tirto.id - Empat pemuda begajulan meliuk-liuk di jalanan kota yang disesaki asap dan deru motor. Menunggangi kuda besi Yamaha DT-100, mereka seolah memamerkan aura pemberontak yang menantang kerasnya hidup urban.
Anak jalanan kumbang metropolitan
Selalu ramai dalam kesepian
Anak jalanan korban kemunafikan
Selalu kesepian di keramaian
Musik latar menyelinap di antara deru knalpot yang riuh menembus telinga penonton. Suara lengking Chrisye di lagu “Anak Jalanan” itu semakin menambah kesan tegas di setiap tarik gas sebagai simfoni kebebasan.
Cuplikan adegan itu terdapat dalam film Ali Topan Anak Jalanan (1977) yang disutradarai Ishaq Iskandar, kisah drama remaja legendaris yang menjadi primadona ABG tahun 1980-an. Film itu diadaptasi dari cerita bersambung karya Teguh Esha yang dimuat di majalah STOP pada 1972.
Dari sekian sinematografi dalam film itu, adegan Ali Topan (Junaedi Salat) dengan Yamaha DT-100 barangkali yang paling mengesankan penonton. Tentu saja didukung karakter berandal Ali Topan, remaja SMA yang berani melintas batas aturan. Rambut gondrong, jaket kulit, dan celana jin necis tampak perlente, menjadi ikon khas mode busana 1980-an. Ditambah pesona motor kopling klasik, memikat daya tarik siapa saja yang menontonnya.
“Motor ini ngetrend banget karena film [Ali Topan Anak Jalanan] yang di awal-awal tahun ’80-an sempat tren... itu film yang pada saat itu booming, mengangkat dan mengharumkan satu motor: Yamaha DT-100,” ungkap Arie Perkasa, Youtuber yang gandrung berbagai macam motor kustom.
Kelahiran Sang Legenda
Kisah bermula ketika Yamaha International Corporation (YIC) di Amerika Serikat mereguk gairah off-road yang kian membara. Pada Oktober 1967, YIC merilis rancangan sepeda motor yang selanjutnya menjadi pelopor otomotif kiwari yang disebut “trail”.
Desainnya ramping, diklaim mampu menjelajah jalan raya sekaligus jalur liar. Rancangan itu dinamai DT-1, sebuah model motor off-road Yamaha yang pertama.
Area berkuda Saddleback di Pergunungan Santa Ana adalah saksi bisu kelahiran sang legenda. Dinamakan begitu lantaran bentuknya serupa pelana kuda jika dilihat dari kejauhan Los Angeles. Selain tempat berkuda, kawasan itu juga menjadi favorit para pengendara off-road memacu mesin melindas stepa.
Faktor itulah yang menyulut inspirasi YIC mewujudkan rancangan DT-1. Desainnya disandarkan pada mesin jalanan yang telah berkembang semasa itu, dilengkapi fitur pelindung mesin, setang lebar, dan knalpot mid-mount, tetapi itu bukan model trail yang lengkap dan kompak macam hari ini.

YIC begitu percaya diri dengan desain DT-1. Sebuah proposal disodorkan ke kantor pusat R&D Yamaha di Jepang, lewat salah satu karyawan Jepang yang bekerja untuk mereka. Bagi YIC, R&D harus merasa perlu mengembangkan model jenis anyar yang sama sekali baru ini.
"Memang benar bahwa kondisi ekonomi saat ini di AS telah menyebabkan penurunan permintaan sepeda motor, tetapi kategori trail pasti akan tumbuh di masa depan," penggalan proposal YIC kepada R&D.
Sempat terganjal, sebab permintaan YIC kepada R&D untuk model baru terperinci sulit dicapai. DT-1 harus ditenagai mesin 250 cc, memiliki elemen motocross serta performa uji coba, dan dapat dikendarai di jalan umum serta jalur pergunungan.
Permintaan juga meluas ke ukuran serta pola ban, jenis suspensi dan panjang langkah, jarak sumbu roda, tinggi kursi, ground clearance minimum, dan banyak lagi. Itu membuat pusing staf Amerika dan tim pengembangan Jepang untuk menemukan cetak biru untuk mesin yang mereka coba bangun.
Namun, para insinyur secara bertahap bertekad merampungkan rintangan di depan mereka dalam tantangan baru model ini. Mereka akhirnya memutuskan kebijakan pembangunan yang berpusat pada tiga poin: bobot di bawah 100 kg, sasis super tipis, dan torsi garang di putaran rendah.
Setelah 15 bulan, lahirlah DT-1 pada musim semi 1968, menyemai benih kategori baru “trail” yang langsung ludes 12.000 unit dalam pemesanan perdananya.
Waktu itu, DT-1 masih belum memproduksi mesin bertenaga 100 cc sebagaimana yang beken di Indonesia.
Rilisan perdananya dibekali jenis mesin 250 cc, 2-tak silinder, dengan tenaga yang diklaim mencapai 18 tenaga kuda atau sekitar 6.000 rpm. Bahan bakar diumpankan melalui karburator Mikuni 26 mm dengan emisi yang disapu keluar lewat pipa knalpot.
R&D Yamaha Jepang berturut merilis DT-1 dengan ukuran mesin dan seri 360cc RT-1, 125cc AT-1, 90cc HT-1, dan 50cc serta 80cc yang disebut “mini-trail”.
Kategori sejenis untuk ukuran mesin paling tinggi tembus di angka 400 cc (DT-400 B Enduro). Spesifikasi garang macam itu mampu mengatasi bukit pasir di Gurun Mojave dan mendaki jalan setapak serta rumput tinggi di Pergunungan Rocky.
Jadi Andalan Balapan
Tom White, pendiri White Brothers Cycle Specialities dan anggota AMA Motorcycle Hall of Fame, mengenang momen perdananya berjumpa motor ini.
“Saya pertama kali menatap Yamaha DT-1 pada bulan Desember 1967 di Cycle World Show tahunan yang diadakan di Anaheim. Dia adalah bintang pertunjukan,” ungkapnya.
Seolah tersihir, Tom White langsung bergabung dengan ribuan konsumen yang berebut prapesan motor ini. “Keesokan harinya (usai tatapan pertama) saya pergi ke dealer dan memesan, dan motor itu akhirnya tiba di bulan April tahun berikutnya. Semua orang mengantre untuk mendapatkan motor ini,” tuturnya menambahkan.
Yamaha DT-1 telah dikembangkan sebagai model pasar ekspor, dan tidak ada ekspektasi awal yang besar untuknya di pasar Jepang. Namun saat unjuk gigi di Tokyo Motor Show pada musim gugur 1967, ia langsung menjadi show stopper dan dipandang sebagai bapak trail modern.
R&D Yahama Jepang bekerja sama dengan dealer motor di seluruh gerai mereka mengadakan Yamaha Trail Courses, acara untuk menarik sebanyak mungkin konsumen lewat pengalaman berkendara off-road langsung.
Yamaha juga mengembangkan dan memasarkan kit aftermarket “Genuine Yamaha Tuning”. Itu dilakukan untuk membantu banyak pengendara bersaing di tingkat lanjut. Pemasaran itu kian menginspirasi terciptanya lingkaran penggemar DT-1 yang lebih besar.

Hanya berselang lima bulan usai Yamaha DT-1 dirilis di Jepang, model yang dilengkapi dengan kit “Genuine Yamaha Tuning” memulai debutnya di puncak kompetisi balapan motocross Jepang, All Japan Motocross Championship.
Balapan tersebut bergulir di Teine, Hokkaido, pada 1968. Setahun sebelumnya, Tadao “Chu-san” Suzuki telah memenangkan All Japan Motocross Championship dengan mengendarai Yamaha YX26, dan kali ini dia menjadi joki DT-1. Di hadapan 20.000 penggemar, dia melesat kencang di lintasan dan menyelesaikan balapan dengan kemenangan gemilang di kelas premier 250 cc.
Kemenangan kedua berturut-turut dicapai oleh Tadao untuk kategori teratas motocross di Jepang. Ini membuktikan potensi DT-1 bukan hanya tangguh di sabana dan stepa, tapi juga di gelanggang arena.
Mendarat di Indonesia
Tiba di Tanah Air pada 1976, Yamaha DT-100 mencuri perhatian publik sebagai motor trail pertama yang didatangkan langsung dari Jepang. Varian DT-100, DT-125, DT-175, hingga DT-250 kemudian silih berganti meramaikan jalanan dan jalur off-road Nusantara.
Banyak pemuda memuja bukaan samping jok berengselnya, memanfaatkan buritan bagasi behel belakang untuk menaruh perlengkapan kerja, serta mengagumi lekuk knalpotnya yang under-frame. Semuanya menjadi ciri khas yang tak lekang oleh zaman.
Dari sekian banyak varian, Yamaha DT-100 menjadi motor paling populer dibanding saudara-saudaranya.
Namun lambat laun, seiring datangnya sistem injeksi bahan bakar, rem cakram hidraulik, dan teknologi pendingin radiator, Yamaha DT kian terasa kuno.
Emisi 2-tak yang pekat, sistem kelistrikan 6 V, serta tiadanya starter elektrik menegaskan statusnya sebagai artefak mekanik. Ketersediaan suku cadang kian menipis, memaksa para kolektor menambal dengan komponen universal. Namun di balik semua kekurangan itu, justru terpatri pesona murni sepeda motor petualang zaman dulu.
Yamaha DT bukan sekadar pusaka nostalgia, melainkan sumber inspirasi bagi jejak trail modern. Konsep ringan, torsi besar, dan sasis ramping telah berpindah tangan ke model WR, XTZ, hingga seri MX terkini.
Setiap deru knalpot masa kini masih menggema bisikan pertualangan yang pernah menyambut halaman memori para pecinta Yamaha DT, menyatakan bahwa semangat muda tak pernah kehilangan pijar.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































