tirto.id - Tepat 21 tahun lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui resolusi bernomor A/RES/51/205 menetapkan hari ini, 21 November, sebagai hari televisi dunia. Penetapan itu tak berlandaskan peristiwa-peristiwa unik seperti saat televisi pertama kali dibuat atau saat lahirnya tokoh pertelevisian tertentu. PBB, melalui keputusannya itu, menetapkan hari televisi dunia atas dasar televisi merupakan simbol komunikasi dunia.
Dalam laman resmi organisasi antar bangsa itu, televisi dianggap berjasa “membawa perhatian dunia pada konflik, ancaman terhadap perdamaian serta keamanan dan peran potensialnya dalam membawa fokus perhatian masyarakat pada isu-isu utama lainnya, termasuk isu-isu ekonomi dan sosial.”
Lebih lanjut, PBB mengklaim bahwa televisi “diakui sebagai alat utama dalam menginformasikan, menyalurkan, dan memengaruhi opini publik.” Atas kekuatannya tersebut, televisi, merujuk apa yang diungkapkan PBB, memiliki kekuatan dalam proses pengambil keputusan.
Tayangan Visual yang Mengubah Persepsi Orang Banyak
Apa yang dipaparkan PBB memang tak salah. Merujuk data Statista, diprediksi ada 1,68 miliar televisi yang akan mengisi ruang-ruang keluarga di seluruh dunia pada 2021 kelak. Di Indonesia, merujuk survey yang dilakukan Nielsen, televisi merupakan media utama yang dikonsumsi masyarakat, baik di Jawa maupun Luar Jawa. Televisi dikonsumsi 95 persen masyarakat. Unggul jauh dibandingkan internet (33 persen), radio (20 persen), koran (12 persen), dan majalah (5 persen).
Secara lebih spesifik, merujuk hasil penelitian Tim Riset Tirto soal Generasi Z—generasi yang lahir semenjak resolusi PBB tentang penetapan hari televisi dunia itu dilahirkan—hingga tahun 2010, rata-rata mereka menghabiskan waktu menonton televisi kurang dari dua jam per hari.
Baca juga: Kelahiran Generasi Z, Kematian Media Cetak
Lebih lanjut, rata-rata konsumsi televisi meningkat pada anak-anak di rentang usia SMP, yang menghabiskan waktu menonton televisi antara 3 hingga 5 jam per hari. Secara umum, generasi Z menghabiskan waktunya di depan televisi untuk memperoleh hiburan dengan rincian menonton sinetron atau serial (34,1 persen) dan menonton kartun atau animasi (34,6 persen).
Angka-angka yang dipaparkan itu menegaskan betapa kuatnya televisi sebagai media hiburan utama. Dalam hal tertentu, ia juga menjadi medium pemersatu masyarakat.
Sayangnya, meski televisi merupakan medium yang paling luas jangkauannya, terutama di Indonesia, mutu acara yang ditayangkan masih medioker. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam sebuah laporannya berjudul “Survei Indeks Kualitas Program Siaran televisi Periode 1 2017” mengungkapkan, terdapat beberapa program tayangan televisi yang kualitasnya masih jauh berada di bawah ambang batas standar yang ditetapkan KPI.
Dalam laporannya itu, KPI menetapkan indeks standar berada di angka 3.00 dari skala 4. Indeks tersebut bersumber dari penilaian-penilaian yang dilakukan pemirsa ahli (pemirsa yang memiliki keahlian-keahlian tertentu hingga dapat menilai suatu program televisi). Dari 8 program televisi yang dinilai, 4 di antaranya memiliki standar di bawah harapan. Ke-4 program televisi dengan nilai di bawah harapan itu ialah Variety Show (2,43), Sinetron (2,45), Infotainment (2,36) dan Berita (2,95). Lebih jauh, dari ke-8 program yang dinilai, tak satupun program televisi di Indonesia yang memperoleh nilai sempurna.
Hasil survei yang dilakukan KPI jelas merupakan peringatan keras bagi siapa pun. Kualitas program televisi yang buruk bisa memengaruhi pemikiran para pemirsanya secara negatif.
Baca juga:
Perkara pengaruh buruk ini tak hanya ditunjukan oleh survei yang dilakukan KPI. Secara umum, merujuk apa yang dipaparkan Allen Eisenach dari School of Theology at Claremont, California, Amerika Serikat, televisi, terutama melalui tayangan yang secara umum buruk, cenderung memiliki nilai negatif, stereotip, konsumerisme, dan pendekatan yang dangkal terhadap kehidupan bagi para penontonnya. Ini tentu membuat keprihatinan tersendiri mengingat kekuatan televisi yang bisa merasuk ruang-ruang paling privat keluarga.James N. Druckman, dalam jurnalnya berjudul “The Power of Television Images”, mengungkapkan bahwa tayangan televisi memengaruhi persepsi penonton. Ia, dalam penelitiannya untuk jurnal tersebut, mengamati bagaimana persepsi penonton televisi dalam tayangan debat antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada 1960. Debat Kennedy dan Nixon itu merupakan debat politik pertama yang mengudara lewat televisi.
Baca juga: Arti Penting Talk Show Politik: Cerita dari Amerika
Jurnal yang bersumber pada pengamatan terhadap 171 partisipan itu menghasilkan kesimpulan bahwa tayangan debat antara Kennedy dan Nixon di televisi berimplikasi sangat signifikan terhadap persepsi para penontonnya. Lebih lanjut, Druckman mengatakan, persepsi yang timbul antara lain efektivitas kepemimpinan, integritas, dan empati atas dua tokoh tersebut.
Apa yang diungkap Druckman sesuai dengan perkataan Frank Stanton, pemimpin CBS (stasiun televisi yang menayangkan debat) yang dikutipnya. Stanton menegaskan, “Kennedy memperoleh medali perunggu terindahnya dan Nixon terlihat bagaikan orang mati.”
Satu hal yang menarik, Druckman mengungkapkan bahwa ada perbedaan persepsi antara penonton televisi dan pendengar radio atas debat itu. Pendengar radio lebih memilih Nixon memenangkan debat dibanding Kennedy yang dipilih pemirsa televisi. Ini artinya, televisi, terlebih melalui fitur tampilan visual, sukses memberi nilai lebih bagi para pemirsanya dibanding pendengar radio.
Tampilan visual, masih menurut Druckman, memberikan persepsi lebih pada orang-orang yang menilai. Selain itu juga meningkatkan pembelajaran politik pada para pemirsanya dibandingkan radio. Ini memberi poin lebih bagi pemirsa televisi untuk memenangkan Kennedy daripada Nixon.
Lahir dari Tangan Beberapa Penemu
Sebagai salah satu medium komunikasi, televisi memang tak lahir secara tiba-tiba. Merujuk tulisan Micthell Stephens dari New York University, leluhur televisi modern yang kita pakai saat ini tercetus pada 7 September 1927. Kala itu, Philo Taylor Franswoth, seorang penemu yang baru berusia 21 tahun, mendemonstrasikan ciptaannya berupa televisi elektronik di San Francisco, AS.
Ia mulai menciptakan televisi kala memasuki sekolah menengah. Ketika itu Franswoth meneliti tentang bagaimana membangun sistem yang dapat mengambil gambar bergerak dan kemudian mentransmisikannya dengan memanfaatkan gelombang radio.
Baca juga: Derasnya Aliran Uang di Serial Televisi
Tapi Franswoth sebenarnya bukan yang pertama. Prototipe televisi sudah diciptakan 16 tahun sebelum Franswoth mendemonstrasikan apa yang ia kerjakan. Boris Rosing, ilmuwan asal Rusia, teridentifikasi sebagai sosok pertama yang melakukan percobaan mentransmisikan gambar.
Dan di awal dekade 1920-an, masih merujuk apa yang dipaparkan Stephens, dua tokoh dari AS dan Inggris bernama John Logie Baird dan Charles Francis Jenkins sukses mendemonstrasikan sistem serupa. Namun, kedua penemu tersebut menciptakan “televisi” memanfaatkan gambar yang telah dipindai dan digerakkan oleh semacam cangkram.
Perkembangan temuan Franswoth melejit selepas RCA—perusahaan yang pada dekade 1930-an mendominasi bisnis radio di AS—menginvestasikan uang senilai $50 juta untuk mengembangkan sistem televisi. Diketahui, RCA lah yang membeli lisensi untuk menggunakan paten televisi yang diciptakan Franswoth. RCA kemudian menjual set televisi berukuran 12 inci.
Sejak itu, kotak ajaib ini tak hanya mendunia, tapi juga mengubahnya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ivan Aulia Ahsan