Menuju konten utama

Apakah Ada Amalan Rabu Wekasan Menurut Islam?

Rebo Wekasan merupakan tradisi dari daerah Jawa, yang bertujuan menolak bala pada bulan Safar. Lantas, apakah ada amalan Rebo Pungkasan menurut Islam?

Apakah Ada Amalan Rabu Wekasan Menurut Islam?
Penari Gandrung menari di atas kapal mengiringi sesaji saat ritual Petik Laut Rebo Wekasan di Pantai Waru Doyong, Banyuwangi, Rabu (15/11/2017). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

tirto.id - Di sebagian wilayah Jawa, terdapat tradisi Rebo Wekasan yang dilaksanakan pada bulan Safar menurut kalender Kamariah. Rebo Pungkasan ini dilaksanakan tepat pada Rabu pekan terakhir Safar.

Sejarah Rebo Wekasan bermula dari mitos tentang pertemuan Sultan Agung dan Kanjeng Ratu Kidul yang dikenal sebagai penguasa pantai selatan di muara, tempat bertemunya dua sungai, yakni Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak.

Rebo Wekasan awalnya dilakukan dengan upacara khusus, disertai persembahan makanan tradisional, dengan tujuan menolak bala.

Ritual penolak bala ini dilakukan karena dikhawatirkan terjadi kesialan pada Safar. Sebagian masyarakat Jawa masih memercayai dan melakukan tradisi ini saban tahun. Arak-arakan gunungan lemper dan makanan lain pada Rabu Wekasan juga masih dilakukan hingga saat ini.

Misalnya, di Dayeuhluhur, Cilacap, dilakukan tradisi Sedekah Ketupat. Upacara Rebo Pungkasan juga dilakukan di Wonokromo, Pleret, Bantul.

Jenis makanan yang dibuat untuk gunungan tersebut cukup beragam, mulai dari ketupat, apem, hingga nasi tumpang. Makanan tersebut dipersembahkan kepada sesuatu yang dianggap bisa melindunginya dari kesialan.

Apakah Rebo Wekasan dalam Islam Itu Ada?

Islam tidak mengenal hari baik dan buruk. Dalam Islam, semua hari bersifat baik. Kalaupun sedang mengalami musibah, itu adalah bentuk ujian dari Allah. Setiap muslim akan diberikan ujian untuk menguji keimanan, tetapi sudah pasti kadarnya tidak melebihi kemampuan seorang hamba.

Tradisi Rebo Wekasan berasal dari daerah Jawa. Namun, anggapan bahwa Safar merupakan bulan sial sudah ada pula di tanah Arab pada zaman jahiliyah. Penduduk setempat memaknai Safar sebagai penyakit dalam perut dengan bentuk menyerupai ulat besar dan mematikan. Oleh karena itu, setiap datangnya Safar dianggap memiliki kesialan.

Persepsi kesialan ini merupakan bentuk khurafat atau mitos. H.A Zahri, dalam Pokok-Pokok Akidah yang Benar (2019), menjelaskan bahwa khurafat adalah cerita bohong atau khayalan belaka. Mempercayai khurafat merupakan sikap lemahnya iman kepada Allah.

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah menyampaikan dakwahnya mengenai Rebo Wekasan pada Safar. Hadis tentang Rebo Pungkasan terdapat dalam sejumlah riwayat, termasuk dari Tirmidzi dan Bukhari.

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu dikatakan, "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri lalu bersabda, ‘Sesuatu tidak dapat menular kepada sesuatu yang lain.’ Lantas, berkatalah seorang Arab Badui, ‘Wahai Rasulullah, terkadang unta yang berkudis lalu dimasukkan dalam kandangnya kemudian menjalar ke seluruh unta?’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab, ‘Lalu siapakah yang menjadikan unta pertama kudis? Tidak ada penyakit menular [dengan sendirinya], tidak ada kesialan di bulan Safar, Allah telah menciptakan setiap yang bernyawa dan telah mencatat hidupnya, rezekinya, dan musibah-musibahnya.’” (HR Tirmidzi dalam Sunan no. 2143, hadis ini dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir 2/1278)

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dikatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada penyakit yang menular [dengan sendirinya], tidak ada kesialan pada bulan Safar, dan tidak ada kesialan karena burung hamah.’ Maka seorang Arab Badui bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Lalu mengapa terkadang sekelompok unta yang sehat di padang pasir, lalu datang seekor unta yang kudisan kemudian unta yang sehat itu kudisan pula semuanya?’ Jawab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Lalu siapakah menularkan kepada yang pertama?’ Di riwayat yang lain bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ’Tidak ada penyakit menular [dengan sendirinya], tidak ada thiyarah [menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal], tidak ada kesialan karena burung hamah, tidak ada kesialan pada bulan Safar...,” (HR Bukhari dalam Shahih-nya no. 5770 dan Muslim di Shahih-nya no. 2220)

Keterangan dari Nabi Muhammad tersebut menjadi petunjuk jelas bagi setiap muslim untuk tidak mempercayai kesialan sebagai sebuah takdir. Tidak ada pula penentuan hari khusus di Safar yang bisa membuat banyak orang mengalami kesialan.

Adakah Amalan Khusus di Rebo Wekasan?

Tujuan Rebo Wekasan adalah menolak bala yang akan datang pada Safar. Tradisi selamatan hingga gunungan yang ditujukan secara khusus untuk memperingati Rebo Wekasan bukanlah ajaran yang berasal dari Islam. Para ulama pun menyerukan penolakannya terhadap keyakinan adanya bulan atau hari sial seperti Rebo Pungkasan.

Rabu Wekasan menurut Islam, dikutip dari artikel NU Online bertajuk "Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan", tidak memiliki dasar. Penetapan Rabu terakhir pada Safar sebagai Rebo Wekasan juga tidak tidak ada juntrungan dalil atau hadis yang sahih.

Rebo Wekasan juga tidak dituntunkan oleh syara' sebagai bagian dari ibadah. Syara' adalah nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah. Oleh karena itu, ibadah yang tidak ada tuntunannya secara otomatis tertolak, sebagaimana hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Sementara itu, menurut pandangan sebagian ulama NU, ibadah yang boleh dilakukan karena memiliki landasan syara' yaitu salat hajatlidaf’il bala’ al-makhuf untuk menolak bala yang dikhawatirkan, atau nafilah mutlaqah sebagai salat sunah mutlak.

Islam juga menganjurkan umatnya untuk senantiasa meminta pertolongan pada Allah dalam segala urusan, termasuk dihindarkan dari keburukan. Contoh doa yang bisa diamalkan adalah:

1. Doa agar tidak datang musibah dan nikmat tidak hilang

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوالِ نِعْمَتِكَ، وتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ، وفُجَاءةِ نِقْمَتِكَ ، وَجَميْعِ سَخَطِكَ

"Alloohumma innii a’uudzu bika min zawaali ni’matik, wa tahawwuli ‘aafiyatik, wa fujaa’ati niqmatik, wa jamii’i sakhothik"

Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim no. 2739)

2. Doa menghindari keburukan dunia dan akhirat

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ البَلاَءِ ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ ، وَسُوءِ القَضَاءِ ، وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاء

“Alloohumma inni a’udzu bika min jahdil balaa-i, wa darokisy syaqoo-i, wa suu-il qodhoo-i, wa syamaatatil a’daai”

Artinya: "Ya Allah aku meminta perlindungan kepada-Mu dari beratnya cobaan, kesengsaraan yang hebat, takdir yang jelek, dan kegembiraan musuh atas kekalahan.”

3. Doa saat tertimpa musibah

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا

“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa."

Artinya: "Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik." (HR. Muslim no. 918)

4. Doa agar dilindungi Allah terkait kematian

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَرَقِ وَالْحَرِيقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

"Alloohumma innii a’uudzu bika minat taroddi wal hadmi wal ghoroqi wal hariiqi, wa a’uudzu bika an-yatakhobbathonisy syaithoonu ‘indal mauti, wa a’udzu bika an amuuta fii sabiilika mudbiron, wa a’udzu bika an amuuta ladiigho."

Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebinasaan (terjatuh), kehancuran (tertimpa sesuatu), tenggelam, kebakaran, dan aku berlindung kepada-Mu dari dirasuki setan pada saat mati, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan berpaling dari jalan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan tersengat." (HR. An-Nasa’i, no. 5531)

Baca juga artikel terkait URGENT atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fadli Nasrudin