Menuju konten utama

Hidup Televisi Tergantung Sinetron

Kesuksesan sebuah sinetron berdampak positif pada kinerja televisi. PH-PH unggulan pun jadi incaran demi mengerek pendapatan.

Hidup Televisi Tergantung Sinetron
Ilustrasi tayangan televisi. FOTO/IStock

tirto.id - Kue iklan yang besar, membuat emiten-emiten televisi berebut agar meraup keuntungan pada tahun ini. Data dari Nielsen Advertising Information Services yang dipublikasikan pada awal Februari lalu menyebutkan, belanja iklan media pada tahun 2016 bertumbuh 14%, setelah sempat melambat pada tahun 2015. Dengan pertumbuhan sebesar itu, belanja iklan televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun. Dari total belanja iklan tersebut, aliran iklan yang masuk ke televisi mencapai 77%, sekitar Rp 103,8 triliun. Nielsen memperkirakan, kenaikan belanja iklan media televisi dan cetak pada tahun ini tidak jauh berbeda dari tahun lalu.

Menurut Bahana Sekuritas, seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia, belanja iklan pada tahun ini diperkirakan naik pada kisaran 10 - 12%, dari belanja iklan tahun lalu yang tumbuh 8-10%. Belanja iklan ini masih akan didominasi oleh pertelevisian yang mengambil porsi sekitar 65% dari total belanja, sedangkan digital diperkirakan akan mengambil porsi sekitar 10%, iklan di media cetak seperti koran, majalah dan cetak lainnya diperkirakan mendapat porsi 15%, radio akan mengambil porsi sekitar 3%, sedangkan sisanya belanja iklan di media lainnya termasuk bilboard.

''Perkembangan media digital memang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, namun iklan di media televisi masih menjadi primadona,'' kata Henry Wibowo, analis senior Bahana Sekuritas dalam risetnya. ''Naiknya porsi media digital, menggerogoti pangsa pasar media cetak dan radio,'' tambah Henry.

Di sisi lain, pertarungan untuk memperebutkan pangsa iklan ini semakin sengit. Emiten tiga kelompok media arus utama seperti PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) berlomba menyajikan program terbaik untuk meraih perhatian para pengiklan. Semakin banyak iklan, berarti pundi-pundi emiten televisi semakin besar.

Infografik Rating Detak Jantung Televisi

Sinetron, Penarik Utama

Perebutan pemirsa pada saat prime time semakin ketat. Pada Januari 2017, MNCN meraih pasar pemirsa sebanyak 41,8%, porsi ini turun dari Desember yang sebesar 43,2%. Sementara SCMA meraih 23%, turun dari 24,8%. Pangsa pemirsa VIVA tercatat sebesar 18%. Menurut survei Nielsen, RCTI tetap stasiun yang paling banyak ditonton selama prime time, dengan pangsa pemirsa di Januari 2017 sebesar 27%, diikuti oleh ANTV sebesar 21,8%.

Memasuki bulan Februari, persaingan semakin tajam. Dalam riset terbarunya, analis Mirae Asset Securities Indonesia Christine Natasya menyebutkan sinetron anyar yang ditayangkan SCTV, televisi milik SCMA dapat meningkatkan pemirsa. PT Sinemart Indonesia, rumah produksi pemasok sinetron yang diakuisisi SCMA memboyong aktor yang tadinya muncul di RCTI. Dengan tagar #SayaDiSCTV, para pemain sinetron itu tampaknya berhasil memindahkan para penggemarnya. SCMA pun sudah mengakuisisi Sinemart.

Christine menghitung, SCTV berhasil mendapatkan pangsa pasar pemirsa lebih banyak dari RCTI untuk pertama kalinya sejak 2014. Ketika penayangan perdana sinetron Anak Langit yang ditayangkan pada 18.30 WIB, pangsa pasar pemirsanya sebesar 31,9%, merupakan yang tertinggi. Pemirsanya terus meningkat dan mencapai 32,3% pada 21 Februari lalu. Angka itu mengalahkan sinetron RCTI Roman Picisan, stasiun televisi milik MNCN yang ditayangkan pada waktu hampir bersamaan, pada pukul 18.00-18.30 WIB.

Di sisi lain, sinetron SCTV yang ditayangkan pada pukul 20.00 berjudul Orang-orang Kampung Duku memperlihatkan penurunan pemirsa sebesar 5,1% pada hari kedua penayangannya. Sementara itu, sinetron RCTI Dunia Terbalik tampaknya lebih menyedot perhatian para pemirsa. Secara rata-rata, pangsa pasar SCMA naik lebih dari dua kali lipat dari 11,4% (angka rata-rata pada Januari 2017) menjadi 24,7% (angka rata-rata pemirsa pada prime time selama 20-28 Februari 2017). Terakhir SCMA menguasai pemirsa pada prime time adalah tahun 2014, ketika sinetron Ganteng-ganteng Srigala diputar.

"Menurut pandangan kami, kemampuan SCMA untuk memonitasi lebih baik lagi rating pemirsanya akan menjadi katalis kuat bagi perusahaan tersebut. SCMA merupakan saham favorit kami pada sektor media. Target kami, SCMA dapat menapai Rp 3.290 per saham, mencerminkan 26,2 kali price to earning ratio pada tahun 2017. Saat ini SCMA ditransaksikan pada 23 kali dari perkiraan P/E untuk tahun 2017," demikian Christine dalam risetnya.

Bahana Sekuritas juga merekomendasikan SCMA. Akuisisi PT Sinemart menurut Henry akan mampu mengembalikan rating SCTV ke posisi 1 atau 2 dari posisi bulan lalu setelah sempat anjlok ke posisi keempat. Sejak masuknya sinemart, pergerakan saham SCMA naik cukup tinggi ke sekarang di kisaran Rp 2.900/lembar dari yang sebelumnya sekitar Rp 2.200-an di bulan November 2016, karena ekspektasi untuk mendongkrak rating SCTV dengan sinetron-sinetron andalannya. Bahana merekomendasi saham SCMA dengan BUY rating dengan harga target Rp3,000 per lembar pada kisaran 25 kali price-to-earning ratio, tetapi dengan tidak menutup kemungkinan untuk kenaikan lebih di kisaran Rp3,600 per lembar (pada kisaran 30 kali PE) jika rating program baru SCTV dari Sinemart melampaui ekspektasi dan membawa SCTV ke peringkat 1.

Selain kehadiran Sinemart, SCMA, menurut Henry juga diuntungkan oleh tayangan akademi dangdut atau yang lebih dikenal dengan D'Academy. Acara tersebut disiarkan oleh Indosiar, yang merupakan stasiun TV kedua milik SCMA.

''Biaya produksi untuk akademi dangdut ini terbilang murah, dengan minat penonton yang cukup besar, perusahaan bisa meraup keuntungan besar,'' ujar Henry.

Christine menambahkan, jika SCMA berhasil menjaga peringkatkan, akan dapat mempersempit selisih pendapatan dengan dengan MNCN, walaupun hal ini akan memerlukan waktu mengingat MNCN memiliki 4 stasiun televisi sementara SCMA hanya menguasai 2 stasiun televisi saja.

MNCN Positif

Bagaimana dengan MNCN ? kelompok media milik pengusaha dan politisi Hary Tanoesudibjo itu juga salah satu saham yang layak untuk dibeli menurut Bahana Sekuritas, karena harganya masih murah tapi proyeksi pendapatan cukup tinggi, meski PE-nya hanya sebesar 12 kali. Rendahnya kisaran PE terutama dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni marjin keuntungan yang lebih kecil dan karena sang pemilik yang berada di ranah politik. MNCN adalah grup pemimpin pasar Televisi di Indonesia dengan market share sekitar 37% pada tahun 2016, memiliki 3 stasiun televisi berjaring nasional, yaitu RCTI, MNC TV (sebelumnya TPI), dan Global TV, dan satu stasiun TV berjaring lokal, yaitu iNews TV. Pemilik MNCN, Hary Tanoesoedibjo merupakan pendiri Partai Perindo.

Selain memiliki televisi, MNCN juga memiliki media cetak yakni koran Sindo dan juga radio, yang keduanya sayangnya tidak memiki kinerja sebagus bisnis TV karena pangsa pasar yang tergerus oleh iklan di online internet media. ''Hubungan baik antara sang pemilik dengan presiden terpilih AS Donald Trump, tidak tertutup potensi adanya gebrakan baru yang bisa dibawa ke grup MNC Media dengan perusahaan media AS,'' kata Henry.

Bahana merekomendasikan beli untuk saham MNCN dengan target harga sekitar Rp 2.200 per lembar (pada kisaran 16 kali PE), dari posisi saat ini sekitar Rp 1.500 per lembar (12 kali PE).

Ferdy Wan dan Adrian Joezer analis dari Mandiri Sekuritas menyatakan, kinerja keuangan MNCN yang belum diaudit untuk tahun 2016 selaras dengan perkiraan mereka. Pendapatan pada kuartal 4/2016 sekitar Rp 1,5 triliun atau naik sekitar 8,6% dibandingkan tahun lalu meskipun turun 9% jika dilihat secara kuartalan. Sehingga, pendapatan tahun 2016 menjadi sebesar Rp 6,8 triliun naik 5,5% dari tahun lalu. Perolehan ini berporsi 97%-98% dari prediksi kami dan konsensus, kata Ferdy dalam risetnya.

Untuk tahun ini, Mandiri Sekuritas berpandangan positif terhadap MNCN. Emiten juga lebih positif tahun ini. Dengan target pertumbuhan pendapatan sebesar 10% dan pertumbuhan EBITDA 12% dari tahun lalu. Hal itu mencerminkan pendapatan Rp 7,5 triliun dan EBITDA Rp 2,9 triliun, mencerminkan margin EBITDA 39%. “Kami masih tetap positif karena pangsa pemirsa yang kuat dapat menjadi kenaikan pendapatan. Saat ini MNCN ditransaksikan pada valuasi rasio harga saham per laba (PE ratio) sebesar 13,4 kali. Target harga kami adalah Rp 2.600,” demikian Ferdy.

Beban belanja modal MNCN pada tahun ini lebih sedikit, sekitar 20-30 juta dolar AS. Pada tahun-tahun sebelumnya, belanja modal mencapai Rp 1 triliun. Penurunan ini terjadi karena pembangunan empat gedung televisi dan lebih dari 40 studio sudah selesai. Tahun depan, anak usaha MNCN yaitu MNC Picture akan melalukan initial public offering (IPO) atau melepaskan saham ke bursa. IPO ini dilakukan tahun depan karena pada tahun ini MNCN masih melakukan konsolidasi untuk melakukan produksi sinetron, sebab semua sinetron di TV group MNC diproduksi di MNC Picture.

Kelompok usaha lain yang menguasai televisi adalah Visi Media Asia Tbk (VIVA), yang berada pada kelompok usaha Bakrie. Hingga kini VIVA masih berkutat dengan besarnya utang yang belum terselesaikan sejak 2014 lalu sekitar 200 juta dolar AS, saat TV One dan ANTV memegang hak siaran atas piala dunia. Keuntungan perusahaan yang berkode saham VIVA ini masih harus dipakai untuk membayar hutang dan bunga yang cukup besar, dengan bunga berkisar antara 16-20%. Beban itu masih belum memperhitungkan dampak pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Salah satu yang menjadi penopang VIVA keberadaan drama India yang disiarkan di ANTV, karena respon penonton cukup positif, tak heran kalau ANTV menayangkan drama India dari siang hingga malam hari, padahal sebelumnya ditayangkan dari sore hingga malam hari.

Beratnya cash flow perusahaan membuat Bahana merekomendasikan reduce untuk saham VIVA dengan target harga Rp 230 per lembar, dari yang saat ini sekitar Rp 300 per lembar.

Baca juga artikel terkait SINETRON atau tulisan lainnya dari Yan Chandra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Yan Chandra
Penulis: Yan Chandra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti