tirto.id - Pembahasan kilat sebanyak 1.676 poin daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) memantik kecaman. Pembahasan super cepat itu terjadi ketika Komisi III DPR RI bersama Pemerintah membahas DIM dalam Rapat Kerja Panitia Kerja KUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 9-10 Juli 2025.
"Harus segera ya, karena KUHAP yang lama ini kan sangat tidak adil dan harus segera kita ganti dengan KUHAP yang baru," kata Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, Kamis (10/7/2025).
Cuma diulas dua hari, pembentuk undang-undang sepakat untuk membawa DIM RKUHAP dibahas dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu. DPR mengeklaim pembahasan RKUHAP sudah memenuhi asas partisipasi publik.
Dalihnya, DPR telah mengundang sejumlah komponen masyarakat, mulai dari akademisi hingga lembaga swadaya masyarakat untuk duduk membahas RKUHAP. Namun, sejumlah pihak menilai hal ini justru merupakan strategi lama DPR mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
Karenanya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP membuat petisi daring untuk menolak DIM RKUHAP yang dibentuk DPR dan pemerintah. Petisi daring bertajuk ‘Tolak Revisi KUHAP Abal-Abal’ itu sudah ditandatangani oleh 5.379 orang per Senin (14/7/2025) malam, sekitar lima hari terpublikasi.
Koalisi mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memakai pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya. Seperti ketika agenda Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, hingga UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Hal tersebut dinilai sebagai strategi sistemik melemahkan demokrasi, karena legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.
Dalam keterangannya, Koalisi menilai DPR telah melakukan tindakan manipulasi partisipasi bermakna. Koalisi mencatat, pada Rabu 18 Juni 2025, Komisi III mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan mengeklaim telah melakukan rapat dengar sebanyak 50 kali, termasuk bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi menilai klaim itu manipulatif sebab mereka tidak pernah hadir dalam RDPU dengan DPR.
Pembaruan KUHAP Cenderung Merugikan Masyarakat dan Tidak Substantif
Anggota koalisi sekaligus Pelaksana tugas Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menilai naskah RKUHAP yang disusun oleh pembentuk undang-undang masih bermasalah dan luput diperbaiki imbas pembahasan yang kilat. Hal itu berpotensi membuat agenda pembaruan KUHAP tidak dilakukan dengan prinsip yang menjunjung keadilan dan malah merugikan masyarakat.
“Berdasarkan hasil pembahasan DIM RUU KUHAP antara pemerintah dan Tim Panja Komisi III DPR RI yang selesai dalam dua hari pada 9-10 Juli 2025, masih terdapat banyak ketentuan yang diproyeksikan berdampak pada semakin memburuknya situasi penegakan hukum pidana,” ucap Dina kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).
Poin masalah itu meliputi terbukanya ruang penyalahgunaan kewenangan/perilaku koruptif, sistem peradilan pidana tidak berimbang, hingga potensi pelanggaran hak asasi manusia. Koalisi mencatat setidaknya terdapat 25 poin masalah dalam lima klaster isu yang masih perlu diperbaiki oleh pembentuk undang-undang.
Sebagai informasi, pembahasan revisi KUHAP saat ini akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sudah berlaku 44 tahun lamanya. KUHAP baru diharapkan bisa diterapkan bersamaan dengan KUHP baru yang mulai berlaku Januari 2026. Revisi KUHAP merupakan inisiasi DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Menurut Dina, Koalisi memang diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan dalam penyusunan RKUHAP. Sayangnya, kata dia, tidak ada satupun penjelasan mengapa usulan dari Koalisi tidak digunakan dalam rancangan milik pembentuk undang-undang. Bahkan, ia menerima informasi kalau sejumlah akademisi hukum yang dimintai pendapat oleh DPR dalam penyusunan RKUHAP juga ditolak usulannya
Anggota koalisi lainnya, Muhamad Isnur, menyatakan pembahasan kilat DIM RKUHAP telah melanggar prinsip negara hukum. Pria yang merupakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu menilai, membahas 1.676 daftar isian masalah hanya dalam dua hari menunjukkan pengabaian ketentuan penyusunan Undang-Undang yang benar.
Ketika proses penyusunan DIM versi pemerintah, kata Isnur, beberapa akademisi dan ahli yang dilibatkan dalam penyusunan sebagai drafter mengaku cuma diundang dalam dua kali pertemuan. Pertemuan itupun belum membahas draf dan bagaimana pengaturan RKUHAP berlaku, para ahli mengaku hanya sebagai pajangan.
“Jelas sekali berdampak pada kualitas pembahasan undang-undang yang akan berdampak terhadap publik,” ucap Isnur kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).

Isnur menilai pembahasan pasal-pasal dalam RKUHAP masih dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan. Padahal, di lapangan sudah banyak korban dari peradilan pidana yang perlu dibenahi, seperti kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi serta pembatasan akses bantuan hukum.
Namun, dalam RKUHAP justru DPR bersama pemerintah memperluas kewenangan aparat penegak hukum polisi yang melegitimasi tindakan subjektif untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyadapan, dan penggeledahan. Terlebih, subjektif polisi dalam upaya paksa tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga eksternal yang independen.
“Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat terbuka terjadinya penyalahgunaan wewenang. Lebih dari itu posisi polisi sebagai penegak hukum dalam sistem peradilan pidana menjadi superior,” ucap Isnur.
Partisipasi Publik yang Bersifat Simbolik
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP sudah dilakukan terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dia mengeklaim Komisi III sudah mendengar masukan 53 pihak dengan beragam latar belakang. Masukan itu menjadi dasar pembahasan 1.676 poin daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP yang dilaksanakan bersama pemerintah.
Rinciannya, sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, 131 pasal baru, 256 perubahan redaksional. Politisi Fraksi Partai Gerindra itu tidak setuju anggapan bahwa partisipasi bermakna yang digaungkan DPR dalam penyusunan RUU KUHAP hanya retorika belaka.
“Pasal-pasal yang masuk ini ini adalah pasal dari masyarakat semua loh. Jadi silakan masyarakat menilai, kami yang omong kosong atau mereka (Koalisi) yang omong kosong,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen pada Kamis (9/7) pekan lalu.
Di sisi lain, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menilai DPR RI selama ini hanya menjalankan prinsip partisipasi publik secara simbolik dalam pembentukan undang-undang. Ia menyebut praktik tersebut sebagai bentuk tokenisme partisipasi yang tidak mencerminkan pelibatan publik secara substansial.
Herlambang menyebut praktik tokenisme partisipasi mengacu dari konsep Sherry Arnstein (1976) dalam 'The Ladder of Participation'. Artinya, sebuah partisipasi yang hanya tampak di permukaan, tetapi tidak substansial.
“Tetapi kalau dari kajian yang saya lakukan berkaitan dengan partisipasi publik, ini hanya hal formal yang harus dilakukan kewajibannya oleh pemerintah dan DPR dalam membentuk hukum. Tetapi prosesnya itu sangat selektif, terbatas, pilih-pilih,” terang Herlambang kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).
DPR menerapkan pola yang dikenal sebagai "selected formalism". Yakni hanya menunjuk pihak-pihak tertentu secara terbatas dan selektif untuk diundang, namun tanpa benar-benar melibatkan mereka dalam substansi pembahasan. Bahkan ahli yang diundang sering kali mendapati draf RUU yang bertentangan dengan masukan mereka, mencerminkan proses partisipasi yang manipulatif.
Kondisi ini perlu menjadi catatan kritis bagi DPR dan pemerintah, karena pendekatan seperti ini mengancam hak-hak warga negara secara luas. Herlambang menegaskan bahwa isu dalam RUU seperti RKUHAP bukan hanya domain hukum pidana, tetapi menyangkut kepentingan publik secara luas, sehingga pelibatan publik yang autentik sangatlah penting.
Sulit bagi Publik Memberikan Masukan Bermakna
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat DPR dan pemerintah membahas DIM RKUHAP tanpa diskusi yang sengit. Hal ini dinilai Lucius merupakan kebiasaan DPR yang mudah mengikuti kemauan pemerintah sehingga tak merasa perlu mengajak publik berpartisipasi memberikan masukan yang bermakna.
Imbasnya, sulit bagi publik mendapatkan ruang untuk memengaruhi substansi legislasi yang dibahas di DPR. Sebagai perwakilan rakyat, berhadapan dengan DIM Pemerintah idealnya DPR benar-benar membuka ruang bagi publik untuk menguji naskah pemerintah.
“Jadi semacam formalitas atau basa basi saja sebenarnya waktu dua hari pembahasan itu, karena sikap DPR sudah jelas tak beda dengan pemerintah,” kata Lucius kepada wartawan Tirto, Senin (14/7/2025).
Dampaknya, kualitas Undang-Undang yang sedang dibahas bakal dipertaruhkan. Akhirnya, publik dituntut untuk menggunakan jalur Mahkamah Konstitusi (MK) demi memastikan suaranya didengar dan diikuti.
Menurut Lucius, relasi DPR dan pemerintah yang seharusnya saling mengawasi, menjadi lebih saling mendukung. Kontrol DPR yang lemah dalam memastikan substansi RUU sesuai aspirasi publik, menjadi amunisi bagi kehadiran pemerintah yang otoriter atau suka-suka.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































