Menuju konten utama
Edusains

Anime dan Manga di Indonesia: Dampak Sosial dan Psikologis

Para wibu yang senang pada manga dan anime kerap dicap sebagai anti sosial dan bau bawang. Padahal kegemarannya itu punya nilai positif dan berdaya sosial.

Anime dan Manga di Indonesia: Dampak Sosial dan Psikologis
Anime Tokyo Ghoul. FOTO/IMDb

tirto.id - Anime dan manga adalah produk budaya modern dari Jepang yang sangat populer dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejumlah tokoh dari anime, seperti Luffy, Doraemon, dan Naruto, sering muncul pada pakaian, tas, alat tulis, kotak makan, mug, stiker, dll. Mereka bahkan dikenal oleh orang-orang yang tidak menyukai manga atau anime sekalipun.

Tak hanya anak-anak dan remaja, menikmati anime dan manga juga umum dilakukan oleh orang dewasa. Keduanya bukan lagi sebatas hiburan di hari libur atau sarana refreshing pengisi waktu luang, tapi kini juga bisa menjadi obrolan serius, akademis, bahkan berdampak ke dunia sosial politik.

Ini seperti yang kiwari terjadi di Indonesia, yaitu kontroversi pengibaran bendera One Piece. Manga karya Eiichiro Oda yang dianggap relate dengan kondisi Indonesia ini membuat pengibaran bendera One Piece menjadi salah satu cara pecinta manga dan anime, bahkan masyarakat luas untuk mengekspresikan keresahan dan kritik. Hal ini mendapat respons beragam dari para pejabat pemerintah.

Pengaruh manga dan anime yang begitu besar tentunya tidak terbentuk dari ruang hampa. Ada sejarah panjang yang membentuk fenomena-fenomena baru tentang keduanya di Indonesia, baik dianggap positif ataupun negatif.

Sejarah Singkat Anime dan Manga di Indonesia

Indonesia merupakan negara pengonsumsi anime dan manga dengan rentang sejarah yang cukup panjang. Sejak akhir tahun 1970-an, TVRI sudah memutar Wanpaku Omukashi Kum Kum. Menurut Avianita Damayanti dalam skripsinya yang berjudul “Perspektif Generasi X sebagai Penikmat Awal Anime di Indonesia” (2020) Anime 26 episode karya Yosikazhu Yasuhiko ini menjadi anime pertama yang diputar di Indonesia. Lalu disusul Beast King Golion (1987), Voltus 5 (1986), The Three Musketeers/Anime Sanjuushi (1987).

Setelah kehadiran anime, manga menyusul. Menurut Aufa Salsabila Anwar dkk. dalam Strategi Diplomasi BudayaJepang Terhadap Indonesia Melalui Anime dan Manga Pada Tahun 2018-2021 (2023), penerbitan manga di Indonesia dipelopori oleh Elex Media Komputindo dengan menerbitkan Candy Candy (Kyoko Mizuki & Yumiko Igarashi). Penerbitan Candy Candy merupakan saran Jakob Oetama (pendiri Kompas) setelah kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1980-an.

Memasuki era 1990’an pasar anime dan manga di Indonesia kian semarak seiring semakin banyaknya masyarakat yang memiliki televisi dan bermunculannya stasiun televisi swasta. Di sisi lain, semakin banyaknya toko buku dan taman bacaan juga menunjang semangat khalayak untuk bisa membeli, meminjam, dan membaca manga.

Setelah Candy Candy sukses, Elex Media Komputindo melanjutkan dengan menerbitkan Doraeman (Fujiko F. Fujio), Kung-Fu Boy (Takesi Maekawa), dan Dragon Ball (Akira Toriyama). Selain populer di kalangan pembaca, ketiga judul manga tersebut juga kemudian tayang animenya di televisi swasta.

Doraemon tayang di RCTI setiap hari Minggu pagi, Dragon Ball di Indosiar tiap Sabtu Sore, dan Kung-Fu Boy di TPI setiap Minggu Siang. Versi anime Candy Candy juga akhirnya diputar di RCTI mulai tahun 1994.

Munculnya beberapa stasiun televisi swasta tidak membuat televisi nasional berhenti menyiarkan anime. Pada awal 1990-an, TVRI menyiarkan tiga anime yang cukup legendaris yaitu Dash! Yonkuro (Zaurus Tokuda), Karaasu Tengu Kabuto (Buichi Terasawa), dan Saint Seiya (Masami Kurumada). Dua judul terakhir bercerita tentang ksatria dan pertarungan. Sedangkan judul pertama adalah kompetisi balap Tamiya, mobil mini 4WD dari Jepang. Serial ini juga yang membuat mainan Tamiya menjadi populer di Indonesia.

Anime Chainsaw Man

Anime Chainsaw Man. (FOTO/chainsawman.dog)

RCTI, SCTV, Indosiar, dan TPI menjadi stasiun televisi kesayangan anak-anak Indonesia era 1990-an banyak menyiarkan anime di setiap hari libur. Di antaranya Sailor Moon, Sulato, Ikkyu San, Minky Momo, Patlabor, Ranma ½, Wedding Peach, P Man, Astro Boy, Time Quest, Captain Tsubasa, Ninja Rantaro, dan Macross.

Beranjak ke era 2000-an, tayangan anime semakin semarak. Trans TV menayangkan Love Hina, Trigun, Fruit Basket, Flame of Recca, Cyborg Kurochan, Ninku, Evangelion, dan Star Ocean EX. Sementara TV 7 menayangkan judul-judul anime yang namanya sudah besar di dunia manga seperti Yu yu Hakuso, Hunter x Hunter, Clamp Detective School, Tiny Snow Fairy Sugar, dan Slam Dunk. Lativi juga memikat penikmat anime melalui serial Kiramekiman, Casshern, Time Bokan, Creamy Mami, dan Jeanie with The Light Brown Hair.

Sementara stasiun televisi swasta lainnya seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar tetap memanjakan penontonnya di hari libur dengan judul-judul baru seperti Samurai X, Inuyasha, Ninja Hattori, B’T X, Detektif Conan, Pokemon, Digimon, Dr. Slump, Makibao, Tensai Bakabon, Kobo-chan, Chibi Maruko-chan, Crayon Shinchan, dan Hamtaro sembari tetap menayangkan anime andalannya seperti Doraemon.

Pada era ini muncul Spacetoon, saluran televisi anak yang khusus menayangkan acara kartun. Pada channel ini muncul sejumlah anime baru seperti Tokyo Mew Mew, Kamichama Karin, Kaleido Star, Yu-Gi-Oh!, Digi Charat Nyo!, Muteking the Dashing Warrior, Monchichi, Ashita no Joe, Jakenman, Daigunder, dan Princess Tutu.

Pada tahun 2000-an ini juga menandai penayangan anime Big Three Shonen (tiga seri manga populer yang berasal dari majalah Weekly Shonen Jump) di Global TV dan RCTI. Tiga judul itu adalah Naruto (Masashi Kishimoto), Bleach (Tite Kubo), dan One Piece (Eiichiro Oda).

Tahun-tahun berikutnya, saat akses internet semakin mudah, kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi anime dan manga pun ikut berubah. Mereka tak lagi membaca manga hanya dalam bentuk fisik ataupun menunggu anime kesayangannya diputar oleh saluran televisi. Masyarakat mulai bergeser ke media online.

Stigma dan Prasangka

Intensitas dalam mengonsumsi anime dan manga juga beragam. Ada yang hanya menonton dan membaca tanpa ada keinginan untuk mengikuti tiap episode secara runtut hingga akhir. Namun ada juga yang mengikuti dan membahasnya hingga detail, serta mengaitkan cerita dengan fenomena yang terjadi dalam keseharian. Sampai ada istilah peyoratif bagi orang atau komunitas yang terlalu mendalami anime dan manga yaitu “wibu”.

Wibu sebetulnya bermakna lebih luas, yakni “orang yang terobsesi dengan budaya dan gaya hidup orang Jepang”—tentu termasuk anime dan manga di dalamnya. Kecintaan para wibu terhadap anime dan manga melebihi rata-rata sehingga memunculkan ekspresi, fesyen, dan perilaku yang berbeda dari masyarakat kebanyakan.

Kegemaran mereka terhadap budaya Jepang seperti manga dan anime diwujudkan tak hanya dengan membaca dan menonton, tapi juga mengoleksi pernak-perniknya. Mulai dari poster, action figure, stiker, pin, cinderamata, hingga pakaian. Tak hanya itu, beberapa dari mereka juga mencoba “menghidupkan” tokoh anime idolanya ke dalam dunia nyata melalui cosplay.

Kesukaan para wibu terhadap anime dan manga juga ditunjukkan di media sosial. Banyak dari mereka yang menggunakan wajah tokoh idolanya sebagai gambar profil dan memodifikasi nama akun sehingga menjadi ada feel Jepangnya.

Mereka sering menggunakan istilah-istilah Jepang dalam berkomunikasi dan mengekspresikan dirinya di dunia maya. Juga sering berkumpul dalam forum-forum diskusi sesama pecinta jejepangan atau dalam fandom-fandom anime.

Fanatisme para wibu terhadap anime, manga, dan budaya Jepang yang dianggap berlebihan itu membuat banyak persepsi miring. Tak jarang mereka dicap sebagai orang yang anti sosial, tidak cinta budaya sendiri, dan bau bawang. Mereka dianggap terlalu mendewa-dewakan Jepang dan tidak kritis dalam mengonsumsi budaya dari luar. Lain itu, tak sedikit yang menilai mereka kurang dewasa karena belum selesai dengan dunia anak-anak.

Namun, seiring waktu, persepsi negatif itu terus berkurang. Para pencinta manga dan anime perlahan mulai masuk ke dalam gerakan-gerakan sosial yang terjadi di sekitarnya. Mulai dari penggalangan dana untuk makan gratis di era pandemi, kampanye kepedulian terhadap ekosistem alami dan kelestarian lingkungan bumi, hingga ikut aksi demonstrasi Peringatan Darurat Indonesia. Mereka ingin membuktikan bahwa kecintaannya terhadap anime, manga, dan kultur Jepang tidak membuat mereka terasing secara sosial dan anti politik.

Manga One Piece

Manga One Piece. foto/https://mangaplus.shueisha.co.jp/viewer/1008832

Manfaat Membaca Manga dan Menonton Anime

Terlepas dari beberapa dampak negatif yang belum tentu kebenarannya, membaca manga dan menonton anime ternyata membawa beberapa dampak positif. Salah satunya adalah memaksimalkan kecerdasan emosional.

Dalam bukunya Emotional Intelligence (2024), Daniel Goleman menjelaskan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola perasaan diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosional juga berkaitan dengan bagaimana memotivasi diri dan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dalam risetnya yang berjudul “Hubungan Antara Minat terhadap Komik Jepang (Manga) dengan Kemampuan Rekognisi Emosi Melalui Ekspresi Wajah” (2007), Nian Astiningrum dan Johana Endang Prawitasari menjelaskan bagaimana aktivitas membaca manga berkorelasi positif dengan salah satu aspek kecerdasan emosional, yaitu kemampuan dalam membaca emosi dari ekspresi wajah.

Kemampuan memahami ekspresi wajah sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan keterampilan yang membuat seseorang mudah berinteraksi sosial, baik dengan orang yang sudah dikenal ataupun orang-orang baru.

Pembaca manga akan terbiasa dengan pola rekognisi emosi melalui pembacaan pola wajah yang ditampilkan pada tiap-tiap panel manga. Selain narasi cerita, kreator manga juga menunjukkan situasi emosi tokoh dari raut wajahnya. Maka itu, pembaca bisa tahu bahwa itu ekspresi marah, sedih, takut, senang, jijik, atau kaget lewat ekspresi wajah tokoh manga walau tanpa keterangan tambahan.

Semakin sering membaca manga, maka eksposur terhadap berbagai ekspresi wajah juga akan semakin kerap. Hal itu membuat otak lebih peka terhadap pola dan perubahan ekspresi yang menggambarkan berbagai emosi tokoh-tokoh yang berada di dalamnya.

Ia sesuai dengan apa yang diajarkan seorang pakar psikologi emosi, Paul Ekman, dalam bukunya Membaca Emosi Orang (2008), bahwa jalan satu-satunya untuk bisa menebak dengan akurat emosi yang tergambar dari wajah adalah dengan berlatih menebak pola-pola ekspresi sesering mungkin.

Keunggulan belajar mengenal emosi melalui manga adalah pembaca tidak merasa bahwa dirinya berlatih membaca ekspresi emosi. Jika menggunakan metode latiha Paul Ekman yang menggunakan foto-foto wajah manusia asli tanpa ada konteks dan cerita, mungkin akan membosankan.

Dengan ciri estetikanya yang khas dan kaya, manga telah menyediakan berbagai macam ekspresi wajah yang menggambarkan emosi dasar ataupun beragam perasaan yang lebih spesifik.

Selain itu, lewat manga, pembaca bisa melihat lebih lama pola ekspresi pada wajah dalam satu panel komik. Dan jika belum paham bisa terus diulang. Sesuatu yang sangat sulit jika dilakukan pada wajah asli manusia dalam kehidupan nyata yang sangat cepat dan mudah berubah, bahkan dalam hitungan sepersekian detik.

Masih menurut Astiningrum dan Prawitasari (2007), pemahaman emosional non verbal seperti membaca mimik wajah, lebih bisa mengungkapkan emosi yang lebih jelas dibandingkan ungkapan emosi verbal yang sering disensor, dipermak, atau bahkan ditutup-tutupi oleh pengucapnya untuk memperoleh kesan tertentu. Sementara ekspresi mimik wajah cenderung lebih jujur, konsisten, dan sulit dimanipulasi.

Korelasi positif antara mengonsumsi manga dan kecerdasan emosi diperkuat oleh riset-riset psikologi yang lebih baru. Takashi Shimazaki dkk. dalam laporan risetnya yang berjudul “Emotional experiences of reading health educational manga encouraging behavioral changes: a non-randomized controlled trial” (2021) membuktikan efektivitas manga dalam memberikan pengalaman emosional positif bagi para pembacanya.

Dalam riset yang melibatkan 1680 orang dari rentang usia 20 sampai 69 tahun tersebut, peneliti membuktikan bahwa orang yang membaca manga mempunyai pengalaman dan hasil emosi yang lebih bagus daripada tidak membaca manga.

Namun, apapun itu jika berlebihan akan membawa dampak yang negatif. Seperti dijelaskan André Hajek dan Hans‑Helmut König dalam penelitiannya berjudul "Interest in anime and manga: relationship with (mental) health, social disconnectedness, social joy and subjective well‑being" (2024), ada resiko dampak buruk terhadap mental dan keterputusan sosial apabila terlalu menikmati anime atau manga secara berlebihan.

Namun dalam penelitian tersebut Hajeg dan König juga menemukan fakta bahwa minat yang tinggi terhadap anime berdampak positif terhadap subjective well-being, yaitu aspek psikologis yang terkait dengan persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya. Sedangkan minat tinggi terhadap manga berhubungan positif dengan kebahagiaan.

Terlepas dari pro dan kontra, pembaca manga dan penonton anime telah menjadi bagian dari budaya populer kita. Sejarah telah membuktikan bahwa anime dan manga bukan sekadar budaya populer biasa. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita pelajari di dalamnya.

Baca juga artikel terkait MANGA atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Edusains
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Irfan Teguh Pribadi