tirto.id - Proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di DPR RI tidak hanya mendapatkan protes dari elemen masyarakat sipil, namun juga menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan RKUHAP yang sedang dibahas pembentuk undang-undang memiliki potensi melemahkan kewenangan lembaga antirasuah, khususnya dalam penyadapan.
Salah satu poin yang disoroti KPK yakni pengaturan penyadapan yang hanya diizinkan saat tahap penyidikan dan wajib melalui izin kepala pengadilan negeri. Hal ini mengemuka pula dalam naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHAP ketika dibahas Panja dari DPR dan Pemerintah pekan lalu, terutama sebagaimana diatur dalam klausul Pasal 124–129.
Pasal 124 draf beleid menjabarkan wewenang penyidik melakukan penyadapan tanpa izin hanya bisa dilakukan apabila terjadi ‘dalam keadaan mendesak’. Namun, penyadapan tanpa izin itu, wajib segera dimohonkan persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama satu hari setelah dilakukan.
Menurut Juru Bicara KPK, ketentuan-ketentuan penyadapan dalam RKUHAP itu tidak sesuai dengan wewenang penyadapan KPK dalam Undang-Undang KPK.
"Poin (itu) yang kontradiksi atau tidak selaras dengan tugas dan fungsi yang KPK jalankan selama ini," kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Senin (14/7/2025).
Budi menjelaskan, KPK menjalankan penyadapan sejak tahapan penyelidikan–bukan hanya penyidikan–dan tanpa perlu izin dari pengadilan negeri. Ketentuan penyadapan KPK diatur pada Pasal 12 dalam UU KPK Nomor 19/2019. Dalam pelaksanaannya, penyadapan oleh KPK tetap dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK dan diaudit secara berkala.
Hal ini untuk memastikan penyadapan benar-benar dilakukan demi mendukung penanganan perkara di KPK. Ia menjelaskan selama ini penyadapan dilakukan sejak tahap penyelidikan agar mendapatkan informasi awal yang krusial, termasuk dalam menemukan alat bukti.
Namun, RUU KUHAP mereduksi kewenangan penyelidik sebab penyelidik hanya bertugas mencari peristiwa pidana. Menurut Budi, perubahan ini berpotensi memangkas ruang gerak lembaga antikorupsi dalam mengungkap kasus sejak tahap awal.
“Sedangkan penyelidik di KPK bahkan sampai ke untuk mencari sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk terkait dengan pengangkatan penyelidik ya. KPK punya kewenangan untuk mengangkat penyelidiknya sendiri,” keluh Budi.
Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyampaikan bahwa kewenangan penyadapan penegak hukum tidak akan diatur dalam RUU KUHAP. Nantinya, kewenangan penyadapan akan dibahas dalam UU khusus terkait penyadapan. Dia menjelaskan aturan khusus mengenai penyadapan juga melewati proses yang tidak singkat dengan adanya uji publik tersendiri.
“Nanti prosesnya panjang lagi itu. Kita uji publik, minta partisipasi masyarakat. Tidak ada pengaturan penyadapan di KUHAP ini,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Jumat (11/7/2025) pekan lalu.
Penyadapan Sebaiknya diatur dalam RKUHAP
Sejumlah pengamat hukum dan aktivis antikorupsi menyampaikan bahwa wewenang terkait penyadapan memang tetap harus diatur dalam RKUHAP. Namun, penting agar pembentuk undang-undang tidak membuat regulasi yang dirancang justru semakin mengebiri taji KPK.
Hal ini pula yang membuat koalisi masyarakat sipil ‘gemas’, sebab rapat DIM RKUHAP yang dilakukan pemerintah dan DPR berjalan singkat dan terkesan kejar tayang. Dengan bersikap buru-buru, akan banyak persoalan yang semestinya bisa didudukkan dan dicari solusinya, justru terlewat.
Padahal, penyadapan berkaitan dengan hak asasi manusia, namun diizinkan secara hukum. Tanpa pengaturan yang ketat, bahkan sengaja tidak diatur, sudah pasti RKUHAP tidak cuma membuka potensi kewenangan berlebih aparat penegak hukum, namun juga mengancam hak-hak masyarakat sipil.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, berpendapat penyadapan harus diatur dalam RKUHAP sebagai salah satu tindak upaya paksa dari penyidik. Ini menanggapi pernyataan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang menyatakan mencabut pengaturan penyadapan dalam RKUHAP.
Penyadapan harus tetap diatur dengan mekanisme pengawasan ketat, mengingat tindakan tersebut berkaitan langsung dengan hak atas privasi. Menurut PBHI, yang juga salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, pengaturan penyadapan perlu dilakukan sebagai mekanisme check and balances wewenang aparat penegak hukum.
Koalisi, menurut Gina, tetap mengusulkan bahwa penyadapan bisa dilakukan tanpa izin bila terjadi hal-hal yang mendesak. Namun, tetap diperlukan penilaian dari pengadilan bahwa itu sah dilakukan sesuai ketentuan. Hal ini agar penyidik dari aparat penegak hukum tidak bisa sewenang-wenang mendefinisikan ‘hal mendesak’ secara subjektif.
RKUHAP juga tidak mengatur pembatasan tindak pidana apa saja yang bisa diungkap lewat penyadapan. Tindak pidana tertentu yang dimaksud mesti terbatas hanya pada beberapa kejahatan yang mengindikasikan tingkat keseriusan dan kerumitan pengungkapan kasus, ini termasuk juga tindak pidana korupsi yang dikategorikan di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sehingga, informasi atau data hasil penyadapan dapat diberlakukan dengan standar sama, sebagaimana hasil tindak upaya paksa yang lain (penyitaan, pemblokiran, penggeledahan), sepanjang digunakan untuk keperluan pembuktian dalam proses peradilan pidana.
“Kalau nggak relevan ya harusnya data itu segera dihapus. Nah, termasuk juga nih misalnya ketika individu yang disadap merasa tidak melanggar hukum dan ketentuan, maka dia bisa jadikan tindakan penyadapan itu sebagai objek pra-peradilan,” ucap Gina.
RKUHAP cukup mengatur penyadapan secara umum
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai RKUHAP memang berpotensi membatasi wewenang penyadapan KPK jika tidak disertai pengaturan yang mengecualikan kewenangan lembaga antirasuah. Ia menegaskan penyadapan memang perlu dibatasi secara ketat agar tidak disalahgunakan.Namun tetap harus membuka ruang gerak penanganan tindak pidana korupsi yang menjadi kejahatan luar biasa. Menurutnya, ketentuan penyadapan bisa diatur lewat KUHAP ataupun melalui undang-undang khusus seperti rancangan UU Penyadapan.
Persoalannya, jika KUHAP memuat norma baru yang tak tercantum dalam undang-undang sektoral seperti UU KPK, UU Narkotika, atau UU Terorisme, maka akan timbul masalah.
“Sehingga kalau KUHAP mengatur hal baru tetapi belum diatur dalam undang-undang lain, itu benar KPK akan dibatasi, BNPT akan dibatasi, BNN akan dibatasi, penyidik polri terkait dengan narkotika juga akan dibatasi,” ucap Zaenur kepada wartawan Tirto, Selasa (15/7).
Seharusnya, kata dia, RKUHAP cukup mengatur secara umum aturan terkait penyadapan. Ini agar norma khusus yang terdapat di undang-undang sektoral seperti UU KPK, tidak perlu berubah.
Dengan begitu, wewenang penyadapan KPK tetap mengikuti ketentuan dalam UU KPK atau berlaku asas lex specialis derogat legi generali (aturan khusus mengesampingkannya aturan yang sifatnya umum). Ia menegaskan bahwa penyadapan yang dilakukan KPK berbeda, sebab yang disadap bisa saja aparat penegak hukum.
Jika harus izin pengadilan negeri, hal itu tidak mencerminkan korupsi termasuk extraordinary crime. Masalahnya, kata Zaenur, jika RKUHAP atau UU Penyadapan mengatur norma baru soal penyadapan, KPK akan terikat.
Maka sebaiknya khusus untuk tipikor, dibuat pengecualian agar KPK tetap mengacu pada UU KPK dalam melaksanakan wewenang penyadapan. “Sehingga perlu ada kata-kata beginil: tetapi dikecualikan untuk tipikor, dikecualikan untuk KPK,” ujar dia.
Jangan Kebiri KPK
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Erma Nuzulia Syifa, menilai terdapat indikasi bahwa penyadapan akan diatur dalam UU khusus di luar RKUHAP. Namun jika mengacu pada DIM terakhir, Erma menyatakan ada potensi pelemahan upaya paksa dalam bentuk penyadapan, khususnya pada tingkat penyelidikan oleh KPK.
Sebab di dalam DIM RKUHAP, penyadapan baru diperbolehkan dalam tahapan penyidikan, sehingga kontradiktif dengan UU KPK. Tujuan dari penyadapan KPK adalah memperoleh informasi yang aktual dan real-time, sehingga jika dilakukan terlambat atau harus melalui penyidikan terlebih dahulu, informasi berpotensi gagal diperoleh.

Saat ini saja, kata Erma, untuk melakukan penyadapan wajib melapor ke Dewas. Hal itu cukup menghambat upaya pro-justicia. Sehingga, aturan dalam RKUHAP dinilai Erma lebih tajam ke masyarakat sipil dengan berbagai kewenangan penegak hukum yang begitu besar.
“Namun tumpul ke pejabat, dengan aturan penyadapan yang sangat terbatas,” ucap dia kepada wartawan Tirto, Selasa (15/7).
Putusan MK mendukung kinerja KPK dalam menyelidik dan menyidik
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menilai diskursus terkait kewenangan penyadapan oleh KPK ini sebenarnya telah berulang kali masuk ke MK. Setidaknya sudah ada tiga putusan MK terkait penyadapan dari KPK ini.
Di antaranya putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 yang memutuskan bahwa kewenangan KPK terkait penyadapan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena penyadapan adalah upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Kemudian Putusan MK Nomor 5/PUU‑VIII/2010, MK memutuskan bahwa penyadapan secara hukum bisa dibenarkan, meski awalnya merupakan bentuk pelanggaran privasi.
Terakhir adalah putusan MK Nomor 71/PUU-XIX/2021 tentang pembatalan kewenangan Dewas KPK melakukan penyadapan, dengan alasan karena Dewas bukan aparat penegak hukum. Jadi diskusi tentang penyadapan di KPK ini sudah berjalan panjang.
“Jika merujuk pada putusan-putusan MK di atas, mayoritas putusan berlandaskan pada semangat efektifitas dan efisiensi untuk mengoptimalkan kinerja KPK dalam menyelesaikan (menyelidik dan menyidik) kasus korupsi,” ucap Bagus kepada wartawan Tirto, Selasa (15/7).
Maka apabila dalam RKUHAP kewenangan penyadapan dari KPK harus mensyaratkan izin pengadilan, hal yang harus tetap dikawal adalah jangan sampai mekanisme perizinan ini terlalu birokratis. Hal itu justru menghambat upaya pemberantasan korupsi, terlebih untuk kasus-kasus extra ordinary yang membutuhkan penanganan khusus cepat dari KPK.
Jika mekanisme perizinan dari pengadilan ini justru menyulitkan KPK, maka potensi-potensi ini jelas membatasi gerak dan kewenangan dari KPK. Bagi KPK, kewenangan penyadapan ini sangat penting karena menjadi senjata utama KPK dalam membongkar kasus korupsi yang biasanya tertutup dan sering kali beririsan dengan kepentingan politik pihak-pihak yang berkuasa atau menduduki jabatan.
Jika aturan penyadapan hanya dibatasi di level penyidikan, atau mungkin jika RUU KUHAP menyaratkan perizinan khusus dari pengadilan negeri yang bisa jadi lama prosesnya, maka pelaku korupsi bisa saja mengondisikan atau menghilangkan alat bukti dan jejak-jejaknya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































