tirto.id - Industri televisi selalu berhasil melahirkan raksasa baru, sekaligus mengubur raksasa tua yang tak bisa lagi beradaptasi dan mengikuti perkembangan zaman. Di Amerika Serikat, raksasa tua yang mulai terkubur dan ditinggalkan bernama televisi kabel. Sedangkan raksasa yang kini tumbuh besar menjulang bernama Netflix.
Netflix mengawali bisnisnya dari pengantaran DVD pada 1998. Ekspansi berlanjut ke bisnis streaming pada 2007. Kini, Netflix sudah tumbuh besar menjadi streaming video terbesar dunia dengan 75 juta pelanggan. Perusahaan yang bermarkas di Los Gatos, California, ini juga sudah masuk ke 190 negara, termasuk Indonesia.
Tumbuh Pesat di Era Digital
Membesarnya bisnis Netflix ini tak lepas dari berkembangnya internet dan menjamurnya telepon seluler (ponsel) pintar atau smartphone. Keduanya mengikis ketergantungan masyarakat terhadap televisi. Orang dengan mudah nonton tayangan kapanpun, di manapun. Inilah yang ditawarkan oleh layanan streaming seperti Netflix.
Pada Januari 2016, lembaga riset dan think tank Pew Research Center mengeluarkan hasil riset di Amerika Serikat tentang penggunaan ponsel pintar untuk menonton film atau layanan televisi berbayar seperti Netflix dan Hulu Plus. Hasilnya, penggunaan ponsel pintar untuk menonton film atau televisi berbayar meningkat pesat dari 15 persen pada 2012 menjadi 33 persen pada 2015.
Siapa saja yang paling banyak menonton film atau televisi melalui ponsel pintar? Sekitar 52 persennya adalah anak muda umur 18 hingga 29 tahun, yang juga kerap disebut sebagai generasi digital. Jumlah itu diikuti oleh 36 persen orang berusia 30 hingga 49 tahun, bagian dari Generasi X yang walaupun bukan digital native, tapi masih akrab dengan dunia digital.
Sementara lembaga perlindungan konsumen Consumer Reports melakukan survei pada 2012, tentang penyedia jasa televisi internet paling populer di Amerika Serikat. Hasilnya, Netflix keluar sebagai jawara dengan pelanggan sekitar 81 persen.
Pada laporan akhir tahun 2015, Netflix mengklaim punya sekitar 61 juta pelanggan. Jumlah itu naik dari 57 juta pelanggan pada 2014. Netflix sendiri memperkirakan jumlah pelanggannya sudah mencapai 75 juta orang. Ini artinya, semakin banyak orang yang menggunakan televisi internet. Jumlah pertumbuhan pelanggan ini juga berdampak besar terhadap pendapatan dan keuntungan perusahaan. Kuartal terakhir 2015 ditutup dengan pendapatan sebesar USD 1,6 miliar dengan kontribusi keuntungan sekitar USD 270 juta. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan pendapatan pada kuartal terakhir 2014, yakni sebesar USD 1,3 miliar dengan kontribusi keuntungan USD 178 juta. Netflix menargetkan pendapatan sebesar USD 1,8 miliar pada kuartal pertama 2016. Dengan pertumbuhan pelanggan yang cepat, Netflix optimistis target itu akan tercapai.
Kenapa Netflix Bisa Jadi Raksasa?
Pertanyaan banyak orang adalah kenapa Netflix bisa berkembang cepat dan kemudian jadi raksasa? Selain munculnya internet, jawaban lain yang masuk akal adalah ilmu dasar ekonomi: siapa yang memberikan harga murah dengan pelayanan prima akan mendapat konsumen yang lebih banyak.
Saingan Netflix di Amerika Serikat, yakni penyedia layanan televisi kabel seperti Time Warner atau Comcast punya harga langganan yang mahal. Time Warner mematok harga langganan USD 22,75 per bulan dan Comcast seharga USD 29,95 per bulan untuk 12 bulan pertama. Tahun berikutnya, biaya akan naik. Sedangkan streaming Netflix hanya mematok biaya langganan USD 7,99 per bulan.
Dengan biaya murah, Netflix memberikan layanan film streaming atau DVD dalam jumlah judul yang teramat banyak. Berdasarkan data dari Associated Press, pada 2015, ada sekitar 60.000 film dan 140.000 judul DVD dalam katalog Netflix. Jumlah ini terus berubah karena jumlah film yang bertambah ataupun dikurangi.
Alasan lain karena Netflix berhasil memberikan tontonan yang berkualitas. Selain memberikan layanan streaming film dan DVD, Netflix juga mulai memproduksi konten sendiri. Pada 2013, Netflix resmi menayangkan House of Cards, film serial drama politik yang dibintangi oleh Kevin Spacey. Serial ini mendapat sambutan yang meriah dari penonton, juga mendapat review bagus dari kritikus film. Pada musim pertama saja, serial ini mendapat 9 nominasi Emmy Awards, penghargaan tertinggi untuk acara televisi di Amerika Serikat. Kini serial ini sudah berjalan tiga musim, dan akan diperpanjang hingga musim kelima.
Pada 2015, Netflix merilis enam serial orisinal. Film-film itu yakni Marvel's Jessica Jones, Master of None, Narcos, Sense8, Marvel's Daredevil, dan Bloodline. Semuanya berhasil masuk dalam daftar 10 Serial Televisi Terbaik 2015 versi IMDB.
Serial-serial orisinal dengan kualitas yang apik ini berpengaruh besar terhadap pertumbuhan pelanggan. Pada kuartal IV-2015, ada pertambahan 5,59 juta pelanggan. Penambahan pelanggan itu melebihi ekspektasi yang hanya berkisar 5,15 juta pelanggan saja.
Tidak hanya serial, Netflix juga mulai memproduksi film orisinal. Film pertama mereka adalah Beast of No Nation, film yang berkisah tentang tentara anak-anak di Afrika ini berhasil mendapat penghargaan di banyak festival film. Produksi lainnya adalah The Ridiculous Six yang dibuat oleh Adam Sandler. Film ini menjadi film yang paling banyak ditonton di Netflix bulan lalu. Selain itu, dua film dokumenter produksi Netflix, What Happened Miss Simone? dan Winter on Fire berhasil masuk dalam nominasi Piala Oscar.
Situs The Richest pernah menulis 15 alasan kenapa Netflix berhasil menjadi raksasa baru dalam industri televisi. Beberapa alasan antara lain karena adanya serial orisinal, dokumenter yang bagus, film orisinal yang apik, adanya film-film serial klasik seperti Friends, hingga harga langganan yang murah.
Dengan segala keunggulan yang ditawarkan dengan harga langganan yang sangat murah, wajar kalau Netflix menjadi besar dalam waktu yang relatif cepat.
Nasib Netflix di Indonesia
Netflix resmi masuk ke Indonesia pada 7 Januari 2016. Masuknya Netflix ke Indonesia menandakan semakin lebarnya jangkauan investasinya. “Dengan peluncuran ini, konsumen di seluruh dunia, dari Singapura hingga St. Petersburg, dari San Francisco hingga Sao Paulo, akan dapat menikmati acara TV dan film secara bersamaan, tanpa harus menunggu,” ujar CEO Netflix, Reed Hastings dalam acara tahunan Consumse Electronic Show di Las Vegas.
Tak jauh berbeda dengan televisi berbayar lain, Netflix mematok beberapa paket. Pertama adalah paket Basic dengan harga Rp 109 ribu per bulan. Kemudian ada paket Standar Rp 139 ribu, dan paket Premium yang dibanderol Rp 169 ribu.
Dengan statusnya sebagai raksasa televisi baru, wajar kalau masuknya Netflix ke Indonesia membuat ketar-ketir banyak penyedia jasa televisi yang sudah beroperasi lebih dulu. Sebut saja Indovision yang merupakan anak grup dari MNC Sky Vision.
Kekhawatiran ini memang langsung terbukti. Saat Netflix sudah resmi beroperasi di Indonesia, emiten MNCN di pasar saham langsung anjlok 3 persen dalam sehari. Di Twitter, akun MNC Newsroom langsung mencuit beberapa kekhawatiran terhadap masuknya Netflix dengan tagar #SaveOnlineIndonesia. Namun, cuitan itu ditanggapi dengan sentimen negatif oleh banyak pengguna Twitter di Indonesia.
Netflix juga dihadang oleh penyedia layanan internet di Indonesia. Pada 27 Januari 2016, Telkom memblokir Netflix dari semua layanan internetnya. Baik dari Indihome, WiFi.id, dan akses seluler Telkomsel. Hal ini dilakukan oleh Telkom karena, menurut mereka, Netflix tidak memenuhi regulasi di Indonesia, juga karena banyak memuat konten pornografi. Selain itu, Netflix dianggap sebagai pemain over the top, atau perusahaan penyedia layanan data internet yang memanfaatkan jaringan operator telekomunikasi.
"Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator," ujar Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan di Jakarta.
Hal ini dianggap menggelikan. Sebab, seharusnya Telkom dan penyedia internet adalah pihak yang paling diuntungkan dengan masuknya Netflix. Sebab layanan Netflix membutuhkan internet untuk bisa beroperasi. Namun di satu sisi, penyedia jasa internet paket unlimited adalah pihak yang bisa merasa dirugikan. Sebab, Netflix akan menyedot banyak kuota. Untuk streaming film dengan kualitas layar High Definition selama satu jam, diperlukan kuota data sebesar 3 gigabyte.
Tak berapa lama setelah itu, layanan IndiHome langsung memberlakukan kebijakan Fair Usage Policy (FUP) atau kebijakan penggunaan kuota secara wajar. Hal ini diprotes oleh banyak pelanggan IndiHome yang merasa tak pernah diberitahu soal kebijakan ini di awal.
Sejatinya masih ada beberapa hambatan lain yang membuat Netflix belum bisa beroperasi secara optimal di Indonesia. Misalkan hal dasar seperti metode pembayaran. Hingga sekarang, Netflix hanya bisa dibayar dengan menggunakan kartu kredit. Padahal di Indonesia, pengguna kartu kredit masih sangat rendah. Menurut Economic Co-operation and Development, pengguna kartu kredit di Indonesia hanya 2 persen dari total jumlah penduduk. Masih kalah jauh dengan, misalkan, Malaysia yang mencapai 12 persen.
Masalah sulih bahasa juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Netflix belum menyediakan layanan sulih bahasa bagi film-film di katalognya. Padahal Indonesia masih terhitung sebagai negara dengan penggunaan dan kemampuan Bahasa Inggris yang rendah. Lembaga belajar EF English pernah merilis survey Proficiency Index, yakni negara dengan kemampuan Bahasa Inggris. Hasilnya, Indonesia hanya menempati posisi 32 dari 70 negara yang disurvei, di bawah Vietnam atau Malaysia.
Hambatan lain, sekaligus yang paling vital yakni tentang infrastruktur internet atau data internet seluler di Indonesia. Dari data Internet.org, sekitar 75 persen pengguna data seluler di Indonesia masih mengandalkan jaringan 2G, alias GSM/EDGE. Untuk jaringan 4G, masih terbatas di kota besar seperti Jakarta atau Denpasar. Itu pun hanya di beberapa titik saja. Beberapa pelanggan Netlix di Indonesia yang berlangganan paket internet Speedy 1mbps dari Telkom juga hanya bisa mendapat streaming dengan kualitas layar 480p, masih jauh dari kualitas High Definition.
Netflix memang masih akan kesusahan berlari kencang. Apalagi pengguna internet di Indonesia masih kurang akrab dengan layanan streaming, ditambah dengan kecepatan internet yang masih kurang layak. Memang, ada peningkatan pengguna internet di Indonesia. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI), pengguna internet di Indonesia meningkat lumayan drastis. Pada 2013, ada 71 juta pengguna dan meningkat menjadi 88 juta pengguna setahun kemudian. Sekitar 85 persen pengguna itu memakai telepon seluler untuk mengakses internet.
Namun, dari pengguna internet di Indonesia, hanya ada sekitar 27 persen saja yang menggunakannya untuk video streaming. Bandingkan dengan penggunaan untuk jejaring sosial yang dimanfaatkan oleh sekitar 87 persen pengguna internet.
Netflix memang masih akan kesusahan berlari kencang. Apalagi pengguna internet di Indonesia masih kurang akrab dengan layanan streaming, ditambah dengan kecepatan internet yang masih kurang layak. Memang, ada peningkatan pengguna internet di Indonesia. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, pengguna internet di Indonesia meningkat lumayan drastis. Pada 2013, ada 71 juta pengguna. Kemudian meningkat menjadi 88 juta pengguna. Sekitar 85 persen pengguna itu memakai telepon seluler untuk mengakses internet.
Namun, dari pengguna internet di Indonesia, hanya ada sekitar 27 persen saja yang menggunakannya untuk video streaming. Bandingkan dengan penggunaan untuk jejaring sosial yang dimanfaatkan oleh sekitar 87 persen pengguna internet.
Pemerintah sendiri memilih bersikap hati-hati dalam menyikapi Netflix. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan rancangan aturan tentang keberadaan Netflix.
"Ini karena sampai sekarang belum ada undang-undang atau aturan yang menaungi secara lengkap. Misalkan Netflix yang berkaitan dengan UU perfilman, tapi juga beririsan dengan bisnis lembaga sensor film," ujarnya.
Selain itu, Rudiantara juga menegaskan bahwa Netflix harus ikut aturan di Indonesia. "Mereka harus jadi Badan Usaha Terdaftar," katanya.
Munculnya Netflix di Indonesia ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, ini adalah angin segar yang memberikan alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain Netflix dianggap ancaman bagi penyedia jasa televisi yang sudah ada.
Padahal seharusnya kehadiran Netflix bisa dijadikan pemicu agar penyedia jasa televisi, juga stasiun televisi, bisa memproduksi konten yang berkualitas. Apalagi sampai sekarang, Netflix belum bisa beroperasi dengan optimal karena infrastruktur internet yang belum memadai. Ini bisa dianggap sebagai kesempatan untuk membenahi diri.
Penyedia jasa televisi di Indonesia memang seharusnya disadarkan bahwa di zaman digital seperti sekarang, saat penonton bisa memilih sendiri acara yang ingin disaksikan, konten adalah raja. Maka buatlah konten televisi yang berkualitas!