Menuju konten utama
Byte

Sekali Netflix Mendayung, Dua Tiga Bisnis Terlampaui

Setelah ogah-ogahan selama beberapa tahun terakhir, Netflix mulai menunjukkan ketertarikan pada bisnis streaming olahraga. Lalu, apa daya tawar mereka?

Sekali Netflix Mendayung, Dua Tiga Bisnis Terlampaui
Ilustrasi Pasangan muda menikmati berbagai program seperti olahraga, musik, dan film di TV. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Netflix menutup 2024 dengan sebuah gebrakan. Untuk pertama kalinya, mereka menayangkan dua pertandingan kompetisi olahraga resmi, yakni NFL Christmas Day. Laga perdana, Kansas City Chiefs vs Pittsburgh Steelers, ditayangkan pada Kamis, 26 Desember 2024, pukul 01:00 WIB, lalu disusul pertandingan antara Baltimore Ravens dan Houston Texans pada pukul 04:30 WIB.

Langkah tersebut bisa dibilang sukses besar. Kedua pertandingan itu, menurut laporan Associated Press, disaksikan lebih dari 30 juta orang di seluruh dunia, memecahkan rekor penonton siaran langsung olahraga di Amerika Serikat. Sejak itu, Netflix memegang hak siar pertandingan NFL Christmas Day secara eksklusif selama tiga tahun berikutnya.

Manuver Netflix pun tidak berhenti sampai di situ. Mulai 7 Januari 2025 waktu Indonesia, mereka bakal menayangkan semua program milik World Wrestling Entertainment (WWE), mulai dari program televisi seperti Monday Night RAW, SmackDown, dan NXT, hingga Premium Live Event seperti Royal Rumble, SummerSlam, Survivor Series, dan tentunya WrestleMania. Perjanjian Netflix dengan WWE ini berlaku selama 10 tahun dengan nilai kontrak mencapai 5 miliar dolar AS (sekitar Rp81 triliun).

Bagi Netflix, ekspansi ke siaran langsung olahraga memang sebuah langkah baru. Sebelumnya, mereka memang sudah beberapa kali bersentuhan dengan produk-produk berbau olahraga, seperti serial dokumenter Formula 1: Drive to Survive dan The Last Dance. Namun, baru kali ini mereka betul-betul menjadi broadcaster siaran langsung kompetisi olahraga resmi.

Lantas, bagaimana sebenarnya signifikansi dari gebrakan Netflix ini?

Evolusi Siaran Langsung Olahraga

Ketika bicara soal siaran langsung olahraga, kita juga harus membahas teknologi termutakhir yang ada pada suatu zaman.

Kompetisi olahraga profesional yang kita kenal saat ini umumnya bermula pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Saat kompetisi-kompetisi tersebut baru dimulai, siaran langsung memang belum ada. Mereka yang tidak menonton langsung di stadion hanya bisa mengetahui hasil laga dari cerita orang lain atau surat kabar.

Di saat yang hampir bersamaan, teknologi radio mulai dikembangkan. Puncaknya, pada 1920, siaran radio pertama berhasil dipancarkan. Sejak itulah siaran langsung olahraga mulai dinikmati. Memang, siaran langsung dari radio membutuhkan imajinasi lebih besar karena keluarannya hanya berupa audio. Akan tetapi, para pendengar bisa langsung mengetahui kondisi pertandingan.

Dari radio, evolusi siaran olahraga beranjak lebih maju seiring dimulainya tayangan televisi pada dekade 1940-an. Pemirsa tidak cuma bisa mendengar, tetapi juga sungguh-sungguh menyaksikan hal yang sedang terjadi di stadion. Teknologi ini pun terus berkembang sampai akhirnya pada dekade 1950-an tayangan langsung olahraga bisa dinikmati di televisi berwarna, meskipun jumlah pesawatnya kala itu masih amat terbatas.

Seiring berjalannya waktu, televisi pun terus berevolusi. Dari yang awalnya cuma bisa dinikmati dengan antena, pada dekade 1970-an, teknologi TV kabel makin marak digunakan. Popularitas TV kabel lantas melahirkan kanal khusus yang didedikasikan untuk tayangan olahraga, yaitu ESPN. Kehadiran jaringan televisi asal AS tersebut juga memicu lahirnya bundel atau paket TV kabel yang menawarkan beragam akses berbeda kepada konsumen.

Televisi bisa dibilang cukup lama mengalami masa keemasan sebagai penyiar acara olahraga. Sampai akhirnya tibalah era digital ketika internet mendisrupsi segalanya. Sejak peralihan milenium, tayangan langsung daring mulai menjadi alternatif para penikmat olahraga. Itu pula yang kemudian menjadi tulang punggung siaran olahraga era kiwari melalui berbagai gawai dan pelantar, juga seiring makin cepatnya koneksi internet.

Di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat, streaming bahkan sudah berhasil menyalip popularitas TV kabel sejak 2022 lalu. Fenomena ini tidak cuma berlaku untuk siaran olahraga. Sedikit banyak, apa yang terjadi di AS menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi yang nyata. Streaming adalah masa kini sekaligus masa siaran televisi, termasuk tayangan langsung olahraga.

Ilustrasi E-sport game streaming

Ilustrasi E-sport game streaming. FOTO/iStockphoto

Menjamurnya Layanan Streaming Olahraga

Medio dekade 2010-an menjadi titik mula ketika siaran olahraga via televisi berangsur bermigrasi ke pelantar siaran langsung daring. Sejak 2017, Amazon Prime resmi mengakuisisi hak siar NFL Thursday Night Football dan, pada 2023, mereka sukses menarik 13 juta penonton untuk setiap laganya. Kesuksesan tersebut membuat Amazon melakukan ekspansi dengan membeli hak siar pertandingan kriket internasional serta Premier League.

ESPN, salah satu perintis sekaligus jagoan TV kabel, pun akhirnya beralih ke layanan streaming melalui ESPN+ yang diluncurkan pada 2018. Di situ penonton bisa menyaksikan pertandingan-pertandingan NHL (National Hockey League), rugbi, dan sauk bola (lacrosse). Pertarungan-pertarungan UFC pun bisa dinikmati di platform tersebut. Dari sana, ESPN+ berhasil menggamit lebih dari 25 juta pelanggan. Untuk acara khusus, seperti pay-per-view UFC, mereka juga sanggup menarik ratusan ribu pembeli.

Di Indonesia, kemunculan platform streaming, seperti Mola TV dan Vidio, juga menjadi penanda peralihan medium tayangan olahraga. Mola TV awalnya menjadi penyedia siaran Premier League. Lalu, mereka erangsur mengambil hak siar liga-liga lain, seperti Serie B Italia, Eredivisie Belanda, Bundesliga Jerman, serta Jupiler League Belgia. Bahkan, UFC pun bisa ditonton melalui platform milik Djarum tersebut.

Vidio, pelantar milik Emtek, bahkan lebih menggila lagi. Nyaris semua kompetisi olahraga populer kini bisa ditonton di sana, mulai dari Premier League, Liga 1, Serie A, La Liga, Ligue 1, NBA, MotoGP, sampai Formula 1. Per September 2024 lalu, pelanggan Vidio tercatat ada di angka 4,3 juta orang.

Keberhasilan platform-platform streaming tidak bisa dipisahkan dari faktor keterjangkauan akses internet, khususnya di Indonesia, meskipun masih jauh dari kata sempurna. Selain itu, platform-platform tersebut bisa dinikmati di ponsel pintar. Bahkan, Vidio menyediakan paket khusus HP yang lebih ekonomis. Artinya, dengan ekosistem yang mendukung, pelantar-pelantar seperti ini telah sukses menjadi penguasa baru tayangan olahraga.

Apa yang Berbeda dari Pendekatan Netflix?

Kendati sudah banyak pelantar siaran langsung yang menikmati kesuksesan dengan menayangkan pertandingan olahraga, platform streaming terbesar di dunia, Netflix, justru terkesan ogah-ogahan terjun ke dunia ini. Selama bertahun-tahun mereka menghindari siaran langsung olahraga dengan alasan harga yang mahal dan negosiasi yang kompleks.

Pertimbangan Netflix memang tidak salah karena hak siar kompetisi olahraga memang sangat mahal. Untuk menayangkan Premier League di Indonesia selama semusim, misalnya, Vidio mesti membayar sampai 40 juta dolar AS. Belum lagi kompetisi yang lebih liberal seperti La Liga, yang membiarkan klub-klub pesertanya melakukan negosiasi mandiri untuk hak siar televisi.

Sebagai gantinya, Netflix fokus pada dokumenter yang pada akhirnya sukses besar. Bahkan, dokumenter Drive to Survive menjadi alasan utama Formula 1 mengalami resurgensi popularitas, terutama di Amerika Serikat. Kini, Netflix sepertinya sudah menemukan sesuatu yang bakal membuat tayangan olahraga mereka berbeda dengan yang lain.

Netflix NFL Christmas Gameday

Netflix NFL Christmas Gameday Reaches 65 Million US Viewers. FOTO/about.netflix.com/

Selama kurang lebih setahun terakhir, ada tiga agenda olahraga yang disiarkan oleh Netflix secara langsung, yaitu The Netflix Cup (kompetisi golf antara pegolf profesional dan pembalap Formula 1), pertarungan tinju Jake Paul vs Mike Tyson, dan laga NFL Christmas Day. Sepintas, semuanya terlihat random, tetapi sebenarnya ada benang merah di antara ketiganya: sama-sama mengandung unsur hiburan.

The Netflix Cup jelas bukan turnamen golf serius. Paul vs Tyson merupakan laga tinju selebritas yang jauh dari kata kompetitif. Bahkan, pertandingan antara Ravens dan Texans di NFL terselip konser mini Beyonce Knowles yang dihelat pada jeda antarbabak. Ini semua—ditambah dengan komitmen Netflix yang telah menggandeng WWE—menunjukkan bahwa fokus utama Netflix adalah olahraga hiburan alias sports entertainment.

Pendekatan ini secara strategis akan sangat menguntungkan Netflix. Mereka tidak cuma bisa menggaet fans garis keras, misalnya para fans NFL, tetapi juga para penonton kasual. Dengan kata lain, sekali Netflix mendayung, dua sampai tiga pulau terlampaui.

Persoalan yang Tersisa

Masuknya Netflix sebagai pemain baru di dunia siaran langsung olahraga tidak sepenuhnya berjalan mulus. Pada pertarungan Paul dan Tyson, misalnya, kualitas gambar yang mereka siarkan dikeluhkan banyak sekali orang. Akan tetapi, Netflix tampaknya cepat berbenah karena gangguan yang sama tidak lagi ditemukan pada NFL Christmas Day.

Selain persoalan teknis, masalah lain yang muncul dari kehadiran Netflix adalah makin terfragmentasinya tayangan-tayangan olahraga. Jika dulu penonton bisa menikmati semua siaran dengan hanya membayar satu langganan TV kabel, kini mereka mesti berlangganan lebih dari satu platform untuk menikmati kompetisi olahraga yang berbeda. Alhasil, layanan streaming yang dulu lebih murah dibanding langganan TV kabel, kini justru menjadi makin mahal.

Namun, fragmentasi seperti ini terjadi bukan semata-mata karena kesalahan para penyedia layanan streaming, tetapi juga karena adanya kebebasan bagi setiap penyelenggara kompetisi untuk bernegosiasi dengan siapa pun. Mana yang paling menguntungkan, ya, itu yang akan digaet oleh penyelenggara kompetisi. Tingginya harga hak siar pertandingan olahraga juga tak jarang bikin keder para calon broadcaster. Konsekuensinya adalah fragmentasi itu tadi.

Namun, kasus tersebut bisa dibilang tidak ditemukan di Indonesia. Vidio saat ini sudah menjadi semacam super-agregator untuk semua tayangan olahraga. Selain sepak bola dan balap, olahraga-olahraga lain, seperti voli, basket, bulu tangkis, bahkan tenis, pun bisa ditonton di Vidio.

Tidak semua kompetisi tersedia di Vidio, memang. UFC, misalnya, sampai sekarang cuma bisa disaksikan di Mola. Pertandingan timnas Indonesia hingga kini juga masih menjadi hak milik MNC dengan RCTI Plus atau Vision+ miliknya. Meski begitu, melimpahnya jumlah kompetisi yang ditawarkan oleh Vidio sudah sangat membantu mencegah terjadinya fragmentasi yang lebih luas lagi, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.

Masalah fragmentasi mestinya sudah bisa dibaca oleh para penyedia platform, khususnya di luar negeri. Bisa jadi, langkah yang ditempuh oleh Vidio nantinya bakal ditiru, entah oleh Netflix, Amazon, atau yang lain. Namun, apabila ini terjadi, masalah baru seperti meroketnya harga langganan berpotensi muncul dan justru membuat pelanggan lari.

Pada akhirnya, meskipun masih ada beberapa masalah yang mesti diselesaikan, lanskap penyiaran kompetisi olahraga rasanya tidak akan berubah dalam waktu dekat. Platform streaming akan berlomba satu sama lain menawarkan tayangan dan pengalaman berbeda. Khusus untuk Netflix, mengusung sports entertainment merupakan sebuah langkah strategis yang layak diacungi jempol. Itu artinya, mereka memiliki daya tawar daripada yang lain.

Baca juga artikel terkait NETFLIX atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin