan BPHN Kemenkumham RI, pemberian amnesti dilaksanakan berdasarkan kasih (memaafkan mereka yang sudah menjalani hukuman atas kejahatan yang dilakukan) dan politik (untuk mengakhiri suatu perang atau pemberontakan).
Lalu yuridis (untuk merehabilitasi terpidana yang ternyata tidak bersalah) dan bahan seremonial (dalam rangka peringatan hari kebangsaan).
Keputusan amnesti diberikan kepada individu atau kelompok yang sudah divonis dan dijatuhi hukuman, terutama dalam kasus bermuatan politik atau sosial. Pengampunan dari presiden ini sifatnya kolektif dan dapat menghapus seluruh akibat hukum dari tindak pidana tersebut.
Sementara itu, abolisi lebih bersifat individual dan ditujukan untuk menghentikan proses hukum seseorang, tanpa menghilangkan fakta bahwa perbuatannya melanggar hukum. Status hukum atas perbuatan yang dilakukan tidak dihilangkan sehingga tindak pidana tersebut tetap diakui secara hukum.
Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

Kekuasaan presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi tertuang pada Pasal 14 UUD 1945. Presiden memiliki kuasa untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan lembaga lain.
Adapun yang dimaksud lembaga lain, yakni DPR untuk amnesti dan abolisi dan Mahkamah Agung untuk grasi dan rehabilitasi. Kekuasaan tersebut dijalankan dengan pengaturan lebih lanjut yang perlu menjadi pedoman dalam pelaksanaannya.
Pasal 14 UUD 1945 menyatakan kekuasan presiden yang diberikan konstitusi bersifat prerogatif untuk memberi grasi, amnesti, dan abolisi. Bunyi Pasal 14 UUD 1945 adalah:
1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Pengaturan dalam pasal tersebut memberi penegasan bahwa kekuasaan presiden dalam pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dilaksanakan dengan memperhatikan lembaga lain.
Pengaturan pelaksanaan kekuasaan presiden dalam memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi harus didasarkan pada tujuan memberi kepastian hukum dan menjaga keadilan di tengah masyarakat.
Apakah DPR Berhak Menolak Amnesti-Abolisi dari Presiden?
Berdasarkan Pasal 14 UUD 1945, pemberian amnesti dan abolisi dari presiden wajib melibatkan Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR). Presiden perlu memperhatikan pertimbangan DPR karena amnesti terkait dengan masalah politik, kemanusiaan, dan sosial.
Dalam pemberian abolisi kepada Tom Lembong atas kasus pidana korupsi impor gula, pemerintah bersama DPR RI sudah melaksanakan rapat konsultasi pada Kamis, 31 Juli 2025. Hasil rapat ini kemudian mengumumkan pemberian abolisi untuk Tom Lembong.
“Kami telah mengadakan rapat konsultasi dan hasil rapat konsultasi tersebut DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan,” jelas Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad setelah rapat konsultasi di Gedung DPR RI.
Jika berdasarkan penjelasan Dasco, rapat konsultasi dan persetujuan DPR RI diawali dengan Surat Presiden tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.
Putusan kasus pidana Tom Lembong sendiri baru saja diumumkan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN/Jkt.Pst.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menetapkan hukuman pidana kepada Tom Lembang dengan pidana penjara 4 tahun 6 bulan dan denda. Perjalanan hukum kepada Tom Lembong kemudian disusul dengan kabar terbaru terkait abolisi yang diberikan presiden.
Usai merumuskan dan mempertimbangkan, DPR memutuskan untuk menyetujui usulan abolisi kepada Tom Lembong. Melihat proses pemberian amnesti dan abolisi dari presiden ini, maka dapat dipahami bahwa DPR punya peran penting untuk mempertimbangkan permintaan abolisi dari presiden.
Pertimbangan DPR dapat berarti menyetujui atau menolak amnesti dan abolisi dari presiden. Dalam permintaan abolisi oleh presiden kepada Tom Lembong, DPR memberikan persetujuan. Nantinya persetujuan tersebut akan diterbitkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) terkait keputusan tersebut.
Dengan demikian, DPR memiliki hak untuk menolak permintaan amnesti dan abolisi Presiden. Kendati demikian, proses pertimbangan ini tidak berlangsung singkat. Pastinya hasil akhir pertimbangan DPR dilakukan setelah melalui koordinasi, rapat, dan diskusi.
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Beni Jo
Masuk tirto.id







































