tirto.id - Pada 1670, Raden Trunojoyo memperoleh tawaran menarik sekaligus menantang dari putra mahkota Kesultanan Mataram Islam, Pangeran Adipati Anom. Sang pangeran berniat menggulingkan takhta ayahnya sendiri, sang Raja Jawa Amangkurat I (1645-1677), dan meminta bantuan Trunojoyo untuk menjalankan upaya kudeta tersebut. Tak berpikir lama, Trunojoyo menyanggupinya.
Bukan tanpa alasan Trunojoyo bersedia melakukan tugas berbahaya itu. Sudah sekian lama ia mendendam terhadap Mataram karena telah menjajah tanah kelahirannya, Madura. Kebetulan, putra mahkota sedang berselisih dengan sang raja sehingga momen itu terlalu sayang untuk dilewatkan.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih Trunojoyo justru memantik kecemasan Adipati Anom. Putra mahkota yang kelak bergelar Amangkurat II itu lantas berbalik mendukung ayahnya untuk bersama-sama menghadang Trunojoyo, bahkan hingga mengemis bantuan VOC (Belanda) meskipun Mataram harus membayar mahal untuk itu.
Gara-gara Amangkurat I
Kisah ini berawal dari penaklukan Madura oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), raja terbesar Mataram Islam, pada 1624. Selain Madura dan kemudian Surabaya, Mataram yang berpusat di Yogyakarta juga menundukkan wilayah pesisir Jawa bagian timur lainnya, termasuk Tuban dan Gresik (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia, 1986: 73).
Untuk memimpin Madura sebagai kepanjangan tangan dari Mataram, Sultan Agung menunjuk salah seorang bangsawan lokal asli pulau itu yang bernama Raden Prasena atau yang nantinya bergelar Panembahan Cakraningrat I. Raden Prasena juga dikawinkan dengan salah satu putri sultan.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, takhta Mataram dilanjutkan oleh Raden Mas Sayidin dengan gelar Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat I). Berbeda dengan ayahnya yang selalu melawan Belanda atau VOC, Amangkurat I justru merangkul bangsa penjajah agar kepentingannya terlindungi.
Hal ini memicu polemik. Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, melancarkan perlawanan pada 1648 (Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, 2017: 17). Amangkurat I memenangkan perang saudara ini dan membantai ribuan ulama pendukung Raden Mas Alit.
Beberapa belas tahun berselang, terjadi polemik internal lagi di Mataram. Kali ini Pangeran Adipati Anom yang berniat melengserkan Amangkurat I. Sang pangeran cemas setelah mendengar kabar bahwa statusnya sebagai putra mahkota Mataram bakal dicabut dan dialihkan ke anak laki-laki Amangkurat I lainnya.
Dari sinilah peran Raden Trunojoyo yang diminta membantu Pangeran Adipati Anom untuk mengkudeta Amangkurat I dan nantinya menggegerkan seisi telatah Mataram dimulai.
Raja Madura vs Raja Jawa
Trunojoyo masih termasuk cicit Sultan Agung. Ia adalah cucu Raden Prasena atau Cakraningrat I. Ayahnya bernama Raden Demang Melayakusuma, putra Cakraningrat I dari istri selir. Dengan kata lain, Trunojoyo adalah saudara seayah lain ibu penguasa kedua Madura era Mataram, Cakraningrat II (1647-1707).
Aksi Trunojoyo dimulai dengan menculik dan mengasingkan Cakraningrat II ke Kediri. Ia memang tidak menyukai saudara tirinya yang selalu tunduk kepada Mataram dan Amangkurat I itu. Trunojoyo menganggap, penguasaan Mataram atas Madura adalah suatu bentuk penjajahan (Mien A. Rifai, Manusia Madura, 2007:272).
Dengan senang hati Trunojoyo menyanggupi permintaan Adipati Anom lantaran ia punya misi khusus terhadap Mataram. Di sisi lain, putra mahkota berjanji akan memberikan sebagian besar wilayah Madura kepada Trunojoyo jika berhasil melengserkan Amangkurat I.
H.J. de Graaf (1987) dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebutkan bahwa rencana perlawanan Trunojoyo terhadap Mataram memperoleh dukungan penuh dari orang-orang Madura (hlm. 60). Mayoritas warga Madura rupanya juga sudah jengah dengan pendudukan Mataram.
Setelah menyingkirkan Cakraningrat II, laskar rakyat pimpinan Trunojoyo berhasil mengambil-alih kekuasaan di Madura pada 1674. Trunojoyo pun menyatakan Madura sebagai wilayah yang merdeka dan ia mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura yang kedudukan dan kekuasaannya sejajar dengan penguasa Mataram.
Posisi Trunojoyo menguat setelah memperoleh bantuan dari orang-orang Makassar yang dipimpin Karaeng Galesong. Mereka ini adalah pendukung Sultan Hasanuddin yang melarikan diri usai Kesultanan Gowa dikalahkan VOC pada 1669. Kebetulan, mereka juga tidak suka dengan Mataram lantaran Amangkurat I pernah melecehkan Sultan Hasanuddin.
Hubungan antara dua suku bangsa yang berbeda ini bertambah erat dengan terjalinnya hubungan kekerabatan. Seperti dikutip dari Syahruddin Yasen (2008) dalam Maestro Dua Puluh Tujuh Karaeng Bugis-Makassar, Trunojoyo menikahkan putrinya yang bernama Raden Ayu Suraretna dengan Karaeng Galesong (hlm. 37).
Merebut Istana Mataram
Pasukan gabungan Madura-Makassar pun mulai melancarkan tekanannya terhadap Mataram. Dalam perjalanannya menaklukkan daerah-daerah kekuasaan Mataram, Trunojoyo kembali mendapat dukungan yang membuat kekuatannya semakin bertambah.
Salah satu dukungan untuk Trunojoyo diberikan oleh Panembahan Giri dari Surabaya (Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 2006: 94). Keturunan Sunan Giri (anggota Walisongo) ini masih menyimpan rasa sakit hati terhadap Amangkurat I atas pembantaian ulama yang terjadi pada 1648.
Trunojoyo juga dibantu Kesultanan Banten yang memang berselisih dengan Mataram pasca-Sultan Agung. Relasi Banten-Mataram memburuk akibat ulah Amangkurat I. Kebetulan pula, seperti dikutip dari Catatan Masa Lalu Banten karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari (1999), Banten berhubungan baik dengan Makassar yang telah mendukung Trunojoyo melalui Karaeng Galesong (hlm. 152).
Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu, wilayah-wilayah kekuasaan Mataram berhasil ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban, Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Sebagai puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta.
Melihat situasi terkini yang kian gawat, Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram yang mengajak Trunojoyo melawan Amangkurat I, menjadi sangat khawatir bahkan ketakutan. Ia kemudian berbalik mendukung ayahnya untuk bersama-sama menghadang perlawanan Trunojoyo. Ini terjadi pada Oktober 1676.
Trunojoyo menggerakkan pasukannya menuju Plered (kini termasuk wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta) di mana Amangkurat I bertakhta. Amangkurat I yang saat itu sedang dalam kondisi sakit ternyata ciut nyalinya dan melarikan diri ke arah barat.
Dalam pelariannya, sakit yang diderita Amangkurat I semakin parah. Penguasa Mataram ini akhirnya menghembuskan nafas penghabisan di suatu tempat di dekat Tegal (kini salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah) pada 1677 (Sutrisno Kutoyo, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997: 108).
Di pihak lain, pasukan gabungan pimpinan Trunojoyo tiba di Plered pada 2 Juli 1677. Tanpa kesulitan berarti, pusat pemerintahan Mataram itu bisa direbut dan diduduki meskipun sang penguasa telah melarikan diri. Trunojoyo kemudian mengawini salah seorang putri Amangkurat I.
Tertangkap, Dieksekusi Mati
Mangkatnya Amangkurat I dalam pelarian membuat Pangeran Adipati Anom semakin panik. Ia kemudian meminta bantuan kepada VOC untuk membasmi perlawanan Trunojoyo. Belanda, yang diwakili oleh Cornelis Speelman dalam perjanjian di Jepara pada akhir 1677, bersedia membantu namun dengan syarat yang tidak ringan.
Speelman akan mengerahkan pasukannya menghadapi Trunojoyo, juga mengakui Adipati Anom sebagai raja dengan gelar Amangkurat II, tapi Mataram harus menyetujui beberapa persyaratannya, seperti dikutip dari buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak karya Budiono Herusatoto (2008:76).
Pertama, biaya perang untuk menghadapi Trunojoyo harus ditanggung Mataram. Kedua, semua pelabuhan milik Mataram di pesisir utara, dari Karawang sampai ujung Jawa paling timur digadaikan kepada VOC dan akan dikembalikan setelah Mataram melunasi utangnya.
Syarat ketiga, seluruh wilayah Mataram antara sebelah barat Sungai Pamanukan hingga pesisir selatan diserahkan kepada VOC. Keempat, VOC diberi hak monopoli untuk perdagangan kain dari India dan Persia, serta beras di seluruh wilayah Mataram. Kelima, VOC diperbolehkan menempatkan pasukannya di ibukota Mataram.
Pangeran Adipati Anom alias Amangkurat II setuju. Setelah itu, dengan bantuan utang dari VOC, ia membangun kerajaan baru di Kartasura, dekat Solo, untuk menggantikan kraton di Plered yang telah dikuasai dan dihancurkan oleh Trunojoyo.
Di saat yang sama, Speelman menunjuk Kapitan Jonker memimpin penyerbuan terhadap Trunojoyo. VOC dibantu oleh pasukan Arung Palakka, pangeran Bone yang pernah melawan Kesultanan Makassar. Arung Palakka pun akan berhadapan dengan pendukung setia Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong.
VOC menggerakkan 5 kapal perang dari Batavia yang berangkat bersama pasukan Arung Palakka, ditambah pasukan kompeni dari Semarang, dan bergabung dengan ribuan prajurit Mataram yang menanti di Jepara, untuk menyerbu Trunojoyo yang kini bertahan di Surabaya.
Terjadilah rangkaian pertempuran di kawasan tengah dan timur Jawa. Armada besar Belanda membuat pasukan Trunojoyo kewalahan dan terpaksa mundur ke Kediri namun terus saja didesak oleh musuh. VOC dan sekutunya bahkan mengalahkan prajurit cadangan Trunojoyo di Madura.
Trunojoyo sempat lolos dari kejaran dengan menjelajahi lereng Gunung Kelud (Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme, 1973: 22). Namun, pasukan musuh terus mengejarnya dan akhirnya Trunojoyo tertangkap pada penghujung tahun 1679. VOC kemudian membawanya ke hadapan Amangkurat II.
Amangkurat II memutuskan bahwa Trunojoyo harus dihukum mati. Pada 2 Januari 1680, tepat hari ini 341 tahun lalu, eksekusi dilakukan langsung oleh sang raja baru. Sebelum mencabut kerisnya, Amangkurat II berkata, ”Aku ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai Adipati Madura.”
Trunojoyo tewas di tangan mantan putra mahkota Mataram yang dulu pernah menjanjikan wilayah Madura untuknya. Amangkurat II telah memenuhi janjinya kendati sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi pemimpin rakyat Madura itu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 3 Februari 2018 dengan judul "Aksi Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Windu Jusuf